Minggu, 28 Januari 2018

SKRIPSI ( KARYA TULIS ILMIAH) TRADISI ADAT PERKAWINAN SUKU KUI DI KECAMATAN ALOR BARAT DAYA KABUPATEN ALOR PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

TRADISI UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU KUI DI KECAMATAN ALOR BARAT DAYA KABUPATEN ALOR PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR PRESPEKTIF HUKUM ISLAM


Oleh
RIDWAN UMAR LEKY
NIM. 152112025






JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYAI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGEI (IAIN) MATARAM
MATARAM 2015
TRADISI UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU KUI DI KECAMATAN ALOR BARAT DAYA KABUPATEN ALOR PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Institut Agama Islam Negeri Mataram Untuk Melengkapi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Hukum Islam

Oleh
RIDWAN UMAR LEKY
NIM. 152112025





JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
MATARAM 2015



























































MOTTO
“Jadilah dirimu, imamilah pikiranmu, cerdaskanlah sahabatmu.”



















PERSEMBAHAN
Dengan penuh ketulusan karya kecil yang sederhana ini penulis persembahkan untuk :
 Allah Azza wajalla yang selalu memberikan petunujk besar dan hidayah-Nya dan Nabi besar Muhammad SAW, sehingga penulis bisa menjadi orang yang bermanfaat.
 Ayah dan bunda tercinta atas segala jerih payah dan pengorbanannya serta kasih sayang dan do’a hingga detik ini.
 Kakak-kakak dan adik-adikku khususnya kakak Sahabudin Leky dan Kamsi Leky yang telah memberikan dukungan moril maupun materil kepada saya.
 Seluruh keluargaku tercinta terima kasih yang tak terbatas atas do’a, atas segala ketulusan, keikhlasan dan curahan kasih sayang kalian telah mengajariku arti kehidupan.
 Bapak Husen Mansari yang telah banyak membantu penulis baik moril maupun materil dalam menyelesaikan studi maupun penyusunan skripsi.
 Calon isteri yang aku sayangi dan aku cintai yang telah mendukungku saat aku rapuh diterpa cobaan kerasnya hidup, membimbing, menyayangi, mencintai, mengingatkanku setiap waktu agar tidak putus asa dalam meraih cita-cita dan impianku.
 Seluruh dosen yang telah mendidikku hingga mendapatkan gelar sarjana.
 Seluruh sahabat-sahabatiku Beny, Awi, Novi, Wiwin, Hafiz, Rizal, Setiawati, Susi, Fitri, Fatoni Prodi AS angkatan 2011, PMII se-kota mataram, HIPMI NTT-Mataram, FKMA NTT-Mataram dan yang tak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas persahabatan, dukungan motivasi dan kerja sama kalian.
 Almamater dan kampus putih tercinta Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram.






PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Umum
Transliterasi ialah pemindahanalihan Arab ke dalam tulisan Indonesia (Latin), bukan terjemahan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Termasuk dalam kategori ini ialah nama Arab, sedangkan nama Arab dari bahasa selain arab ditulis sebagaimana ejaan bahasa nasional, atau sebagai yang tertulis dalam buku yang menjadi rujukan.
Penulis judul buku dalam footnote maupun daftar pustaka, tetap menggunakan ketentuan transliterasi ini. Banyak pilihan dan ketentuan transliterasi yang dapat digunakan dalam penulisan karya ilmiah, baik yang berstandar internasional maupun ketentuan yang digunakan penerbit tertentu. Transliterasi yang digunakan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram menggunakan EYD plus, yaitu transliterasi yang didasarkan atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22 Januari 1998, No. 158/1987 dan 0543.b/U/1987, sebagaimana tertera dalam buku pedoman Transliterasi Bahasa Arab (AGuide Arabic Transliteration),INIS Fellow 1992.
B. Konsonan
ا = Tidak dilambangkan ض = Dl
ب = B ط = Th
ت = T ظ = Dh
ث = Ts ع = ‘(koma menghadap ke atas)
ج = J غ = Gh
ح = H ف = F
خ = Kh ق = Q
د = D ك = K
ذ = Dz ل = L
ر = R م = M
ز = Z ن = N
س = S و = W
ش = Sy ﻰھ = H
ص = Sh ي = Y













KATA PENGANTAR

بسماللهالرحمنالرحيم
Alhamdulillah segala puji bagi Allah swt., berkat rahmat dan ‘inayah-Nya sehingga Skripsi yang berjudul “Tradisi Upacara Adat Perkawinan Suku Kui Di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur Prespektif Hukum Islam”ini dapat diselesaikan penulis. ShalawatbesertasalamsemogatercurahkanatasjunjunganNabiullah Muhammad saw., yang telahsetiamembimbingumatnya.
Dalam penyusunan Skripsi ini tentunya tidak luput dari kekurangan secara metodik dan substansi, untuk itu saran dan kritik positif sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulismengharapkansemogatulisan ini dapatbermanfaatbagiperkembanganilmupengetahuankhususnyapadabidangHukum Islam.
Penyusun yakin, skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa motifasi, bantuan, dan arahan dari berbagai pihak baik itu moril maupun materil, lansung maupun tidak lansung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penyusun ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Yth. Bapak Dr. H. Mutawalli, M.Ag selaku Rektor IAIN Mataram yang telah memberikan kemudahan bagi penulis dalam merampungkan pendidikan di IAIN Mataram.
2. Yth. Ibu Tuti Harwati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah IAIN Mataram yang telah membantu merumuskan judul skripsi.
3. Yth. Bapak H. Ahmad, S.H, M.H selaku Dosen Pembimbing I yang dengan ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penyusun hingga skripsi ini rampung
4. Yth. Bapak Muhammad Nor, M.Hi selaku Dosen Pembimbing II yang dengan ikhlas meluangkan waktu untuk memotivasi, membimbing dan mengarahkan penyusun hingga skripsi ini rampung
5. Almamater dan kampus putih tercinta Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram.
Penyusun tidak mampu membalas segala budi baik yang telah beliau-beliau curahkan, namun hanya ribuan termia kasih teriring do’a yang mampu penyusun sampaikan, semoga seluruh amal kebaikan mereka mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Akhir kata, penyusun berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi kalangan akademis. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.


Mataram, 12 September 2015
Penyusun



(Ridwan Umar Leky)
Nim : 152112025



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN NOTA DINAS PEMBIMBING iii
PERNYATAAN KEASLIAN iv
HALAMAN PENGESAHAN v
HALAMAN MOTTO vi
HALAMAN PERSEMBAHAN vii
PEDOMAN TRANSLITERASI viii
KATA PENGANTAR xi
DAFTAR ISI xiv
ABSTRAK xvi
BAB I. PENDAHULUAN
A. KonteksPenelitian 1
B. Fokus Kajian 9
C. TujuandanManfaat 9
D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian 11
E. Telaah Pustaka 11
F. Kerangka Teoritik 12
G. Metode Penelitian 32
H. Sistematika Pembahasan 43
BAB II. PAPARAN DATA DAN TEMUAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian 44
B. Sistem Adat Perkawinan Suku Kui di Kecamatan
Alor Barat Daya 54
C. Proses Pelaksanaan Tradisi Upacara Adat PerkawinanSuku Kui
di Kecamatan Alor Barat Daya 60
BAB IV. ANALISIS TERHADAP UPACARA ADAT
PERKAWINAN SUKU KUI
A. SistemAdatPerkawinanSukuKui Di KecamatanAlor
Barat DayaKabupatenAlor Prespektif HukumIslam 82
B. Prosesi TradisiUpacaraAdatPerkawinansukuKui
diKecamatanAlor Barat DayaKabupatenAlor
Propinsi Nusa Tenggara Timur Prespektif HukumIslam 97
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 129
B. Saran-Saran 133
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN







ABSTRAK
Ridwan Umar Leky, NIM. 152112025. Tradisi Upacara Adat Perkawinan Suku Kui Prespektif Hukum Islam di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur. Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram.

Islam sebagai agama yang universal (rahmatan lil’alamin) memiliki sifat mudah beradaptasi untuk tumbuh di segala tempat dan waktu, salah satunya dalam perkawinan. Bagi suku bangsa yang memiliki adat dan budaya, perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia dalam kehidupan yang dilaksanakan dalam suatu upacara yang terhormat serta mengandung unsur sakral di dalamnya termasuk adat perkawinan suku Kui. Di sisi lain, agama Islam juga mengatur tata cara perkawinan yang harus dijalankan oleh pemeluk agama Islam. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem adat perkawinan dan prosesi adat perkawinan suku Kui perspektif hukum Islam.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian adalah penelitian lapangan, sehingga peneliti terjun langsung kemasyarakat dan diperoleh data yang valid. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara bebas terpimpin, observasi dan dokumentasi. Berdasarkan data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan normatif sosial, yakni dengan menilai realita yang terjadi dalam masyarakat atau nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam masyarakat, apakah ketentuan adat tersebut sesuai atau tidak dalam pandangan hukum Islam.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh kesimpulan, yaitu adanya internalisasi hukum Islam terhadap tradisi upacara adat perkawinan suku Kui, dari sistem perkawinan yang mengikuti garis keturunan bapak. Suku Kui beranggapan seorang laki-laki yang lebih berhak menjadi pemimpin dalam rumah tangga. prosesi adat perkawinan, yaitu: 1) mei bangan (peminangan). Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita pilihannya, maka hendaklah segerameminangnya. 2) AkadNikah, dalam akad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi: a) Adanya ijab qobul. b) Mahar c) Wali nikah. 3)Tenage tawelaga (Walimah) bertujuan untuk memberikan informasi kepada lingkungantentangpernikahan yangdilakukanolehkeduamempelai. Apabila ditinjau melalui ‘urf, maka tradisi adat perkawinan suku Kui mengandung kemaslahatan namun dalam praktiknya terdapat pertentangan pada sistem perkawinan yaitu adanya larangan perkawinan antara satu suku (fam/marga) sehingga dikategorikan sebagai ‘urf fi’li adalah sejenis aktifitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus.
Kata kunci: Tradisi, Upacara Adat Perkawinan, Suku Kui, Perspektif Hukum Islam.




BAB I
PEDAHULUAN

A. Konteks Penelitian
Manusia adalah makhluk sosial yang saling bergantungan atau berhubungan satu sama lain untuk mempertahankan hidupnya. Sehingga dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup yang meliputi lahiriah dan bathiniah. Hal ini merupakan bagian dari kebutuhan-kebutuhan biologis, psikologis, sosial, dan juga keamanan. Oleh karena itu, antara melanjutkan keturunan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya saling memerlukan dan ketergantungan sehingga akan menimbulkan kelompok yang saling berhubungan. Sebagaimana firman Allah swt., yang berbunyi :
••••
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sebagai makhluk berbudaya dengan biologisnya manusia mengenal adanya perkawinan.Melalui perkawinan inilah manusia mengalami perubahan status sosialnya.Dari status sendiri menjadi status berkeluarga dan oleh masyarakat diperlakukan sebagai anggota masyarakat secara penuh.Perkawinan adalah suatu peristiwa yang secara formal mempertemukan sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri dihadapan penghulu dan para saksi untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami-istri dengan upacara-upacara atau ritual-ritual tertentu.Oleh karena itu, perkawinan menjadi sebuah perlambang yang sejak dulu dibatasi atau dijaga oleh berbagai ketentuan adat dan dibentengi oleh kekuatan hukum adat maupun kekuatan hukum agama.
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi kedua orang tua kedua belah pihak, bahkan dalam hukum adat dikatakan Perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh para leluhur kedua belah pihak.
Dari pernyataan di atas, dapatlah dipahami bahwa perkawinan adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena salah satu manfaat perkawinan adalah “menenteramkan jiwa, menahan emosi, menutup pandangan dari segala yang dilarang Allah dan untuk mendapat kasih sayang suami Istri yang dihalalkan Allah swt.”
NurcholisMadjid mengatakan bahwa “Agama merupakan “Fitrah Munazalah” (fitrah yang diturunkan) yang diberikan Allah untuk menguatkan fitrah yang ada pada manusia secara alami. Agama dapat dikatakan sebagai kelanjutan naluri manusia sendiri dan merupakan wujud nyata dari kecenderungan buadaya-budaya yang ada.
Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mengartikan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tradisi merupakan adat atau kebiasaan yang secara turun temurun yang masih dijalankan oleh masyarakat baik kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang saling berkaitan dan bahkan telah merupakan suatu sistem.Sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal, sistem itu menjadipendorong yang kuat untuk mengarahkan kehidupan masyarakat.
Kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang secara turun temurun sering terjadi pada perkawinan mulai pada masa pinangan, menandai pertunangan dengan tukar Cincin. Waktu melangsungkan akad nikah, memberikan mahar atau mas kawin, hiburan dalam perakawinan merias pengantin perempuan, kejadian yang seperti diatas tampaknya sulit untuk dipisahkan karena tradisi nenek moyang kita dari sejak dahulu sampai sekarang.
Perkawinan merupakan sebuah fase peralihan kehidupan manusia dari masa remaja dan masa muda ke masa berkeluarga. Peristiwa tersebut sangatlah penting dalam proses integrasi manusia di alam semesta ini. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang Laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami istri yang dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syariat Islam.
Perkawinan merupakan cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk melakukan hubungan seksual secara sah antara Laki-laki dan perempuan, serta cara untuk mempertahankan keturunannya. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman yang berbunyi :
••••
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Dengan demikian, perkawinandapat menjadikan seseorang mempunyai pasangan. Sebagimana dijelaskan dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang status ikatan atau transaksi yang diikat antara suami dan isteri, adalah sebagai hubungan dan ikatan yang melebihi dari ikatan-ikatan lain. Kalau akad nikah disebut transaksi-transaksi lain. Dalam hal ini Al-Qur’an memproklamasikan perkawinan sebagai satu perjanjian (transaksi) yang kokoh.
Keluarga dalam struktur kehidupan masyarakat merupakan kesatuan terkecil yang menjadi landasan kehidupan umat atau bangsa seluruhnya. Apabila dalam kehidupan keluarga berjalan dengan baik, bukan saja memperkuat bangsa dan negara saat sekarang, melainkan juga mempersiapkan putra-putri yang akan mendukung agama serta menjadi kekuatan bangsa dan negara di masa mendatang. Agama tidak hanya menganjurkan menikah dan hidup berkeluarga, bahkan memberikan ketentuan dan tuntunan yang mutlak keberadaannya demi kebahagiaan hidup manusia. Allah SWT. berfirmanyang berbunyi:
•••
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Berdasarkan keterangan ayat tersebut, dipahami bahwa perkawinan merupakan cara yang harus ditempuh oleh pria dan wanita untuk menghalalkan hubungan mereka serta untuk mendapatkan ketentraman dengan terwujudnya rasa kasih sayang di antara pria dan wanita sebagai suami istri.
Bagi suku bangsa yang memiliki adat dan budaya, perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia dalam kehidupan yang dilaksanakan dalam suatu upacara yang terhormat serta mengandung unsur sakral di dalamnya.Upacara tersebut biasanya diselenggarakan secara khusus, menarik perhatian dan disertai penuh kenikmatan.Selain itu, upacara ini juga menggunakan benda-benda maupun tingkah-laku yang mempunyai kaitan makna khusus yang tidak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.Semuanya itu bertujuan untuk menyatakan agar kedua pengantin senantiasa selamat dan sejahtera dalam mengarungi kehidupan bersama, terhindar dari segala rintangan, gangguan, dan malapetaka.
Islam sebagai agama yang universal (rahmatan lil’alamin), memiliki sifat mudah beradaptasi untuk tumbuh di segala tempat dan waktu. Hanya saja pengaruh lokalitas dan tradisi dalam kelompok suku bangsa, diakui atau tidak, sulit dihindari dalam kehidupan masyarakat muslim. Namun demikian, sekalipun berhadapan dengan budaya lokal di dunia, keuniversalan Islam tetap tidak akan batal. Hal ini menjadi indikasi bahwa perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya tidaklah menjadi kendala dalam mewujudkan tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi pedoman dalam segala aspek kehidupan.Hanya saja pergumulan Islam dan budaya lokal itu berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama berkenaan dengan tata caranya (technicalities).Islam lahir di tanah Arab, tetapi tidak harus terikat oleh budaya Arab.
Sebagai agama universal, Islam selalu dapat menyesuaikan diri dengan segala lingkungan sosialnya. Penyebaran Islam tidak akan terikat oleh batasan ruang dan waktu. Di mana saja dan kapan saja Islam dapat berkembang dan selalu dinamis, aktual, dan akomodatif dengan budaya lokal.Kreativitas yang diberikan oleh Allah Taala kepada manusia telah memberikan variasi perilaku keagamaan yang berbeda-beda antara umat yang satu dengan yang lainnya. Tradisi umat Islam di Lombok mungkin akan berbeda dengan di Alor. Islam di Alor pesisir dan pedalaman pun sudah kelihatan perbedaannya.Perbedaan merupakan sesuatu yang wajar dan dapat menjadi rahmat bagi manusia, juga sudah menjadi sunatullah.
Di Kecamatan Alor Barat Daya, Islam berkembang cukup baik ditengah-tengah masyarakat yang berbeda corak kebudayaanya salah satu diantaranya adalah masyarakat muslimsuku Kui. Sebagai sebuah kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol.Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Allah Taala.Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup didalamnya.Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan. Tetapi keduanya perlu dibedakan, agama adalah sesuatu yang universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut).Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer.Agama tanpa kebudayaan dapat berkembang sebagai agama pribadi, tetapi kebudayaan agama sebagai kolektivitas pada sekelompok orang yang tinggal di suatu tempat.Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi, karena agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya mengandung nilai-nilai adalah agama.Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan.
Kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam melalui adanya perkawinan sehingga kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama.Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan.Agama, dapat diperspektif sebagai sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Masyarakat suku Kui mendiami daerah pesisir yang terdapat dalam satu kecamatan Alor Barat Daya.Tradisi yang begitu khas dan cukup unik menjadi perhatian bagi masyarakat luas yang memiliki latar belakang adat dan tradisi yang berbeda-beda.Yang paling menarik dalam masyarakat ini adalah telah mengenal Islam sejak berabad-abad lalu dibuktikan dengan bangunan masjid bersejarah yaitu Masjid At-Taqwa Lerabaing terletak di Desa Wakapsir, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor, Provinsi NTT. Lokasi masjid ini berada di sebelah utara perbukitan yang curam, yang berbatasan dengan Selat Ombai di sebelah selatan, sebelah baratnya merupakan perkebunan milik penduduk setempat dan sebelah timurnya berbatasan dengan sungai Erbah.
Pada masyarakat adat Kui perkawinan berasal dari bahasa daerah yaitu “Tamir Tawkki” . Sementara melihat begitu pentingnya kedudukan dan fungsi dari perkawinan baik secara perspektif hukum adat maupun Islam maka mendorong penulis untuk mengadakan penelitian mengenai: Tradisi Upacara Adat Perkawinan Suku Kui Di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur Prespektif Hukum Islam.

B. Fokus Kajian
Sesuaidengan konteks penelitian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah meliputi hal-hal tersebut di bawah ini:
1. Bagaimanasistemadat perkawinan suku Kui di Kecamatn Alor Barat Daya Kabupaten Alor ?
2. Bagaimana prosesi pelaksanaan tradisi upacara adat perkawinan suku Kui di Kecamatn Alor Barat Daya Kabupaten Alor ?
3. Bagaimana Pandangan Hukum Islam terhadap tradisi upacara adat perkawinan suku Kui di Kecamatn Alor Barat Daya Kabupaten Alor ?

C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui sistemadat perkawinan suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor
b. Untuk mengetahuiprosesi upacara adat perkawinan suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor
c. Untuk mengetahui Pandangan Hukum Islam terhadap tradisi upacara adat perkawinan suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor
2. Manfaat
Kegunaan yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini mencakup dua hal, yaitu:

a. KegunaanTeoritis
1) Penelitian ini selain menambah pengalaman peneliti di lapangan, juga dapat berguna untuk pengembangan khazanah keilmuwan, khususnya dalam tinjauan ajaran Islam terhadap tradisi perkawina adat suku Kui di Alor Barat Daya.
2) Untuk menambah wawasan dan pengetahuan, khususnya pada bidang ilmu keislaman dalam rangka mewujudkan insan akademis yang cerdas dan berpengetahuan yang luas.
b. Kegunaan Praktis
1) Penelitian ini diharapkan berguna untuk mengantisipasi sikap yang keliru dan jauh dari ajaran Islam yang murni bagi masyarakat adat suku Kui.
2) Penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan wacana baru bagi masyarakat luas dan terkhusus pada masyarakat di suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya.
D. Ruang Lingkup Dan Setting Penelitian
Ruang lingkup penelitian merupakan uraian batasan dan cakupan fokus penelitian.Sedangkan pada setting penelitian ini menguraikan tentang latar alamiah (tempat atau lokasi) penelitian dilakukan.
Dari pernyataan diatas maka penelitian ini difokuskan pada tata cara pelaksanaan tradisi perkawinan adat suku Kui yang meliputi sistem perkawinan, prosesi adat perkawinan dan pandangan hukum Islamterhadap adat perkawinan dari suku Kui. Penelitian ini dilakukan di masyarakat suku Kui Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan alasan terdapat keunikan prosesi adat perkawinan yang masih terpelihara dari zaman dahulu sampai sekarang.


E. Telaah Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan topik yang diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi penelitian secara mutlak.
Sejauh penelitian penulis terhadap karya-karya ilmiah berupa buku maupun laporan penelitian tentang konsep perkawinan adat suku Kui, penulis tidak menemukan penelitian yang berhubungan dengan tradisi perkawinan adat suku Kui, namun penulis menemukan beberapa penelitian yang membicaran terkait dengan konsep adat suku Kui yaitu :
Penelitian tentang Bahasa, Kebudayaan Material dan Tradisi Lisan : Studi Etnolinguistik Orang Kui di Alor, Nusa Tenggara Timur. Dalam penelitian tersebut peneliti menyimpulkanpergeseran bahasa Kui karena berhentinya transmisi bahasa kepada generasi muda dan anak-anak disertai kurangnya transmisi tradisi lisan yakni seni verbal lego-lego, nyanyian anak-anak, cerita rakyat dan seni berpantun.Kebudayaan material dan tradisi lisan orang Kui merupakan representasi dari struktur sosial orang Kui yang hingga kini masih dipertahankan keberadaannya.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat penelitian terdahulu yang membicarakan masalah pernikahan pada masyarakat adat suku Kui. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada perkawinan masyarakat adat suku Kui ini menjadi bahan perbandingan pada proses perkawinan menurut adat suku Kui dan perkawinan menurut pandangan islam. Penelitian ini menjadi penelitian awal yang membicarakan tentang masalah perkawinan adat suku Kui sehingga menjadi salah satu sumber rujukan dalam melaksanakan perkawinan bagi masyarakat suku Kui.Dari keterangan yang tegas dan jelas tersebut, maka tidak mungkin ada upaya penjiplakan atau pengulangan kembali.

F. Kerangka Teoritik
1. Konsep Umum Tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
1) Menurut Hukum Islam
Perkawinan atau pernikahan dalam konsep fiqh berbahasa arab disebut denngan dua kata, yaitu nikah atau zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an yaitu :


“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Secara arti kata nikah adalah bergabung, hubungan kelamin, dan juga berati akad yang berarti “mengadakan perjanjian pernikahan”.Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti sebenarnya, bahkan “nikah” dalam arti yang sebenarnya jarang sekali dipakai saat ini.
Menurut pengertian sebagian fuqaha, pernikahan adalah : “aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan berhubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj atau yang semakna keduanya.”
Dari pengertian diatas, perkawinan mengandung aspek akibat hukum melansungkan perkawinan, ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka didalamnya terkandung tujuan atau maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah sesuatu yang dianjurkan syari’at.Orang yang sudah berkeinginan menikah dan khawatir terjerumus kedalam perbuatan zina maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang demikian adalah lebih utama daripada haji, shalat, jihad dan puasa sunnah. Demikian kesepakatan para ulama mazhab.
2) Menurut Hukum Adat
Dalam hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja sebagai perikatan Perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Adat” dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan.Seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua tetapi juga menyangkut hubungan adat-istiadat, kewarisan kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara adat dan keagamaan.
Perkawinan dalam arti Perikatan Adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.Akibat hukum ini ada telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi.Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak dan kewajiban orang tua termaksud anggota keluarga, kerabat menurut hukum adat setempat yaitu dengan pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, kutuhan dan kelanggenan dari kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam perkawinan.
Tata tertib adat dalam melangsungkan perkawinan terserah kepada selera dan nilai-nilai budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian perkawinan dalam arti “Perikatan Adat” walaupun dilangsungkan antara adat yang berbeda tidak akan seberat penyelesiannya dari pada berlangsungnya perkawinan yang bersifat antar agama. Oleh karena itu perbedaan adat hanya menyangkut perbedaanmasyarakat bukan perbedaan keyakinan.
Dari beberapa deskripsi diatas maka menururt hemat penulis pada dasarnya pengertian perkawinan banyak memiliki perbedaan tergantung persepsi masing-masing pihak yang mengartikannya.Perbedaan yang terdapat bukan hanya untuk menunjukkan pertentangan tetapi hanya membedakan dimana ada sebagian yang lebih menambahkan unsur-unsur pada masing-masing perumusan.Tetapi dalam perbedaan tersebut diketemukan kesamaan unsur-unsur mengenai pengertian pernikahan, yaitu suatu ikatan perjanjian.Perjanjian disini maksudnya aqad yang suci yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
b. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Ada beberapa tujuan disyariatkan perkawinan atas ummat Islam, diantaranya adalah :
• Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi kelansungan generasi yang akan datang. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an yang berbunyi :
••••
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
• Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang
• Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat manusia
Adapun hikmah yang ditemukan dalam perkawinan adalah mengahalangi mata daipada melihat hal-hal yang tidak diizinkan syara’ dan menjaga kehormatan diri dari kejahatan seksual.
c. Rukun dan Syarat Perkawinan
Menurut Hanafiyah, rukun nikah terdiri dari syarat-syarat yang terkandung dalam sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubungan dengan kesaksian.Menurut Syafi’iyah melihat syarat perkawinan ituadakalanyamenyangkut sighat, wali, calon suami isteri dan juga syuhud.Menurut Malikiyah, rukun nikah adat 5 yaitu wali, mahar, calon mempelai, dan sighat.Jelaslah bahwa para ulama tidak membedakan dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam detailnya.Malikiyah tidak menetapkan saksi sebagai rukun, sedangkan Syafi’i menjadikan 2 orang saksi menjadi rukun.
1) Rukun Perkawinan
• Calon mempelai laki-laki
• Calon mempelai perempuan
• Wali dari mempelai perempuan
• Dua orang saksi
• Ijab yang dilakukian oleh wali perempuan dan qabul yang dilakukan oleh mempelai laki-laki
Mahar yang harus ada dalam perkawinan tidak termasuk dalam rukun karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlansung.
Akad dalam pernikahan adalah perjanjian yang harus dilakukan dalam bentuk ijab dan qobul.Ijab adalah bentuk penyerahan sedangkan qobul adalah bentuk penerimaan. Bila tidak ada calon mempelai yang akan melansungkan perkawinan, tidak ada suatu perkawinan. Calon mempelai masing-masing harus bebas dalam menyatakan persejutuannya karena hal ini menurut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai haruslah sudah mampu memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan.
Keberadaan wali dalam pernikahan adalah sesuatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Kedudukan wali menjadi hal yang sangat penting sehingga terdapat orang-orang yang berhak menjadi wali nikah yaitu : wali nasab, wali mu’thiq dan wali hakim. Namun dalam masalah wali ulama Hanafi dan Hambali perpendapat bahwa walaupun nikah tanpa wali maka perkawinan tersebut tetap sah.
Sebagian besar ulama mengatakan bahwa saksi merupakan rukun nikah menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali, akad nikah yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi, tidak sah. Saksi harus memenuhi syarat : harus beragama muslim, berjumlah dua orang atau lebih, orang yang merdeka, sebaiknya harus laki-laki bersifat adil dan memiliki indera pendengaran maupun penglihatan yang baik.
Mahar tidak dimasukkan dalam rukun perkawinan akan tetapi mahar haruslah dilakukan dalam perkawinan sebab mahar adalah pemberian yang wajib yang harus dilakukan laki-laki kepada istri yang dinikahinya. Mahar merupakan pemberian pertama yang diberikan kepada istri. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilakukan oleh suami selama masa ikatan perkawinan untuk kelansungan hidup suami istri. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materil berikutnya.
2) Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat bagi calon mempelai laki-laki :
• Beragama islam
• Terang laki-lakinya (bukan banci)
• Tidak dipaksa (dengan kemauan sendiri)
• Tidak beristri lebih dari 4 orang
• Bukan mahramnya bakal istri
• Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan bakal istrinya
• Mengetahui bakal istrinya tidak haram dinikahinya
• Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
Syarat bagi calon mempelai wanita :
• Beragama islam
• Terang perempuanya (bukan banci)
• Telah meminta izin kepada wali untuk menikahkannya
• Tidak bersuami dan tidak terikat iddah
• Bukan mahramnya bakal suami
• Belum pernah dili’an oleh bakal suaminya
• Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
Tidak dipenuhinya syarat-syarat nikah tersebut diatas berakibat batal atau tidak sah (fasid) nikahnya.
d. Sistem Perkawinan
Dalam masyarakat sederhana soal memilih jodoh tidaklah semata-mata bergantung pada yang hendak menikah.Soal itu ditentukan oleh sekurang-kurangnya seluruh keluarga, disamping itu setiap anggota masyarakat terikat pada ketentuan-ketentuan kawin yang diharuskan dan dihalalkan golongannya secara khusus.Ada yang mengharuskan berkawin dalam batas lingkungan tertentu, ada yangmengharuskan berkawin diluar batas lingkungan itu.
Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untukdapat melangsungkan perkawinan. Untuk mengkaji masalah perkawinan ada beberapa sifat, sistem, bentuk dan adat sesudah menikah di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1) Bentuk-Bentuk Perkawinan
Negara Indonesia pada umumny perkawinan dibedakan atas beberapa bagian yaitu:
a) Monogami
Monogami yaitu seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai istri satu orang saja. Bahkan untuk bermonogami dikuatkan dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang tertuang dalam pasal 3 ayat: (1) pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, (2) pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk beristrikan lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.
b) Poligami
Poligami yaitu seorang laki-laki boleh beristri lebih dari seorang wanita.Perkawinan macam ini boleh dilakukan berdasarkan agama tertentu dan juga oleh aturan-aturan yang ada, bila dirasa ada sebab khusus dan harus tetap mendapat persetujuan dari pihak istri.
c) Poliandri
Poliandri adalah perkawinan yang memperbolehkan seorang wanitamempunyai suami lebih dari satu berdasarkan adat istiadat. Alasan yang di kemukakan untuk berpoliandri biasanya: belis yang diminta oleh keluarga gadis itu pada umumnya terlalu tinggi, sedang lelaki atau keluarganya miskin, maka untuk mendapatkan jumlah mas kawin yang dimintakan itu, beberapa pemuda bekerja sama mengumpulkannya, kemudian bersama pula memperistrikan gadis itu. Bila diperoleh keturunan dari perkawinan secara bersama itu, maka salah seorang dari para lelaki mengadakan upacara untukmemiliki secara sah anak itu sesuai peraturan normamasyarakat.
2) Sifat Perkawinan
Semua masyarakat didunia mempunyai batasan-batasan tertentu dalam perkawinan, baik itu berupa perkawinan yang dianggap ideal dan larangan dalam perkawinan. Sifat perkawinan membagi perkawinan menjadi tiga yaitu:
a) Endogami
Endogami yaitu seseorang harus kawin dengan orang yang berada dalam satu lingkungannya.Endogami bisa dalam lingkup kasta, marga, dan suku.Perkawinan semacam ini sudah jarang ditemukan di Indonesia.
b) Eksogami
Eksogami adalah perkawinan yang dilakukan dengan seseorang yang berada di luar lingkungannya.Perkawinan semacam ini pada umumnya masih dipertahankan oleh masyarakat yang menganut garis keturunan ayah (Patrilineal) atau dari garis keturunan ibu (Matrilineal).

c) Elenthorogami
Jenis perkawinan dimana dalam mengambil calon istri atau calon suami bisa dilakukan diluar kerabatnya sendiri atau didalam lingkungannya.Di Indonesia sebagian masyarakat menganut asas ini.
3) Jenis-Jenis Perkawinan
Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara paling umum dilakukan oleh masyarakat adalah melalui pelamaran atau peminangan. Bentuk-bentuk perkawinan yang biasa dilakukan oleh beberapa masyarakat adalah sebagai berikut:
a) Perkawinan Pinang
Pola yang dapat ditemui pada tiap masyarakat yang ada di Indonasia. Perkawinan pinang adalah perkawinan yang didahului dengan tindakan pendahuluan yaitu datangnya pinangan (lamaran). Untuk masyarakat Kecamatan Alor Barat Dayapihak laki-laki yang melamar perempuan. Cara yang digunakan dalam malakukan pelamaran pada hakikatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaan hanyalah terdapat pada alat atau sarana pendukung proses pelamaran itu.
Pada umumnya, pihak yang mengajukan lamaran atau pinangan adalah pihak keluarga si pemuda, yang dijalankan oleh seseorang atau beberapa orang sebagai utusan. Seseorang atau beberapa orang sebagai utusan itu adalah mereka yang sekerabat dengan pihak laki-laki atau bahkan sering terjadi yang melakukan lamaran adalah orang tuanya sendiri. Bila pinangan atau lamaran itu diterima baik, maka mungkin tidak sekaligus mengakibatkan perkawinan, akan tetapi mungkin dilakukan pertunangan terlebih dahulu.
Pada masa kini, pertunangan dimulai pada ketika upacara “tukar cincin”, yaitu suatu upacara yang diadakan khusus untuk saling memberikan cincin oleh kedua belah pihak untuk dikenakan. Dengan demikian, cincin telah berfungsi sebagai alat pengikat atau tanda yang kelihatan.Pertunangan sebagai adat turun-temurun dari nenek moyang dan merupakan tindakan pendahuluan dari suatu perkawinan.Kedua belah pihak wajib menepati janji yang telah diucapkan bersama. Bila yang ingkar dari pihak laki-laki maka ia akan kehilangan tanda pengikat yang telah diserahkan atau membayar denda.
b) Perkawinan Lari bersama
Bentuk perkawinan ini tidak melalui pertunangan atau peminangan.Seseorang pemuda dan seorang gadis bermufakat untuk lari meninggalkan orang tua mereka dengan maksud untuk hidup bersama sebagai suami-istri.
Perkawinan dengan cara lari bersama ini dilakukan, untuk menghindari diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara pelamaran atau peminangan, atau juga untuk menghindarkan diri dari rintangan-rintangan dari pihak orang tua dan sanak saudara, yang terutama datangnya dari pihak orang tua dan sanak saudara pihak perempuan.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya kawin lari bersama ada beberapa sebab :
• Karena keluarga salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak setuju,
• Untuk menghindari biaya perkawinan yang sangat mahal,
• Pihak laki-laki tidak mampu memenuhi permintaan keluarga pihak perempuan. Bila hal ini terjadi perkawinan bisa dilaksanakan setelah tercapainya perdamaian melalui rapat-rapat adat.
c) Perkawinan Bawa Lari
Perkawinan bawa lari adalah berupa lari dengan seorang perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain atau membawa lari perempuan dengan paksaan.
d) Perkawinan Gantung
Perkawinan gantung yaitu anak perempuan sebelum dewasa sudah dijodohkan dan diikat pihak laki-laki. Setelah anak perempuan dewasa baru dilaksanakan perkawinan.
2. Tradisi
a. Islam dan Perkawinan Lokal
Islam merupakan agama yang universal memiliki sifat yang mampu untuk beradaptasi serta tumbuh dan beradaptasi disegala tempat dan waktu. Hanya saja pengaruh lokalitas dan tradisi dalam sekelompok suku bangsa sangat sulit dihindari dalam masyarakat muslim. Namun demikian, walaupun berhadapan dengan budaya lokal dunia, keuniversalan Islam tetap tidak akan berkurang. Hal ini menjadi indikasi bahwa perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya tidaklah menjadi kendala untuk mencapai tujuan Islam karena Islam tetap menjadi pedoman dalam segala aspek kehidupan.Hanya saja pergumulan Islam dan budaya lokal itu berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama dengan tata caranya atau tradisinya masing-masing.
Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian kehidupan dari suaatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu kebudayaan, waktu atau agama yang sama. Selain itu tradisi juga dapat diartikan sebagai kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi dan reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu.
Tradisi menurut bahasa latin trdition artinya diteruskan. Menurut istilah adalah suatu kebiasaan yang berkembang dimasyarakat baik yang menjadi adat kebiasaan atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau agama . Dalam pengertian yang lain, sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau agama yang sama.
Adapun tradisi dapat menjadi hukum yang mendapat legitimasi dari hukum islam, apabila tidak ada nash yang menyatakan tentang itu.
Dalil bagi tradisi ditemukan dalam al-Qur’an, yang berbunti :

“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Dengan demikian, berbicara tradisi berarti berbicara tentang tatananeksistensi manusiadan bagaimana masyarakatmempersentasekan dalam kehidupan.Dalam sudut pandang seperti ini setiap masyarakat memiliki tradisinya sendiri, sesuai dengan bagaimana mereka menghadirkannya dalam hidupnya.
Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dimasyarakat. Sejak dahulu tradisipun telah ada dan menjadi kebiasaan yang dijalani oleh masyarakat saat ini.
Dalam hukum Islam istilah tradisi dikenal dengan ‘Urf.‘Urf adalah suatuyang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Atau kebiasaan atau hukum yang bersifat kedaerahan yang dapat saja bersanding dengan hukum Islam.
Di Kalangan maysarakat‘Urf dikenal dengan sebagai adat. Dari pengertian tersebut maka ‘Urf itu mencakup sikap saling pengertian diantara manusia diatas perbedaan tingkat diantara mereka baik keumumannya ataupun kekhususannya.
Secara umum ‘Urf atau adat diamalkan oleh semua mazhab fiqh terutama dikalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama mazhab Hanafiyah menggunakan istishan dalam berijtihad dan salah satu bentuk istishan itu adalah istihsan al-‘Urf(istilah yang menyandar pada ‘Urf). Oleh ulama Hanafiyah, ‘Urf itu didahulukan atas khiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam artian bahwa ‘Urf itu mentakhsish umum nash. Ulama Malikiyah menjadikan ‘Urf atau tradisi yang hidup di kalangan Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadist ahad. Ulama Syafi’iah banyak menggunakan ‘Urf dalam hal tidak menentukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa ‘Urf atau adat itu dapat digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum namun penerimaan ulama atas adat itu bukanlah karena semata-semata ia bernama adat atau ‘Urf . adat itu berlaku dan diterima orang banyak karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai adat berarti menolak kemaslahatan karena semua masyarakat telah sepakat untuk mengambil sesuatu yang bernilai mashlahat, meskpun tidak ada nash yang secara lansung mendukungnya.
Berdasarkan seleksi syara’ maka adat dapat dibagi kepada beberapa kelompok sebagai berikut :
1) Adat yang lama secara substansial dan dalam pelaksanaannya mengandung unsur kemashlahatan. Maksudnya dalam perbuatan itu terdapat unsur manfaat dan tidak terdapat unsur mudharatnya. Adat dalam bentuk ini diterima sepenuhnya dalam hukum Islam .
2) Adat lama yang pada prinsipnya mengandung unsur mashlahat namun dalam pelaksanaanya tidak dianggap baik oleh Islam. Adat dalam bentuk ini dapat diterima oleh Islam namun dalam bentuk pelaksanaanya selanjutnya mengalami perubahan dan penyesuaian.
3) Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat(merusak). Maksudnya yang mengandung unsur perusak dan tidak memiliki unsur manfaat atau ada unsur manfaatnya namun unsur perusaknya lebih besar.
4) Adat atau ‘Urf yang telah berlansung sejak lama, diterima oleh semua pihak karena tidak mengandung unsur mafsadat(perusak) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang datang kemudian namun secara jelas belum terserap kedalam syara’, baik secara langsung atau tidak langsung.
Selain kriteria diatas, hukum adat dapat dijadikan hukum Islam apabila memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1) Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum;
2) Sudah berulangkali terjadi dan telah berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan;
3) Telah ada waktu transaksi berlangsung;
4) Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak;
5) Tidak bertentangan dengan nash (Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw).
Hukum adat sudah seharusnya merupakan salah satu pusat perhatian dalam studi hukum dan masyarakat. Sebagaimana dipahami, maka studi hukum dan masyarakat itu menghendaki agar pembicaraan hukum itu senantiasa dikaitkan secara sistematis kepada masyarakat tempat ia berlaku.
Prosesi perkawinan adat merupakan perbuatan yang termasuk ke dalam adat (‘urf).Adat dalam Islam diakui sebagai salah satu teori penetapan hukum Islam.Kajian tentang perkawinan adat suku Kui ini sangat erat kaitannya dengan ‘urf.Pengertian ‘urf adalah sikap dan perkataan yang “biasa” dilakukan oleh kebanyakan manusia secara keseluruhan dalam suatu kelompok masyarakat.
‘Urf sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu:
(1) ‘Urf ditinjau dari kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya oleh syari’ah) ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
(a) ‘Urf yang shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, seperti memesan barang dagangan.
(b) 'Urf yang fasid, yaitu yang bertentangan dengan syariah, seperti kebiasaan minum-minuman keras saat merayakan pesta kelahiran.
(2) ‘Urf ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, yaitu mengenai adat dan kebiasaan kita, ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
(a) ‘Urf yang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku untuk semua orang di semua daerah, Misalnya membayar bis kota dengan tidak menggunakan akad ijab qobul.
(b) ‘Urf yang khusus, yaitu hanya berlaku di suatu daerah tertentu saja, Misalnya adat gono-gini dalam adat jawa.
Sementara kajian adat suku Kuijuga sangat erat kaitannya ‘urf fi’li (dalam istilah lain disebut ‘urf amalî) adalah sejenis pekerjaan atau aktifitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma sosial, contohnya adalah penggunaan pakaian adat saat resepsi pernikahan.
Menurut Nurkholis Madjid, percampuran atau akulturasi timbal balik antara hukum Islam dengan budaya atau adat istiadat masyarakat diakui dalam suatu kaidah Islam atau ketentuan dasar ushul fiqh, bahwa adat kebuasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum. Upaya pendekatan atau kompromi antara hukum adat dengan hukum Islam antara lain berdasarkan kaidah yang berbunyi “al - Adatul Muhakkamah”.
Bahwasannya adat atau tradisi dalam sebuah masyaarakat dengan melihat maslahatnya, bisa diterima dan dimasukkan dalam hukum atau perundang-undangan Islam. Sebab sebuah maslahat wajib untuk dijadikan pertimbangan hukum selama tidak ada nash yang menbatalkan. Akan tetapi jika adat tersebut ternyata menyimpang dari aturan nash yang ada, maka adat tersebut yang harus dikalahkkan.
Kini kita berada pada abad yang telah jauh dari kehidupan zaman dahulu kala tidak hanya jauh dalam pengertian tentang waktu namun jauh dalam arti corak dan karakteristik budaya zaman dahulu. Setiap fenomena sosial budaya yang berkembang dengan aneka ragam, tidak lagi memperoleh petunjuk secara atau jawaban secara lansung yang turun dari Allah SWT (wahyu). Sebagaimana Rasulullah Saw., menghadapi fenomena serupa pada masanya, setiap kali menghadapi problem yang krusial, ketika itu pula tiba-tiba Al-Qur’an turun sebagai jawabannya.
Demikian juga pada setiap fenomena yang dijumpai masyarakat muslim pada era awal selalu saja rasul dijadikan sebagai figur otoritatif untuk memberikan jawaban-jawabannya.
Tradisi perkawinan saat ini sudah mengalami perluasan budaya sehingga lebih berfariasi dan inofatif dalam pelaksanaannya. Pada dasarnya tradisi masyarakat zaman dahulu dengan sekarang tidak berbeda selama tradisi tersebut tidak keluar dari norma-norma hukum Islam.
Berdasarkan teori-teori tersebut, penyusun akan berusaha memecahkan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

G. Metode Penelitian
Suatu ilmu yang membicarakan tentang cara atau prosedur ataulangkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai tujuan disebut metodologi.Sedangkan penelitian diartikan suatu cara untuk memahami sesuatu denganmelalui penyelidikan atau melalui usaha mencari bukti-bukti yang munculsehubungan dengan masalah-masalah itu, yang dilakukan secara hati-hatisekali sehingga diperoleh pemecahan yang benar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan metodeadalah cara yang diatur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksudtertentu.Berdasarkan pengertian diatas maka metode penelitian adalah suatu ilmu yangmempelajari atau membicarakan cara-cara yang digunakan dalam usahamenemukan, mengembangkan dan menguji kebenarannya.


1. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian sosiologistentang tradisi upacara perkawinan adat suku Kui. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dll., secara holistikdan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Berangkat dari pengertian diatas maka penelitian ini menggunakan pendekatan sebagai berikut :
a. Pendekatan sosial atau fakta sosial, yaitu penulis mengadakan peneropongan terhadap segi-segi sosial peristiwa yang dikaji, serta nilai-nilai yang dijadikan pegangan.
b. Pendekatan normatif, yaitu pendekatan masalah dengan menilai kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat. Apakah ketentuan tersebut sesuai atau tidak dengan hukum Islam (‘Urf). Serta bagaimana pandangan Islam terhadap perkawinan adat suku Kui untuk pembenaran maupun untuk pemberian norma atas masalah yang diteliti.
2. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian.Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis sebagai peneliti terjun lansung ke lokasi penelitian untuk mencari dan mengumpulkan data-data dari sumber-sumber terkait dengan masalah yang diteliti.
Kehadiran penelitian dalam penelitian ini bertujuan untuk mencipatakan hubungan baik dengan subjek penelitian. Peneliti sebagai pengamat partisipan sehingga hadir secara penuh dalam proses pengumpulan data atau melakukan pengamatan secara langsung namun non partisipan.
3. Lokasi Penelitian
Pada penelitian ini lokasi penelitian di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor.Lokasi ini merupakan tempat dimana masyarakat suku Kui mendiami wilayah tersebut.Suku Kui tersebar diberbagai desa atau kelurahan sehingga peneliti menggunakan lingkup kecamatan agar dalam penelitian ini dilakukan terhadap semua masyarakat suku Kui.
4. Sumber Data
Sumber data yang dimaksudkan adalah dari mana data dan informasi diperoleh seorang peneliti. Menurut Arikunto, sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Apabila peneliti menggunakan orang maka sumber data disebut subjek, yaitu orang-orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan.
Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber data adalah para informan kunci yang memiliki kompeten dan sangat relevan dengan penelitian ini.Sumber data pada penelitian ini adalah tokoh adat yang menjadi informan kunci yang telah diketahui oleh peneliti sehingga memudahkan peneliti untuk mendapatkan data-data terkait dengan fokus penelitian ini. Selain tokoh adat, peneliti juga menggunakan subjek dari penelitian ini adalah tokoh agama, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Alor Barat Daya, pasangan suami istri yang melakukan perkawinan pada masyarakat suku Kui dan pelakuperkawinan.
Jadi menurut sumbernya, data penelitian digolongkan berdasarkan jenis dataprimer dan data sekunder.
a. Data primer atau data tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung subyek penelitian. Dalam hal ini penelitilangsungterjun kelokasi penelitian melakukan wawancara atau interview dan merekam setiap pembicaraan dari responden, informan atau pelaku peristiwa, serta melakukanwawancara dengan tokoh adat, tokohagama dan masyarakat setempat.Penekanan disini adalah kedalaman informasi (kualitas) dari informan, bukan dari jumlah (kuantitas) informan. Adapun nama-nama informan adalah seperti yang tertera dalam tabel dibawah ini.
b. Data sekunder adalah sumber yang tidak secara langsung mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap pengumpulan atau penyimpulan data. Adapun sumber-sumber yang dipakai adalah kamus, kitab-kitab atau buku-buku berkaitan yang dapat mendukung dalam penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan hukum yang berfungsi memperjelas, memberikan petunjuk, dan mendukung bahan hukum primer dan sekunder, dalam hal ini yaitu berupa Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penyusun mengunakan metode sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi adalah kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra yang dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan pengecap. Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan bentuk-bentuk, faktor-faktor dan tata cara proses perkawinan adat suku Kui. Observasi ini dilakukan dengan jalan pengamatan langsung untuk diambilkan rekaman dan gambar-gambar secara langsung terhadap masalah perkawinan adat suku Kui yang ada di masyarakat Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor.Cara ini ditempuh untuk memperoleh data yang tidak bisa didapat dengan wawancara dan dokumentasi serta untuk menyempurnakan data yang diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi.Peneliti menggunakan observasi langsung ke daerah objek penelitian menggunakan panduan observasi untuk mendapatkan data tentang keadaan lokasi penelitian mulai dari keadaan geografis sampai dengan keadaan sarana dan prasarana yang ada di Kecamatan Alor Barat Daya.Disini penyusun mengamati fakta yang ada dilapangan, khususnya yang berhubungan dengan perkawinan adat suku Kui. Namun perlu di ketahui bahwa pada penelitian ini peneliti melakukan pengamatan secara langsung tetapi non-partisipan, artinya peneliti hanya sebatas mengamati hal-hal yang terjadi dalam masyarakat.
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu dimana percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Adapun informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 1.1
Nama-Nama Informan (Sumber Data)
No. Nama Informan Status Sosial
1. Bapak Husen Mansari Tokoh Adat
2. Bapak Jumad Sanga Tokoh Adat
3. Bapak Hasan Lautu Tokoh Masyarakat
4. Bapak Haji Umar Tokoh Masyarakat
5. Bapak Haji Kasong Tokoh Agama
6. Bapak Umar Daka Pegawai KUA
7. Ibu Hudaya Sjamsudin Ibu Rumah Tangga
8. Bapak Rahman Asa Pasangan Nikah
9. Ibu Hamida Umar Pasangan Nikah
10. Tahyat Besikari Pasangan Nikah
11. Sumarni Abdullah Pasangan Nikah
12. Samsul Serlan Pasangan Nikah
13 Sarina Besikari Pasangan Nikah

Ditinjau dari pelaksanaannya maka wawancara dapat dibedakan menjadi :
1. Wawancara bebas, yaitu pewawancara bebas menanyakan apa saja tetapi juga mengingat data apa yang akan dikumpulkan.
2. Wawancara terpimpin yaitu wawancara yang dilakukan oleh pewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci (terstruktur).
3. Wawancara bebas terpimpin yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan wawancara terpimpin.
Berdasarkan uraian diatas maka metode wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara bebas terpimpin, dimana peneliti mengadakan wawancara dengan membawa pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan pokok.Peneliti juga mewawancarai subjek dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara bebas namun difokuskan pada permasalahan yang diteliti.
Wawancara yang dilakukan peneliti bertujuan untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan tata cara perkawinan adat suku Kui mulai dari proses pertemuan laki-laki dan perempuan, proses peminangan dan proses akad nikah serta pemberian mahar dari perkawinan tersebut. Dalam metode ini, yang menjadi subjek penelitian adalah tokoh adat, tokoh agama, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Alor Barata Daya, pasangan suami
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah setiap bahan tertulis atau dokumen berupa catatan, film,recorddan sebagainya. Dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data dengan menelusuri dokumen-dokumen yang ada hubungnnya dengan adat perkawinan suku Kui.Baik berupa buku-buku, makalah-makalah, jurnal, majalah, Serta yang lainnya.
Dalam penelitian ini data dokumentasi yang dikumpulkan berupa profil Kecamatan Alor Barat Daya, data historis masyarakat adat suku Kui yang didapatkan dari pemerintah kecamatan dan data tentang jumlah pasangan menikah yang didapatkan dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Alor Barat Daya. Data dari hasil dokumentasi ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data penting terutama yang berkaitan dengan tata cara perkawinan adat suku Kui.
6. Teknik Analisis Data
Setelah data penelitian terkumpul, maka perlu ada proses pemilihan data kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dengan teliti, ulet dan cakap sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang objektif dari suatu penelitian.
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data.
Analisis data secara sistematis dapat dilakukan dengan tiga langkah secara bersamaan yaitu :
a. Reduksi data, yaitu data yang sudah terkumpul kemudian dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok dan difokuskan pada hal-hal yang penting diberi tema atau polanya
b. Display data, yaitu usaha untuk membuat berbagai macam matriks dan grafik sebagai gambaran dari keseluruhan data sehingga peneliti dapat menguasai data.
c. Mengambil kesimpulan dan verifikasi, yaitu menarik kesimpulan dari data-data yang sudah disimpulkan. Dalam hal ini peneliti dapat menggunakan metode induktif maupun metode deduktif.
Beranjak dari pengertian diatas, maka peneliti menggunakan metode induktif untuk menyimpulkan hasil observasi, wawancara dan hasil dokumentasi untuk menilai fakta-fakta sosial yang ditemukan kemudian dicocokkan dengan landasan teori yang ada. Sehingga untuk mengambil kesimpulan dari data yang dianalisis, penulis menggunakan metode induktif yaitu setelah memperoleh data proses pelaksanaan adat perkawinan suku Kui tersebut, kemudian peneliti menganalisis bagaimana sistem perkawinan dan prosesi perkawinan menurut adat Kui sertabagaimana hukum Islam menyikapinya.
7. Validasi Data
Untukmembuktikan adanya kesesuaian antara data yang diteliti dengan kenyataan, maka diperlukan validasi data dan temuan, sehingga data menjadi valid. Validasi data ini bertujuan untuk membuktikan bahwa apa yang diamati oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam kenyataan.
Analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif.Artinya, analisis tersebut ditujukan terhadap data-data yang sifatnya berdasarkan kualitas dan sifat nyata yang berlaku dalam masyarakat, dengan tujuan untuk dapat memahami kondisi sosio-kultural masyarakat yang dapat mempengaruhi peneraan hukum perkawinan dalam perpektif hukum Islam.
Untuk memperoleh data yang valid diperlukan teknik pemeriksaan, agar diperoleh temuan-temuan yang absah dapat digunakan teknik-teknik yaitu:
a. Perpanjangan keikutsertaan adalah untuk meningkatkan kepercayaan terhadap hasil penelitian untuk menjaga kemungkinan adanya data yang belum diberikan oleh informan. Dalam hal ini peneliti menambah waktu keterlibatan ditengah subjek penelitian yang awalnya penelitian dilakukan selama satu bulan, namun mengingat data yang didapatkan dilapangan belum cukup maka peneliti menambah waktu satu bulan untuksehingga benar-benar memperoleh data atau informasi sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi dilapangan.
b. Ketekunan pengamatan yaitu meningkatkan ketekunan dalam arti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Pengamatan yang walanya dilakukan peneliti dua kali dalam satu minggu ditambah lagi empat kali dalam seminggu dengan waktu yang digunakan dua sampai tiga jam untuk mengamati keadaan masyarakat serta prosesi perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat suku Kui.Sehingga dengan cara tersebut maka kepastian data dapat ditemukan secara pasti dan sistematis.
c. Triangulasi adalah mengecek keabsahan data tertentu dengan membandingkan data yang diperoleh dari sumber lain. Triangulasi sumber data ini dilakukan untuk mendapatkan informasi yang sejenis dari informasi atau sumber yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1) Membandingkan data hasil temuan dengan data hasil wawancara.
Peneliti menemukan pada proses perkawinan adat Kui tidak terdapat moko yang digunakan sebagai gapon eil namun informan memberikan jawaban terhadap pertanyaan peneliti yaitu moko menjadi gapon eil yang harus diberikan sehingga pengecekan untuk menemukan kebenaran dilakukan peneliti dengan cara menanyakan kepada informan lainnya sehingga ditemukan jawaban bahwa moko yang digunakan sebagai gapon eil digantikan dengan barang yang lainnya yang disubstansikan dengan moko.
2) Mebandingkan persepsi orang dengan pendapat atau pandangan orang lain.
Peneliti menemukan salah satu pendapat yang diutarakan oleh Bapak Husen Mansari yaitu kata melamar gadis dalam bahasa Kui yaitu mitakunasementara menurut Bapak Muhammad Sanga mengatakan mei bangan berarti melamar gadis. Dari kedua pernyataan ini, untuk menemukan kesimpulannya maka penulis mencari orang ketiga untuk menemukan jawabannya. Sehingga menurut bapak Hasan Lautu mengatakan bahwa mei bangan adalah kata asal dari melamar gadis sementara mitakuna adalah nama dari proses melamar tersebut.
3) Membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil dokumentasi.
Salah satu data yang dibandingkan oleh peneliti adalah pernyataan informan yang mengatakan pasangan nikah yang terhitung dari tanggal 10 maret 2012 sampai dengan 30 Mei 2015 berjumlah 20 pasangan, namun menurut data pendaftaran nikah yang terdapat di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Alor Barat Daya terdapat 37 pasangan nikah dari suku Kui.
4) Membandingkan pernyataan orang didepan umum dan pernyataan orang yang dikatakan secara pribadi
d. Kecukupanreferensi adalah bahan bacaan yang menjadi bahan acuan atau pembanding dengan data-data yang ditemukan melalui observasi dan wawancara.Referensi ini digunakan untuk menghubungkan teori kepustakaan dengan kenyataan yang sebenarnya dilapangan.Dalam penelitian ini digunakan teknik pemeriksaan untuk mendapatkan kebenaran data dan informasi yang relevan dengan masalah yang diteliti. Oleh karena itu peneliti berupaya untuk memperbanyak referensi agar nantinya data dan informasi yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan.

H. Sistematika Pembahasan
BAB I. Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub Bab meliputi: Konteks Penelitian, Fokus Kajian, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Ruang Lingkup dan Setting Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik, Metodologi Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
BAB II. Memaparkan tentang data dan temuan selama penelitian. Bab ini meliputi: paparan data dan temuan, sistem pelaksanaan sebelum perkawinan, sistem pelaksanaan saat perkawinan dan sistem pelaksanaan sesudah perkawinan.
BAB III. Menguraikan bahasan tentang upacara adat perkawinan Suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya. bab ini memuat pengertian upacara adat, perkawinan sebagai bagian dari adat suku Kui, mekanisme pelaksanaan adat perkawinan suku Kui dan Menguraikan bahasan perspektif hukum Islam tentang pelaksanaan upacara adat perkawinan suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya.
BAB IV.adalah bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran. Dalan bab ini, penulis membuat kesimpulan-kesimpulan atas masalah yang telah dibahas dan mengemukakan saran sebagai solusi dari permasalahan.








BAB II
PAPARAN DATA DAN TEMUAN
[
A. Gambaran Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis
Kecamatan Alor Barat Daya adalah salah satu Kecamatan yang terletak pada koordinat Lintang : -8° 20'53.16" Bujur : 124° 31'9.13”di bagian barat daya Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur, dengan ibukota Kecamatan Moru. Kecamatn Alor Barat Daya didirikan pada tahun 1992 luas wilayah mencapai ± 42.732 km3 dengan batas-batas sebagai berikut :
• Sebelah Utara : Teluk Kabola
• Sebelah Timur : Kecamatan Mataru
• Sebelah Selatan : Selat Ombay
• Sebelah Barat : Selat Pantar

2. Keadaan Geografis
Kondisi wilayah Kecamatan Alor Barat Daya berkonfigurasi bergunung - gunung dan memberikan variasi iklim yang berbeda dan sangat menguntungkan bagi daerah dan rakyat dalam pengembangan tanaman produksi.
Jenis tanah di Kecamatan Alor Barat Daya temasuk Vulkanik muda sehingga kaya unsur hara dengan struktur tanah yang gembur dan subur.Solum tanah sedang sampai dalam, sehingga tanah lebih stabil dengan kemampuan menahan air tinggi dan dapat diusahakan berbagai jenis tanaman.
Keadaan topografi wilayah Kecamatan Alor Barat Daya adalah kemiringan diatas 40 derajat 64,25%, Kemiringan 15–40 derajat 25,61%, Kemiringan 3–15 derajat 8,69%, Kemiringan 0–3 derajat 3,45%. Sebagian besar terdiri dari tanah pegunungan yang tinggi yang dibatasi oleh lembah dan jurang yang cukup dalam yang merupakan hambatan umum sarana komunikasi/arus lalu lintas kendaraan baik darat maupun laut.Daerah Kecamatan Alor Barat Daya mempunyai ketinggian 656 meter dari permukaan laut.
Kecamatan Alor Barat Daya termasuk dalam daerah dengan keadaan iklim semiarid sehingga terjadi pergantian musim yang periodenya tidak seimbang, yaitu musim hujan yang singkat selama 3–5 bulan dan musim kemarau yang panjang 7-8 bulan. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret setiap tahunnya, yaitu sebesar 153 mm. Selama musim hujan distribusi hujan tidak merata disetiap wilayah Kecamatan.Kenaikan curah hujan yang terjadi pada bulan Maret yang cukup deras dan lama biasanya dapat menimbulkan banjir pada areal yang berupa cekungan.
Kondisi tanah yang berkoefisien alir tinggi atau kurang resapan akibat berkurangnya flora karena penebangan atau terbakarnya hutan yang dapat mengakibatkan terkikisnya lapisan humus yang pada gilirannya dapat mengurangi kesuburan tanah.
Berdasarkan sumbernya maka potensi sumber daya air dibedakan atas tiga jenis yaitu air hujan, air permukaan, dan air tanah.Potensi air tanah yang meliputi air tanah dangkal, air tanah dalam (aquifer) dan mata air.Potensi air tanah di Kecamatan Alor Barat Daya termasuk yang sangat rendah (very low).
Sumber daya alam yang terdapat di Kecamatan Alor Barat Daya yaitu :
• Budi daya mutiara laut di Kelurahan Moru dan Desa Wolwal
• Emas di Desa Wakapsir dan Halerman
• Kandungan minyak tanah di Desa Wakapsir dan
• Tambah batu hitam di Desa wakapsir.
Selain sumber daya alam tersebut, terdapat pula pelabuhan peti kemas yang terletak di Kelurahan Moru.

3. Keadaan Demografis
a. Jumlah Penduduk dan Penyebarannya
Kecamatan Alor Barat daya memiliki jumlah penduduk ± 23.160 jiwa yang tersebar di 1 kelurahan, 19 desa, 42 dusun, 87 RW dan 166 RT. Adapun nama-nama desa yang berada di Kecamatan Alor Barat Daya adalah sebagai berikut : Kelurahan Moru, Desa Halerman, Desa Kafelulang, Desa Kuifana, Desa Manatang, Desa Margeta, Desa Moramam, Desa Morba, Desa Orgen, Desa Pailelang, Desa Pintu Mas, Desa Probur, Desa Probur, Desa Tribur, Desa Wakapsir, Desa Wakapsir Timur, Desa Wolwal, Desa Wolwal Barat, Desa Wolwal Selatan dan Desa Wolwal Tengah.
Dari data tersebut diatas maka Kecamatan Alor Barat Daya merupakan Kecamatan yang memiliki wilayah cakupan terluas di Kabupaten Alor dengan jumlah desa dan kelurahan sebanyak 20 desa dan kelurahan. Pergeseran jumlah penduduk di Kecamatan Alor Barat Daya disebabkan oleh 4 (empat factor) yaitu : kelahiran, kematian, datang dan perpindahan.
b. Keadaan Ekonomi
Kehidupan ekonomi merupakan salah satu faktor yang sangat penting, karena masalah perekonomian merupakan penjelmaan dari naluri ingin mempertahankan hidup manusia dengan cara bekerja dan berusaha. Demikian pula halnya penduduk Kecamatan Alor Barat Daya perkembangan perekonomiannya bervariasi yaitu menengah ke atas, sedang dan menengah ke bawah.
Jenis mata pencaharian penduduk Kecamatan Alor Barat Daya penduduk di Kecamatan Alor Barat Daya sebagian besar adalah petani dan nelayan dan sebagian kecil berprofesi sebagai pedagang, jasa pemerintahan, danbidang usaha dengan jumlah tenaga kerja produtif ± 14.100 orang dengan komposisi sebagai berikut :
Table 2.1
Jumlah Penduduk Usia Produktif Berdasarkan Lapangan Kerja
No. Jenis Lapangan Kerja Persentase Penduduk Yang Bekerja %
1. Petani pemilik 62,36
2. Nelayan 23,10
3. Peternakan 5,62
4. Pedagang 2,67
5. Pencari hasil hutan 2,79
6. Pengusaha 0,87
7. Jasa pemerintahan 2,98
8. Jasa lainnya 1,70
Jumlah 100.000

Jumlah tenaga kerja yang terserat di bidang pertanian yang begitu besar dimungkinkan karena potensi wilayah yang sangat besar dibandingkan dengan penduduknya.
c. Tata Pemerintahan
Kecamatan Alor Barat Daya terdapat sebuah Kecamatan yang berada di wilayah ibu kotaKecamatan Alor Barat Daya yaitu Moru. Selain kantor camat, terdapat pula kantor desa dengan masing-masing pimpinannya di setiap desa yang tersebar di wilayah Kecamatan Alor Barat Daya kabupaten Alor. Kecamatan Alor Barat Daya merupakan salah satu kecamatan yang difasilitasi sebuahKantor Urusan Agama (KUA) yang terletak di Kelurahan Moru.
Adapun struktur pemerintahan Kecamatan adalah sebagai berikut

Struktur Organisasi Pemerintahan Kecamatan Alor Barat Daya











d. Keadaan Sosial Masyarakat
Penduduk Kecamatan Alor Barat Daya merupakan kecamatan yang tidak terlalu jauh berbeda dengan penduduk kecamatan lainnya di kabupaten Alor dan penduduk di Indonesia umunnya. Kebudayaan dan adat istiadat yang begitu kental dikalangan masyarakat sehingga menjadikan Kecamatan Alor Barat Daya merupakan salah satu wilayah yang masih memiliki keaslian kultur budayanya. Untuk lebih mengetahuinya Kecamatan Alor Barat Daya dapat ditinjau dari segi :
1) Segi Sosial Budaya.
Masyarakat Kecamatan Alor Barat Daya merupakan masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat yang telah lama ditinggalkan oleh nenek moyang mereka.Hal ini tercermin dari beberapa kegiatan yang sering dilakukan oleh masyarakat misalnya gotong royong pembangunan rumah ibadah, rumah warga dan tempat-tempat umum lainnya.Selain itu kegiatan-kegiatan kebudayaan lainnya seperti hajatan, pentas seni budaya, pembuatan kain tenun dan prosesi pernikahan.
2) Segi Keagamaan.
Kecamatan Alor Barat Daya merupakan kecamatan yang memiliki penduduk dengan 3 (tiga) agama/kepercayan yaitu Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katolik.Namun masyarakat Suku Kui keseluruhannya beragama Islam dengan ditandai adanya sebuah bangunan rumah ibdah (Masjid) tertua. Bangunan tua ini yang menjadi lambang sejarah Suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya yaituMasjid At-Taqwa Lerabaing dibangun pada masa pemerintahan Raja Kinanggi Atamalai (1619-1638) dengan bantuan Sultan Gimales Gogo dari Maluku. Sebelum kedatangan Sultan Gimales Gogo di Pulau Alor, Raja Kinanggi Atamalai masih menganut paham animisme.Kemudian pada tahun 1625, Kerajaan Kui yang dipimpin oleh Raja Kinanggi Atamalai ini diislamkan Sultan Gimales Gogo. Setelah menjadi seorang muslim, raja tersebut dengan bantuan dari Sultan Gimales Gogo mulai mengembangkan agama Islam ke seluruh wilayah Kerajaan Kui.
Pada tahun 1632 didirikanlah masjid yang digunakan sebagai pusat dakwah para pembawa syiar ketika mereka mengenalkan Islam di Kabupaten Alor melalui perniagaan.Masjid dengan konstruksi rumah panggung ini memiliki tiang-tiang penyangga yang sudah miring.Tidak diketahui dengan pasti sebab asal muasal dengan pasti miringnya tiang penyangga, namun Masjid At-Taqwa ini masih tetap berdiri kokoh meski sudah berumur ratusan tahun.Keunikan masjid ini juga terdapat pada bentuk keempat sudut atap.Model ornamen yang berbeda di sudut atap melambangkan 4 suku yang mendiami Desa Wakapsir.Warga desa setempat menyebutnya Masjid Miring Lerabaing.
Masjid yang memiliki denah empat persegi panjang ini berukuran 9,80 x 7,90 m. Pada bagian depan bangunan terdapat tangga naik ke masjid dengan tangga dari batang lontar langsung menuju ke serambi masjid. Di lingkungan masjid juga terdapat makam Sultan Gimales Gogo, penyebar Islam di Pulau Alor yang datang dari Kesultanan Ternate.


3) Segi Pendidikan.
Dalam bidangpendidikan penduduk Kecamatan Alor Barat Daya mengalami peningkatan. Hal ini didukung oleh adanya sarana pendidikan yang tersebar di wilayah Kecamatan Alor Barat Daya, adapun sarana pendidikan dari tingkat SD/MI-SMA/MA sebagai berikut :
Table 2.2
Nama-Nama Insttansi Pendidikan
Di Kecamatan Alor Barat Daya
NO. NAMASEKOLAH TEMPAT
1. RA/BA/TA Babul Jihad Moru
KelurahanMoru
2. SMAN Wolwal
Desa Wolwal
3. MIS Babul Jihad Moru
KelurahanMoru
4. MIS Islamiyah Wolwal
Desa Wolwal
5. SMPS Nusa Kenari Moru
Desa Pailelang
6. SMAN Probur
Desa Probur
7. SDS Katholik St Arnoldus Kalongbuku
Kelurahan moru
8. SMPN Satap Kafelulang
Kafelulang
9. SMAN 1 ABAD
Desa Pailelang
10. SDS Gmit Moru I
KelurahanMoru
11. SMAN Buraga
Desa Tribur
12. SDN Usakan
Halerman
13. SMPN Wolwal Matap
Desa.Wolwal Barat
14. SMPN Maiwal
Desa.Pintu Mas
15. SMPN ProburAlor Barat Daya
Desa Probur
16. SDN Iyameli
Desa.Kaibana
17. SMPN Tribur
Desa Tribur
18. SDN Tawali
Desa. Pintu Mas
20. SDN Bural
Ds. Margeta
21. SDN Inp. Watakika(Wolwal 2)
Desa Wolwal
22. SDN Inp. Matap
Desa Wolwal Barat
23. SDN Kalabala
DesaWakapsir
24. SDN Inp. Lapangbaru
Desa Wakapsir
25. SDN Inp. Laton
Desa Wakapsir
26. SDN Maiwal
Desa Pintu Mas
27. SDN Inp. Orgen
Desa Orgen
28. SDN Pailelang
Desa Pailelang
29. SDN Hopter
Desa Halerman
30. SDN Inp. Kafelulang
Desa Kafelulang
31. SDS Gmit Wolwal
Desa Wolwal
32. SDS Gmit Biakbuku
Desa Wakapsir
33. SDS Gmit Gendok
Desa Tribur
34. SDS Gmit Buraga
Desa Tribur
35. SDS Gmit Probur I
Desa Probur
36. MIS Nurul Misbah Bombaru
DesaTribur
37. SDN Inp. Probur V
Desa Probur
38. SDN Inp. Probur IV
Halerman
39. SMPN Terbuka Teluk Mutiara II
Kelurahan Moru
40. SMPN Terbuka II ABAD
Desa Tribur
41. SDN Moru II
Desa Morba
42. SDN Probur III
Desa Probur Utara
43. SDN Probur II
Desa Halerman

e. Sarana dan Prasarana Kecamatan
Sebagai penunjang dalam kehidupan masyarakat kecamatan, telah didirikan beberapa sarana misalnya; puskesmas yang terletak di ibu kota kecamatan, puskesmas pembantu yang tersebar di wilayah pedesaan, posyandu, rumah peribadatan baik itu masjid dan yang lainnya, Kantor Urusan Agama (KUA), pasar rakyat dan pasar tradisional, pelabuhan laut dan pelabuhan peti kemas, sarana olahraga, dan sarana pendidikan sebagaimana yang tertera diatas.

B. Sistem Adat Perkawinan Suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya
1. Adat Perkawinan Suku Kui
Perkawinan adat adalah salah satu bentuk budaya lokal yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat.Bentuk budaya lokal ini memiliki perbedaan dan keunikan pada komunitas masyarakat tertentu. Hal ini biasa terlihat pada tata cara pelaksanaannya, begitu pula pada simbol-simbol yang muncul dari budaya tersebut.
Adat perkawinan Suku Kui merupakan sebagian dari adat istiadat dari masyarakat di Kecamatan Alor Barat Daya dimana merupakan sebagian dari lingkungan hidup manusia yang dialami semasa hidupnya. Proses perkawinan ini juga terikat pada suatu hukum tertentu yang berlaku pada masyarakat tersebut, dan merupakan adat kebiasaan atau tradisi-tradisi, yang dilakukan berupa upacara-upacara resmi yang melibatkan sekalian orang yang mengakui calon suami istri itu sebagai anggota masyarakat.
Tradisi upacara perkawinan adat dalam bahasa Kui yaitu “Tamir Tawakki” berarti saling mengambil satu sama lain dan menjalin hubungan keluarga. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan.
Menurut pandangan masyarakat Kui, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Kui disebut mendekatkan yang sudah jauh.
Dengan demikian, keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan.Mereka tetap memegang perana sebagai penentu dan pelaksana dalam upacara perkawinan anak-anaknya.Menurut Bapak Husen Mansari pilihan pasangan hidup tidak terlepas dari campur tangan orang, sehingga upacara adat perkawinan dalam masyarakat suku Kui merupakan urusan keluarga dan kerabat. Untuk itulah, perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku didalam masyarakat.
Sejauh yang diamati oleh peneliti bahwa adat perkawinan yang berlaku pada masyarakat suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya memiliki sifat perkawinan atau sifat susunan kekeluargaan mengikuti garis keturunan ayah.Hal ini berlaku bagi masyarakat Kabupaten Alor secara umum, karena bagi mereka seorang laki-laki (Bapak) merupakan kepala keluarga dalam sebuah rumah tangga yang memegang tanggung jawab penuh. Sehingga dalam praktiknya, masih berlaku tradisi pemberian famatau marga kepada anak atau penerus keturunan mereka sehingga istri masuk ke dalam kerabat suami beserta anak-anaknya.Namun hal ini tidak membatasi adanya hubungan kekeluargaan antara pihak keluarga laki-laki (suami) dan perempuan (istri).
Selain adat perkawinan mengikuti garis keturunan ayah, masyarakat suku Kui juga terkenal dengan adanya larangan perkawinan antara pria dan wanita dari satu rumpun atau satu keturunan (marga) yang sama. Maksud suku serumpun (marga) dalam hal ini adalah orang yang berasal dari garis keturunan ayah.Jika seorang pria menikah maka harus mencari wanita dengan marga yang berbeda, begitu juga dengan wanita yang hendak kawin maka harus keluar dari marganya.
2. Jenis-Jenis PerkawinanSuku Kui
a. Perkawinan Yang Dilaksanakan Berdasarkan Peminangan (Mita Kuna)
Perkawinan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi masyarakat suku Kui yang bersifat umum, baik dari golongan bangsawan maupun masyarakat biasa.Perkawinan jenis ini menjadi warisan yang tetap terjaga dari zaman nenek moyang hingga saat ini karena menurut masyarakat suku Kui, perkawinan dengan proses peminangan adalah perkawinana yang sangat baik.
b. Perkawinan Naik Rumah (Ow Podi)
Perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapiperempuan melarikan diri pergi meninggalkan rumah dan tinggal di rumah calon mempelai laki-laki untuk mendapatkan perlindungan dan selanjutnya diurus untuk dinikahkan.
Dalam masyarakat suku Kui peristiwa naik rumah(ow podi) ini apabila calon pengantin perempuan telah berada di rumah anggota keluarga calon mempelai laki-laki maka ia tidak bisa diganggu lagi. Anggota keluarga pihak laki-laki harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.
Untuk maksud tersebut diatas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan untuk dimintai persetujuannya tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga pihak perempuan tidak mau memberi persetujuannya, karena merasa dipermalukan. Apabila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak adat atau penghulu menikahkannya dengan istilah wali-hakim. Namun apabila terdapat kesepakatan dan persetujuan anggota keluarga kedua belah pihak maka proses akan dilanjutkan dengan proses perkawinan sebagaimana mestinya.
3. Perkawinan Yang Dilarang
Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat suku Kui melarang perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat, seperti :
a. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/ nenek) baik melalui ayah atau ibu.
b. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/ cucu/ cicit) termasuk keturunan anak wanita.
c. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturuan ayah atau ibu (saudara kandung/ anak dari saudara kandung).
d. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara yang menurunkan (saudara kandung ayah/ saudara kandung ibu/ saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu.
e. Setiap orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari satu rumpun atau satu marga menurut garis keturunan ayah.
Dari hal tersebut, berarti seorang pria dilarang kawin dengan seorang wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah tanpa batas, apabila hal ini terjadi maka oleh masyarakat suku Kui pernikahan itu dibatalkan.
4. Poligami di Kalangan Masyarakat Suku Kui
Pernikahan poligami dalam keluarga suku Kui bukan merupakan sesuatu yang tidak boleh dalam sebuah perkawinan, akan tetapi sangat menghindari perkawinan poligami karena membawa pengaruh terhadap keharmonisan keluarga terutama istri pertama, timbul percecokan antara istri satu dengan istri berikutnya, pertengkaran tidak hanya sering terjadi antara kedua istri tersebut bahkan bisa dengan suami mereka disebabkan permasalahan yang sepele, apabila pertengkaran kerap terjadi tentunya akan sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga serta perkembangan psikologis anak. Sehingga perkawinan dengan sistem poligami tidak dikehendaki dan hampir tidak dilakukan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.Apabila ingin poligami tentunya ada persetujuan dari istri pertama dengan sebab istri pertama tidak dapat menjalankan kewajiban dengan baik maka poligami dapat dilakukan.
5. Perceraian Dalam MasyarakatSuku Kui
Pada umumnya perceraian yang terjadi dalam keluarga suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya sangat rendah sekali.Perceraian yang terjadi hanya beberapa orang dari pihak keluarga suku Kui dan rujuk kembali sehingga perceraian sangat jarang terjadi.Perceraian disebabkan oleh beberapa faktor yang sulit untuk disatukan baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan, maupun antara pihak menantu dengan pihak
mertua disebabkan masalah materi sehingga terjadi perceraian. Namun demikian, terdapat keluarga yang mengalami perceraian, disebabkan kedua pasangan tidak merasa cocok satu sama lain, suami-istri yang tidak menyukai dari awal pernikahan sehingga hanya pernikahan hanya berjalan beberapa tahun. Selain faktor diatas, terdapat salah satu faktor lain yang menjadi munculnya perceraian adalah akibat dari suami yang pergi merantau dan meninggalkan istri di rumah sendirian di rumah.


C. ProsesiPelaksanaan Tradisi Upacara Adat Perkawinan Suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya.
Upacara adat istiadat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, berisi prosesi upacara adat yang harus dilalui oleh pasangan pengantin dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya sehingga perkawinan ini mendapat pengabsahan dimasyarakat.
Upacara itu sendiri dilakukan sebagai tingkah laku resmi yang dibukukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai tujuan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia. Oleh karena itu disetiap upacara perkawinan, kedua mempelai ditampilkan secara istimewa,dilengkapi dengan tata rias wajah,tata rias sanggul, serta tata rias busana yang lengkap dengan berbagai adat istiadat sebelum perkawinannya dan sesudahnya.
Sistem perkawina Suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya mempunyai ciri khas tersendiri dan memberikan suatu nilai yang berarti bagi kebudayaan nasional di samping sebagai kebanggaan tersendiri bagi daerah.Akan tetapi pada dewasa ini upacara perkawinan secara adat semakin mengalami pergeseran dikarenakan adanya pengaruh modernisasi. Sebagai masyarakat suku Kui adat lama selalu disesuaikan dengan kemampuan selama tidak bertentangan dengan hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.Hal ini menggambarkan suatu kepedulian masyarakat adat Suku Kui terhadap pentingnya nilai keaslian suatu budaya yang lama.
Dari beberapa pasangan yang telah menikah sebelumnya telah menempuh prosesi upacara adat perkawinan yang terpelihara hingga saat ini.Adapun jumlah pasangan perkawinan masyarakat suku Kui yang tercatat dalam buku catatan di Kantor Urusan Agama kecamatan Alor Barat Daya kabupaten Alor terhitung mulai tanggal 10 Maret 2012- 30 Mei 2015 adalah sebagai berikut :
Table 1.3
Jumlah Pasangan Perkawinan Suku Kui Di Kecamatan Alor Barat Daya Dari Tahun 2012- 2015.
No. Tahun Jumlah Pasangan Ket.
1. 2012 11 Pasangan
2. 2013 12 Pasangan
3. 2014 9 Pasangan
4. 2015 5 Pasangan
Jumlah 37 Pasangan

[
[[
Bila ditelusuri dan diperhatikan secara mendalam, pada setiap tahapan acara dari upacara adat perkawinana suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya terkandung makna dan tujuan yang hakiki. Adapun proses pelaksanaan tradisi adat perkawinan Suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya mulai dari sebelum perkawinan, saat upacara perkawinan dan setelah perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Tradisi AdatSebelum PelaksanaanUpacaraPerkawinan
Proses pelaksanaan sebelum perkawinan adat Suku Kui yang dilakukan di rumah calon pengantin wanita, kecuali menumbuk padi secara bergotong royong dilakukan pada masing-masing rumah calon pengantin laki-laki dan wanita.
a. Mei Bangan(Melamar Gadis)
Ikatan batin antara sepasang muda-mudi yang telah erat terjalin dalam proses ngelancong beberapa waktu yang sudah berlalu. Keadaan yang demikian itu berlanjut dimana sang pemuda memberitahukan kepada pihak orang tuanya, agar orangtua pergi melamar (khitbah) gadis idamannya itu. Jadi lamaran atau pinangan dalam masyarakat suku Kui dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Pelaksanaan peminangan ini dilakukan berdasarkan waktu yang telah ditentukan.Waktu melamar dilakukan setiap awal bulan pada malam hari yaitu malam senin, malam kamis ataupun malam jum’at.Namun sebelum kedatangan melamar secara resmi ini, sudah pernah diutus seseorang yang sudah kenal dengan orang tua sigadis utusan yang dapat dipercaya.Utusan ini menjajaki apakah memang pihak gadis dapat menerima lamaran mereka kalau satu saat datang ngelamar. Utusan yang pergi melamar biasanya tidak lansung diberikan jawaban oleh pihak perempuan namun jawaban akandiinformasikan oleh juru bicara dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Tahapan ini biasa disebut Mitakuna.
Adapun rombongan mei bangan (pelamar)ini terdiri dari orang tua yang pandai berbicara adat dari pihak calon pengantin pria yang bertindak selaku juru bicara, dua pasang pria dan wanita setengah baya sebagai utusan yang mewakili orang tua laki-laki yaitu sepasang dari pihak ayah dan sepasang dari pihak ibu. Dulu orang Kui mengutamakan utusan ini adalah keluarga yang sudah dituakan atau yang memahami masalah–masalah agama, jumlahnya kira-kira 10 orang hingga 15 orang.
Sesuai dengan adat kebisaaan utusan tersebut membawa kelengkapan ngelamar yang disebut bawaan yang terdiri dari : berupa makanan yaitu nasi, daging ayam, gula, kopi dan perlengkapan lainyang terdiri dari anting, gelang atau cincin, sebagai tanda mata yang akan dipasangkan dijari manis calon menantu oleh calon mertuanya, kain tenun adat sebagai tanda yang akan dipakaikan kepada calon pengantin wanita.
Upacara ngelamar ini bertujuan untuk mengetahui secara pasti apakah sigadis itu belum ada yang meminangnya atau belum ada yang memberikan tanda sehingga akan diberikan tanda atau biasanya dengan istilah (Gor Naban Gawel Naban / tidak ada tanda untuk diberikan tanda), atau juga untuk memastikan apakah orang tua gadis itu merestui dan dapat menerima lamaran mereka. Proses pemberiantanda yang diberikan kepada Calon pengantin perempuan ini dikenal dengan istilah (Kingkup). Setelah proses makan, dilanjutkan dengan perbincangan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.Untuk meyakinkan hal tersebut bisanya pihak yang meminang bertanya dengan cara berkias. Adapun bahasa kiasannya adalah sebagai berikut :
Bahasa utusan peminang : “a sei mat tanda gap mit noka, mat nuk ogo kira-kira gor naban e gawel naban. Kalaw gor naban gawel naban masi na gawel garupi ”
Artinya : “kami melihat ada seekor ayam betina berkeliaran dari sekitar sini, apakah kakinya sudah diberikan tanda ataukah belum, jika belum diberikan tanda maka kami kesini untuk menandainya.”
Jawaban pihak yang di pinang : “ yo’ galel obain jadi ga geduki sebab a seit mat ogo gap tanda mit noka jadi gor naban gawel naban sei mit de tarima po.”
Artinya : “iya, benar kami yang memiliki ayam tersebut, sedangkan ayam tersebut sampai sekarang belum diberikan tanda jadi kami siap menerima kalian untuk memberikan tanda kepada ayam itu.”
Setelah berdialog dan diterimannya bawaan lamarannya pun diserahkan kepada juru bicara calon pengantin wanita.
Pembicaraan yang dibicarakan pada acara lamaran pada mayarakat Suku Kui yaitu berupaamanat yang di sampaikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita agar calon pengantin wanita yang sudah dilamar agar dapat membatasi dirinya untuk tidak keluar rumah sabagimana layaknya wanita tersebut belum di lamar.
b. Gen Aka (Terang Kampong)
Prosesgen aka atau terang kampong ini adalah sebuah proses yang dilakukan dikediaman calon pengantin wanita. Adapun yang di undang untuk menghadiri prosesi acara tesebut adalah masyarakat suku Kui secara umumnya dengan tujuan untuk memberikan makan kepada keluarga dan memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa akan diadakan pernikahan oleh kedua anak mereka.
Proses gen aka ini didahulukan dengan makan-makan setelah itu, dilanjutkan dengan perbincangan penentuan waktu pendaftaran pernikahan dan waktu ijab qabul. Penentuan waktu pernikahan biasanya berjarak 3 (tiga) bulan setelah dilakukannya proses gen aka, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan dari masing-masing pihak sekaligus untuk menyiapkan semua kebutuhan pelaksanaan upacara perkawinan.
Pembicaraan selanjutnya yaitu berupa berapa uang yang diperlukan untuk resepsi pernikahan, perangkat pakian pengantin, siapa dan berapa banyak undangan, hari baik untuk melaksanakan upacara tersebut.
Saat proses gen aka ini juga dibicarakan kewajiban kewajiban pihak calon pengantin pria kepada pihak calon pengantin wanita. Yaitu berupa pemberian barang pengganti posisi wanita ketika akan diantarkan ke rumah suaminya kelak yang dikenal dengan istilah gapon eil get gabena yaitu berupa moko dan tempat sirih. Selain kewajiban tersebut, calon pengantin pria diwajibkan untuk membesuk atau mengunjungi calon pengantin wanita setiap minggu untuk memberikan kebutuhan wanita tersebut sebagai calon isterinya.
c. Mei Gosumul (Membesuk Calon Pengantin Wanita)
Setelah gen aka dilakukan maka calon pengantin pria diwajibkan untuk membesuk atau mengunjungi calon pengantin wanita dengan membawa kebutuhan wanita tersebut. Hal ini dilakukan karena tanggungan hidup calon wanita tersebut sebagiannya dibiayai oleh calon pengantin pria dan sebagai waktu untuk melatih calon pengantin pria untuk menafkahi calon isterinya.
Pada saat pertemuan tersebut, kedua calon pengantin tersebut membicarakan mas kawin atau mahar yang diinginkan oleh calon pengantin wanita. Dalam adat perkawinan suku Kui mahar atau mas kawin berupa kain adat dan kebaya namun seiring berkembangnya zaman, barang-barang tersebut diganti dengan seperangkat alat sholat.
Pada saat mei gosumul ini calon pengantin perempuan tidak boleh berpergian dan tubuhnya dipelihara dan dirawat, dipersiapkan lahir batin,agar mempelai perempuan cantik dan bercahaya ketika duduk dipelaminan.
d. Aban Panen(Pemberitahuan Persiapan Upacara Perkawinan)
Apabila telah mencukupi tiga bulan setelah masa gen aka dilanjutkan dengan aban panen yaitu waktu berkumpulnya para orag-orang tua dari kedua belah pihak untuk menanyakan kembali segala persiapan pernikahan baik itu waktu pernikahannya dan kebutuhan upacara perkawinan.
Pada prosesi aban panen didahulukun menyantap hidangan yang disediakan oleh pihak calon pengantin wanita dilajutkan dengan mamah siri pinang. Setelah memamah siri dilanjutkan dengan pembicaraan waktu jatuh tempo pendaftaran dan ijab qobul pernikahan.
e. Antaran (Kunjungan Ke Rumah Kedua Mempelai)
Proses ini dilakukan sehari sebelum calon pengantin melakukan pendaftaran. Kunjungan ini bertujuan untuk membawa sumbangan secara kekeluargaan yang sudah menjadi tradisi sejak zaman dahulu kala sampai sekarang. Sumbangan yang dibawa biasanya berupa uang, beras, gula, jajanan, kopi, sirih pinang dan sumbangan lainnya yang dibutuhkan saat pelaksanaan upacara perkawinan.
Tujuan dari kegiatan ini adalah saling membantu untuk meringankan beban yang dipikul oleh pihak yang melaksanakan upacara perkawinan. Pada saat kunjungan ini, orang yang berkunjung langsung diberitahukan keesokan harinya akan dilakukan proses pendaftaran bagi calon mempelai sekaligus pembuatan tenda tempat berlansungnya upacara perkawinan.
f. Pendaftaran Nikah
Pendaftaran nikah kini menjadi salah satu kebiasaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat suku Kui sebagai rasa hormat mereka kepada peraturan yang ditetapkan oleh Negara.Hal ini bukan menjadi kebiasaan baru namun telah menjadi kebiasaan yang telah dipupuk sejak zaman kerajaan Kui agar selalu patuh dan tunduk pada peraturan.
Pada proses pendaftaran masing-masing calon mempelai dengan didampingi beberapa dayang-dayang mereka untuk mendaftarkan diri di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Pegawai Pencatatan Nikah (PPN).
g. Mei Nen Gosok Gogabali(Antaran Calon Pengantin Pria KeRumah Calon Pengantin Wanita).
Sehari sebelum upacara dilaksanakan upacara perkawinan, dilanjutkan dengan mengantar calon pengantin pria ke kediaman pengantin wanita dengan membawa segala kebutuhan pelaksanaan upacara perkawian sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya. Kebutuhan tersebut adalah hewan ternak berupa sapi atau kambing dan ayam, sirih pinang, kopi, gula, jajanan yang di isi dalam dulang, peralatan masak dan kebutuhan lainnya.
Pada saat antaran ini, pihak mempelai pria beserta rombongannya disambut oleh pihak mempelai wanita di depan pintu rumah mempelai wanita. Sebelum diberikan jamuan makanan, didahulukan dengan membicarakan mengenai segala kebutuhan yang dibawa oleh pihak mempelai pria.Dalam perbincangan tersebut apabila telah terjadi kesepakatan maka barulah dilanjutkan dengan jamuan makan.

2. Tradisi Adat SaatPelaksanaan UpacaraPerkawinan
Aqad nikah masyarakat suku Kui, pada umumnya dilaksanakan pada hari sabtu.Alasannya mengapa masyarakat memilih hari sabtu karena pada hari itu orang-orang suku Kui tidak pergi jauh – jauh dari rumahnya, mengingat hari sabtu biasanya tidak terlalu banyak kesibukan yang mereka lakukan. Dalam kaitannya dengan perkawinan, diharapkan setelah pada hari sabtu seluruh kerabat, sanak keluarga, tetangga dan undangan akan hadir memberian doa selamat kepada pengantin. Ini juga berkaitan dengan ajaran Islam bahwa semakin banyak orang yang mengetahui dan mendoakan, semakin baik bagi pengantin.
Adapun adat pelaksanaan saat upacara perkawinan ini adalah sebagai berikut :
• Mei Gaweli(Memandikan Pengantin Wanita)
• Nen To Pun Yai (Mengantar Calon Pengantin Pria ke Pelaminan)
• Lafadz Nikah (Akad Nikah)
• Mei To Pun Yai (Kunjungan Kerumah Orang Tua Laki-Laki)
• Teenage Tawelaga (Resepsi Pernikahan)
Inilah proses adat pelaksanaan saat upacara adat perkawinan suku Kui yang dilakukan di rumah mempelai perempuan. Agar lebih jelasnya proses pelaksanaan perkawinan tersebut di atas akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut :
a. Mei gaweli (Memandikan Pengantin Wanita)
Memandikan adalah suatu upacara yang dilakukan terhadap calon pengantin wanita dengan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan membuat wajah wanita tersebut berseri-seri dihadapan undangan yang menghadiri perhelatan perkawinan tersebut.
Adapun alat-alat yang digunakan berupa cedokan yang terbuat dari tempurung kelapa sebagai pengganti gayung air, periuk baru yang terbuat dari tanah liat, jeruk puruk yang dicampurkan dengan ampas kelapa yang belum dikeluarkan santannya.Saat memandikan mempelai wanita didahului dengan menyiram air keseluruh tubuh mempelai dilanjutkan dengan keramas rambut menggunakan campuran jeruk puruk dan kelapa tersebut lalu di siram lagi sebanyak tujuh kali siraman.Setelah proses memandikan mempelai perempuan dilanjutkan dengan memakai gaun pengantin dan ditemani oleh seorang ibu yang disebut gaya gamog.
b. Nen To Pun Yai (Mengantar Calon Pengantin Pria Ke Pelaminan).
Setelah proses memandikan, maka pengantin pria diantarkan dengan iringan rombongan menuju rumah kediaman pihak perempuan tempat upacara perkawinan dilansungkan diserta dengan dengan membawa mas kawin.
Dalam iringan rombongan ini orang tua berjalan dibagian depan, diikuti rombongan ibu-ibu majlis ta’lim sambil memukul rebana ketipung sedangkan anak – anak menyusul di belakang. Pada hari pernikahan ini, mempelai pria dia arak menuju mempelai wanita.Sepanjang perjalanan menuju rumah mempelai wanita, rebana ngarak atau ketimpung sebagai pengiring, terus dibunyikan dengan irama khasidahan.Selain diiringi oleh rebana ketimping dalam prosesi adap itu mempelai laki – laki diiringi juga oleh para kerabat dekatnya, teman – teman, para tokoh adat dan lain- lain.
Ketika hendak masuk rombongan mempelai laki – laki ditahan di halaman rumah mempelai wanita oleh beberapa orang pihak tuan rumah yang disebut ganen grik dengan menggunakan sebilah bambu. Acara ini disebut membuka palang pintu.Dari kedua juru bucara masing – masing pihak terjadi dialog yang diselingi dengan balas pantun. Isi dialog dan pantun berkisar maksud dan tujuan rombongan diatas.Sebelum membuka palang pintu tersebut, didahulukan mempelai pria memenuhi permintaan dari ganen grik yang telah memalang pintu tersebut.


c. Lafadz Nikah (Akad Nikah)
Setelah acara buka palang pintu selesai maka rombongan pengantin laki-laki dipersilahkan masuk ke tenda upacara dan pengantin pria dipersilahkan duduk di pelaminan sambil menanti kedatangan mempelai wanita.Setelah para tamu duduk dengan tenanglalu acara dilanjutkan dengan mengantarkan pihak wanita ke pelaminan untuk duduk bersanding dengan mempelai wanita.Setelah kedua mempelai telah bersanding di pelaminan dilanjutkan akad nikah dimana calon mempelai laki-laki berhadapan dengan penghulu wali nikah.
Ijab qobulpun dilakukan antara mempelai laki-laki dengan wali dari mempelai wanita, setelah itu dilanjutkan dengan menandatanganipersetujuannikahyang disediakan oleh penghulu atau Pegawai Pencatatan Nikah (PPN). Setelah selesai proses ijab qobul, pada saat itu pula pihak juru bicara mempelai laki-laki lansung bertemu pihak mempelai wanita untuk membicarakan waktu mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai pria dan menetap untuk selamanya, dalam hal ini diberikan kesempatan kepada pihak mempelai wanita yang lebih dominan untuk menentukan waktu yang tepat untuk mengantar mempelai wanita ke kediaman mempelai laki-laki.
d. Mei To Pun Yai(Kunjungan Ke Rumah Orang Tua Mempelai Laki-Laki).
Setelah ijab qobul dilakukan dilanjutkan dengan jamuan kepada tamu undangan yang menghadiri upacara perkawinan tersebut.Setelah perjamuan dilanjutkan dengan kunjungan mempelai ke rumah orang tua mempelai laki-laki dengan tujuan untuk bersalaman dengan orang tua mempelai laki-laki sebagai tanda direstuinya perkawinan kedua mempelai tersebut.Setelah itu kedua mempelai kembali ke kediaman mempelai wanita untuk mengikuti upacara selanjutnya.
e. Tenaga Tawelaga (Resepsi Perkawinan)
Upacara resepsi perkawinan dilakukan pada malam hari dengan dihadiri oleh tamu undangan dan kedua mempelai duduk bersanding dihadapan tamu undangan.Adapun acara yang dilakukan adalah lego-lego (tarian daerah) yang diiringi dengan berbalas pantun sampai waktu subuh tiba.Pada malam tersebut mempelai laki-laki diizinkan untuk menginap di rumah keluarga mempelai wanita dan adalah malam pertama dimana kedua mempelai resmi menjadi suami isteri.



3. Tradisi Adat Setelah PelaksanaanUpacara Perkawinan
Setelah pelaksanaan upacara perkawinan yang telah dilakukan di rumah mempelai wanita, maka akan dilanjutkan dengan beberapa proses sebagai berikut :
a. Mei To Pun Yai, Ganen Gakabol, Nen Araman Gagatani(Upacara Mengantara Mempelai Ke Rumah Mempelai Laki-Laki)
Setelah resepsi perkawinan di rumah mempelai wanita, maka pada malam berikutnya, mempelai wanita didampingi mempelai laki-laki dan kerabatnya pergi ke rumah mempelai laki-laki mengantar mempelai wanita untuk menetap selamanya di rumah mempelai laki-laki.
Keberangkatan pengantin perempuan diantar oleh beberapa orang yang mewakili orang tuanya. Sebelum berangkat kerumah mertuanya diberi petuah bagaimana seharusnya ia berprilaku dirumah suaminya itu nanti. Adapun isi petuah dan nasehat di antaranya sebagai berikut;
“Yal agomo nyalida aitopun yai anen akabol go omi gat kala galelen mi ga araman mi walel ganoka gagamola ga gowa aga rana om walel ga isa, abai balamo anen akabol galel mi araman mi anoka ubani abaka gamani tentu in ubain main nyai pun trei”
Artinya : “Kamu (wanita) mau diantarkan pergi ke rumah suamimu, apapun yang engkau miliki selama masa gadismu baik itu rumah yang bagus, makanan yang enak serta kebutuhan yang serba terpenuhi, maka saat berada di rumah suamimu kamu harus mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan keluarga suamimu. Apabila kamu mampu berbuat baik kepada suami dan kerabtnya maka kamu dan orang tuamu akan baik pula di mata semua orang”.
Adapun yang dibawa oleh mempelai wanita dan kerabatnya yaitu lemari pakian, tempat tidur, peralatan dapur, serta semua kebutuhan wanita lainya yang diberikan oleh keluarga kepada mempelai wanita.
Ketika sampai didepan pintu di rumah mempelai laki–laki, mempelai wanita disambut oleh salah seorang ibu dengan memegang gelas yang berisi air sambil memutarkan dengan gerakan melingkar gelas tersebut diatas kepala mempelai wanita lalu ditumpahkan kebelakang wanita tersebut proses ini disebut gwa ulili gaputur lagabusun gali gawena soki, adapun kalimat yang diucapkan sambil memutar gelas tersebut adalah :
“alelan araman, murkwasa bias murab a anana tanei gale awena sokk, jal ogo arona abisi alela swami atuka sbala noka gamola gap galei ei arani salusul aroga”
yang berarti “Dalam suku kepunyaanmu entak kaya atau sebaik apapun kamu harus tinggalkan semua, malam ini juga kamu akan memulai rumah tangga yang baru dan semoga mendapatkan keturunan yang baik”.
Tujuan dilakukannya hal tersebut yaitu untuk membuang semua kebiasaan-kebiasaan wanita tersebut semasa hidup bersama keluarganya untuk memulai hidup baru bersama suami dan mertuanya.
Mempelai wanita bersama kerabatnya dipersilahkna masuk ke dalam rumah kemudian pengantin perempuan langsung berjabat tangan serta mencium tangan kerabat pihak laki – laki.Sesaat setelah mempelai wanita bersama keluarganya duduk dan berbincang-bincang bersama keluarga mempelai laki-laki, saat itu pula dua orang utusan yaitu salah seorang perempuan dengan membawa tempat sirih yang telah berisi sirih pinang dan salah seorang laki-laki dengan membawa moko keluar dari rumah mempelai laki-laki menuju ke rumah mempelai wanita mengantarkan tempat sirih dan moko tersebut sebagai pengganti tempatnya anak perempuan mereka yang telah disunting oleh mempelai laki-laki tersebut. Moko dan tempat sirih tersebut diberi namagapon eil.
b. Pesta DiRumah Pengantin Pria
Pesta dirumah penganti laki–laki ini adalah merupakan pesta untuk memeriahkan malam pertama dimana wanita baru diantarkan ke rumah suaminya agar dapat menghilangkan kesedihannya ketika meninggalkan karib kerabatnya.Pesta ini hanya dilakukan khusus oleh kerabat dari mempelai laki-laki dengan jenis acaranya berupa jamuan makan malam dan lego-lego.
c. Mei Nen Bain Lak Gaweli (Memandika Kedua Mempelai)
Pada pagi hari setelah melakukan acara pesta bersama kerabat dari pehak mempelai laki-laki dilanjutkan dengan upacara memandikan kedua mempelai.Alat-alat yang tidak berbeda dengan prosesi memandikan saat memasuki pelaminan namun jeruk puruk dan ampas kelapa tidak digunakan lagi.
d. Mei Nen Gwomi(Menasehati Pengantin)
Setelah selesai memandikan mempelai, diutus salah satu orang tua dari pihak laki-laki untuk menasehati kedua mempelai. Adapun isi petuah adalah “ya balan alelan mi a araman mi a ayura ama gapata tapi walel ogomo minuk mi aruku utakasi gaimani alel de mei te atawaing gamainte ganoka gamola” yang berarti “kalian berdua telah berada dalam rumah ini dan hidup berkeluarga, sudah dan senang harus di lalui bersama-sama, saling mengasihi satu sama lainnya dan tidak boleh terjadi adanya perceraian antara kalian berdua”.Setelah dinasehati barulah diadakan jamuan makan bersama keluarga sebagai tanda usai sudah proses pernikahan yang berlansung di rumah mempelai laki-laki.

e. Bon Kabutun Er Makan (Membongkar Tenda Perkawinan Dan Jamuan Makan Bagi Muda Mudi)
Kegiatan ini adalah akhir dari proses upacara adat perkawinan suku Kui. Kegiatan ini dilakukan pada hari yang sama saat upacara memandikan mempelai namun kegiatan ini berlansung di rumah mempelai wanita tanpa dihadiri oleh kedua mempelai. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah pemberian jamuan makan dan ucapan terima kasih kepada anak-anak muda yang telah membantu melancarkan kegiatan upacara perkawinan tersebut.Pada waktu ini lah semua hiasan dalam rumah dan tenda perkawinan itu dibuka dan barang – barang yang dipinjam dari kerabat dikembalikan.











BAB III
ANALISIS TERHADAP UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU KUI

A. Sistem Adat Perkawinan Suku Kui Di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor Prespektif Hukum Islam
Perkawinandalamhukumadatbukansajaantarapengantinpriadanwanitamelainkanpulabesertaseluruhkeluargadarikeduabelahpihak yang berada padagariskekerabatanyangterjadikarenaperkawinan.Sehingga dalam pelaksanaannya, perkawinan merupakan urusan keluarga, urusan kerabat, dan urusan masyarakat yang terikat dengan adat suatu daerah.
Bagi kelompok wangsa yang meyatakan diri sebagai kesatuan kesatuan-kesatuan, sebagai pesekutuan-persekutuan hukum, (bagian clan, kaum, kerabat), perkawinan para warganya (pria, wanita atau kedua-duanya) adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib-teraturl; sarana yang dapat melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Namun di dalam lingkungan pesekutuan-persekutuan kerabat itu, perkawinan juga selalu merupakan cara meneruskan (yang diharap dapat meneruskan)garis keluarga tertentu yang termasuk persekutuan tersebut; jadi merupakan urusan keluarga, urusan bapak-ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan.
Perkawinan dalam hukum adat merupakan salah satu unsur dari hukumkeluarga yang hubungan hukum dan akibat hukumnya berdasarkan suatu perkawinantidak sama diseluruh Indonesia karena perbedan sistem kekeluargaan dan suku bangsa yang beragam corak tradisi kebudayaannya.Demikian pula dengan tradisi perkawinan yang berlaku pada masyarakat suku Kui berbeda dengan suku lainnya yang berada di Indonesia sehingga menyebabkan sifat kekeluargaan dan sistem perkawinan berbeda pula.
Namun dari perbedaan tersebut terdapat satu tujuan dari perkawinan yaitu substansi perkawinan itu snediri yang terlihat jelas dalam beberapa Firman Allah SWT., sebagai berikut :
••••
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.”

•••
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”

Ayat Al-Qur’an di atas merupakan sebagian dari ayat-ayat lain yang masih banyak terdapat dalam al-qur’an yang menjelaskan tentang tujuan dari perkawinan. Sehingga apabila kita melihat substansi dari perkawinan yang berbeda-beda menurut tradisi adat suatu tempat, namun memiliki tujuan sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah di atas.
Menurut hemat penulis bahwa perkawinan di Indonesia tidak dilihat sekedar sebagai hubungan kontraktual antara laki-laki dan perempuan saja. Hukum Islam memandang perkawinan sebagai sebuah institusi yang terdiri dari tiga unsur yaitu : legal, sosial dan agama. Artinya bahwa perkawinan harus memiliki legalitas atau pengabsahan dari masyarakat dan pemerintah, adanya hubungan kekeluargaan yang terjalin antara kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan, dan agama sebagai landasan utama untuk menentukan dengan siapa seorang boleh kawin dan agama sebagai panduan bagi setiap orang yang akan melakukannya.
Suku Kui memiliki sistem perkawinan berbeda dengan masyarakat lainnya, sehingga untuk diketahui lebih jauh maka penulis dapat menganalisis satu persatu dari sistem adat perkawinan suku Kui berikut ini.
1. Adat Perkawinan Suku Kui
Adat perkawinan Suku Kui merupakan sebagian dari adat istiadat dari masyarakat di Kecamatan Alor Barat Daya dimana merupakan sebagian dari lingkungan hidup manusia yang dialami semasa hidupnya. Proses perkawinan ini juga terikat pada suatu hukum tertentu yang berlaku pada masyarakat tersebut, dan merupakan adat kebiasaan atau tradisi-tradisi, yang dilakukan berupa upacara-upacara resmi yang melibatkan sekalian orang yang mengakui calon suami istri itu sebagai anggota masyarakat.
Tradisi upacara perkawinan adat dalam bahasa Kui yaitu “Tamir Tawakki” berarti saling mengambil satu sama lain dan menjalin hubungan keluarga. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan.
Menurut pandangan masyarakat Kui, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Kui disebut mendekatkan yang sudah jauh.
Menurut paparan data dan temuan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tradisi adat suku Kui, antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaanterdapathubungan yangerat, sehingga dalam adat perkawinan suku Kui menganut sifat susunan kekeluargaan patrilinial.
Menurut sistem patrilinial ini keturunan diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran dari bapak asal atau menjadi penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan keluarga sehingga wanita yang kawin dengan laki-laki, ikut dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga ayahnya.
Susunan kekeluargaan patrilinial yang dianut oleh suku Kui ini mengandung nilai tersendiri dalam keluarga suku Kui, karena suami (bapak) memegang peranan terpenting dalam sebuah keluarga. Sehingga dalam praktiknya, suami meiliki tanggung jawab atau kewajiban yang meliputi kewajiban lahiriah dan bathiniah terhadap isteri atau keluarganya, baik itu kewajiban mencari dan memberikan nafkah kepada keluarga dan melindungi atau menjag keluarga bahkan menggauli isteri secara baik dan patut. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sebuah keluarga (rumah tangga) terdapat hak dan kewajiban antara suami istri, namun Islam memandang suami memiliki setingkat lebih tinggi dai seorang istri, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana diisyaratkan pada penghujung ayat al-Qur’an yang berbunyi yaitu:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Sementara apabila diamati lebih jauh maka corak dari perkawinan dalam kekerabatan iniadalah perkawinan jujur. Yangdimaksuddengan jujurdisiniadalahpemberianpihaklaki-lakikepadapihak perempuan yaitusebagailambang“putusnyahubungankekeluargaan” si isteri dengan kerabatnya dan persekutuannya. Pemberian yang biasa dilakukan dalam perkawinan suku Kui berupa moko dansebagainya yang biasa disebut (Gapon Eil, Get Gabena)Maka isteri masuk dalam kekerabatan suami beserta anak-anaknya.
Adapun maksud dari “putusnya hubungan kekeluargaan” ini berarti bahwa beralihnya tanggung jawab orang tua perempuan kepada laki-laki yang telah mengawininya. Sehingga seorang isteri menjadi hak dan tanggung jawab mutlak seorang suami, namun tidak menghambat seorang istri untuk tetap dapat berhubungan atau bergaul dengan kerabat asalnya, karena suku Kui sangat menjunjung tinggi hubungan kekerabatan dalam keluarga.
Menurut deskripsi di atas maka dalam sistemkekerabatanpatrilinialterdapattigaunsuryangpalingdominan,yaitu :
a. Garisketurunan menurut garis ayah (Bapak).
b. Perkawinanharusdengankelompok lain atau marga lain,diluarmargasendiri atau disebuteksogamipatrilinial.
c. Bapakmemegangperansentral dalam keluarga.
Tujuan utama sistem patrilinial adalah untuk menunjang tinggi martabat manusia denganmemberikan hak sepenuhnya kepada seorang suami untuk memimpin keluarganya dan bertanggung jawab atas segala urusan keluarga. Selain itu tujuan dari sistem perkawinan yang dianut masyarakat suku Kui yaitu menjunjung tinggi persamaan hak kepada lelaki danperempuan. Dalam hal ini seorang perempuan (istri)jugaberhakmelarang atau menolak kesepakatan-kesepakatan yang diambil di luar sepengetahuannya. Iajuga berhak mengajukan usul-usul dan saran-saran dalamrapatkeluarga.
Status isteri dalam perkawinan dalam lingkungan kekerabatan suaminya adalahdianggapsebagai “tamu terhormat”, tetapdianggapsebagai pendatang. Namun dalam hal menggunakan marga, seorang istrtri tetap menggunakan marganya atauistri tidak menggunakan marga (fam) suaminya, akan tetapi istri tetap harus andil dalam setiap kegiatan upacara klan suaminya. Dengan kata lain istri tetap masuk ke dalam klannya sendiri yaitukeluarga asalnya namun hanya sebatas menggunakan marga.
Selain sistem kekerabatan yang sangat berpengaruh dalam bentuk perkawinan, dalam tradisi adat perkawinan suku Kui juga menganut sistem eksogami marga. Artinya seseorang tidak diperbolehkan menikahdenganorangdari suku yang serumpun atausatu marga. Perkawinan semarga dianggap tidak baik karena itu berarti kawin seturunan atau kawin dengan saudara sendiri. Oleh karena garis keturunan dalam masyarakat Kui ditentukan menurut garis bapak, maka suku serumpun disinidimaksudkan“serumpun menurut garis bapak”, maka disebut“eksogami marga ataueksogamipatrilinial”.
Sehingga dalam praktiknya suku Kui memandang perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan yang terjadi antara seorang seorang pemuda dengan seorang pemudi yang merupakan anak dari saudara laki-laki ibu atau anak dari saudari ayah yang berbeda marga. Walaupun demikian seorang pemuda dapat kawin dengan wanita manapun yang berbeda marganya asalkan tidak dengan anak saudari perempuan ibu atau anak dari saudara laki-laki bapak.
Sistem perkawinan ini menjadi sebuah keharusan dalam tradisi suku Kui sehingga seseorang yang akan melakukan perkawinan, terlebih dahulu menjajaki latar belakang keluarga yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Suku Kui memandang apabila perkawinan dengan sistem ini dilakukan maka akan mendatangkan malapetaka dalam keluarga. Hal ini menjadi sebuah kepercayaan bagi suku Kui bahwa apabila perkawinan ini terjadi maka seolah-olah mengawini saudara sendiri yang berakibat anak yang dilahirkan mengalami cacat mental bahkan cacat anggota tubuh, sehingga perkawinan seperti ini sangat dilarang dalam suku Kui.
Sebagaimana hasil wawancara bersama bapak Husen Mansari, beliau mengatakan adapun larangan perkawinan ini merupakan salah satu syarat dari beberapa syarat perkawinan lainnya yaitu kedua calon mempelai harus beragama Islam,kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku/ marga yang sama, kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak, Calon suami harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan tidak baik, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat suku Kui. Karena itu jika perkawinan satu suku dilakukan maka akan dianggap perkawinan tidak baik.
Menurut pandangan penulis, suku Kui dilarang kawin dengan suku atau semarga yang sama termasuk berlaku bagi magi masyarakat Timor secara umumnya. Larangan kawin satu marga ini ini tidak dalam konteks halal dan haram, kesepakatan untuk tidak kawin satu suku/ marga adalah soal hubungan kekerabatan atau persaudaraan. Berdasarkan kekerabatan patrilinial, masyarakat suku Kui merasa bersaudara dengan orang-orang satu marga dan atau satu suku. Jika ada yang melanggar terhadap aturan adat, maka akan mendapat sanksi secara adat pula.
Larangan kawin sesukuan/ semargajangan diartikan sebagai penentangan adat terhadap hukum-hukum Islam akan tetapi lihatlah sebagai keunikan suatu masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilinial yang menjunjung tinggi harkat kaum laki-laki sebagai pemimpin dan memegang teguh rasa persaudaraan.
Singkatnya penyebab dilarangnya kawin sesuku/ semarga/ sefamdalam adat suku Kui adalah karena masyarakat yang satu suku/ semarga merasa bersaudara yang menjunjung tinggi kekerabatan. Jika dilakukan kawin satu suku/ semarga, maka sama halnya dengan mengawini saudara sendiri.
2. Jenis-Jenis Perkawinan Suku Kui
a. Perkawinan Yang Dilaksanakan Berdasarkan Peminangan (Mita Kuna)
Perkawinan jenis ini menjadi warisan yang tetap terjaga dari zaman nenek moyang hingga saat ini karena menurut masyarakat suku Kui, perkawinan dengan proses peminangan adalah perkawinana yang sangat baik.
Perkawinan jenis ini sangat baik dilakukan karena perkawinan yang dilakukan dengan jalan meminang akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan untuk saling mengenal satu sama lain dan untukmenjajaki latar belakang keluarga dari kedua belah pihak.
Dalam hukum perkawinan Islam menghendaki calon mempelai saling mengenal dan memahami karakteristik pribadi. Calon suami suami melakukan pinangan berdasarkan kriteria calon istri yang didasarkan oleh hadis Nabi Muhammad saw., yaitu wanita dikawini karena 4 (empat) hal: (1) hartanya, (2) keturunannya, (3) kecantikannya, dan (4) agamanya.menurut hadis Nabi Muhammad saw., dimaksud, bila 4 (empat) hal itu tidak dapat ditemukan oleh calon suami terhadap perempuan yang akan menjadi calon istrinya maka caslon suami harus memilih yang mempunyai kriteria agamanya.
Dalam hukum perkawinan Islam telah menganjurkan adanya bentuk perkawinan dengan cara peminangan . Pada pelaksanaannya tradisi adat perkawinan suku Kui diawali dengan pelaksanaan pertunangan terlebih dahulu, sedangkan menurut Islam sebelum pernikahan dianjurkan mengunakan pertunangan terlebih dahulu, agar kedua calon mempelai dan kedua keluarga bisa saling menjalin silaturahmi dan mengenal lebih jauh dengan adanya ta’aruf.
Hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT. yang berbunyi:
•
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf.”

Berangkat dari deskripsi di atas maka jenis perkawinan ini bertujuan untuk menjajaki kriteria calon istri dan calon suami yang akan melangsungkan perkawinan sehingga masing-masing pihak dapat mempertimbangkan pilihan sebelum akad perkawinan dilangsungkan. Sehingga seorang calon istri atau suami yang merasa tidak cocok dengan pilihannya maka dapat mengambil keputusan untuk membatalkan perkawinan yang akan berlangsung agar dikemudian hari tidak terjadinya perceraian akibat dari ketidak cocokan antara suami istri.
b. Perkawinan Naik Rumah (Ow Podi)
Jenis perkawinan ini bukan merupakan jenis adat perkawinan suku Kui namun jenis ini adalah jalan atau cara kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan karena adanya beberapa alasan misalnya seorang perempuan telah dihamili oleh laki-laki sebelum menikah atau orang tua tidak menyetujui perkawinan kedua anaknya. Suku Kui menganggap perkawinan ini adalah aib bagi keluarga, sehingga perkawinan jenis ini tidak lagi dibenarkan dalam masyarakat suku Kui seiring dengan berkembangnya hukum Islam.
Dari deskripsi diatas, maka menurut penulis perkawinan ini baru akan terjadi ketika adanya alasan yang sangat darurat yaitu terjadinya kehamilan sebelum menikah dan tidak direstuninya hubungan oleh orang tua kedua belah pihak untuk melakukan perkawinan, dalam arti bahwa perkawinan jenis ini mengandung unsur maslahah.
Apabila dipandang dari segi hukum Islam maka permasalahan seperti ini dibolehkan asalkan tidak mengandung unsur kesengajaan karena kehamilan diluar perkawinan merupakan perbuatan zina dengan sanksi dosa.
3. Perkawinan Yang Dilarang
Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat suku Kui melarang perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat, seperti :
a. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/ nenek) baik melalui ayah atau ibu.
b. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/ cucu/ cicit) termasuk keturunan anak wanita.
c. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturuan ayah atau ibu (saudara kandung/ anak dari saudara kandung).
d. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara yang menurunkan (saudara kandung ayah/ saudara kandung ibu/ saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu.
e. Setiap orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari satu rumpun atau satu marga menurut garis keturunan ayah.
Dari hal tersebut, berarti seorang pria dilarang kawin dengan seorang wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah tanpa batas, apabila hal ini terjadi maka oleh masyarakat suku Kui pernikahan itu dibatalkan.
Larangan perkawinan ini juga berlaku dalam hukum Islam, sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT., yang berbunyi :
•••
“ Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Berangkat dari deskripsi diatas maka perkawinan masyarakat suku Kui menganggap hubungan kekerabatn dalam perkawinan itu sangat penting sehingga perkawinan tidak boleh terjadi apabila telah ada batasan-batasannya dalam tradisi adat yang berlaku dalam masyarakat karena apabila larangan perkawinan itu dilanggar maka pelaku perkawinan akan mendapatkan sanksi moral dalam masyarakat yaitu berupa hinaan dari masyarakat. Selain sanksi moral tersebut, perkawinan seperti ini akan melahirkan keturunan yang cacat. Sehingga dengan adanya larangan perkawinan ini maka dalam memilih pasangan untuk melakukan perkawinandiperlukan kehati-hatian dengan berpedoman pada adat sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Apabila kita amati substansi dari adanya larangan perkawinan antara hukum adat yang berlaku dalam suku Kui dan hukum Islam bahwa larangan perkawinan tersebut sama-sama untuk menghindari adanya perkawinan yang dilakukan antara seseorang dengan saudaranya sendiri atau dengan kata lain terjadinya perkawinan sedarah.
4. Poligami di Kalangan Masyarakat Suku Kui
Pernikahan poligami dalam keluarga suku Kui bukan merupakan sesuatu yang tidak boleh dalam sebuah perkawinan, akan tetapi sangat menghindari perkawinan poligami karena membawa pengaruh terhadap keharmonisan keluarga. Sehingga perkawinan dengan sistem poligami tidak dikehendaki dan hampir tidak dilakukan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.Apabila ingin poligami tentunya ada persetujuan dari istri pertama dengan sebab istri pertama tidak dapat menjalankan kewajiban dengan baik maka poligami dapat dilakukan.
Poligami dibatasi secara ketat dalam suku Kui sehingga dalam praktiknya hal ini bisa saja terjadi poligami namun terdapat percekcokan dalam rumah tangga yang berkepanjangan sehingga pembentukan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah tidak dapat terwujudkan. Akar dari permasalahan ini sebenarnya terletak pada pemberian rasa adilan oleh suami terhadap istri-istrinya. Berawal dari ketidakmampuan seorang suami memberikan keadilan terhadap istri-istrinya yang akan menimbulkan aib bagi keluarga, sehingga poligami dipersulit dikalangan masyarakat suku Kui.
Dalam hukum perkawinan Islam memandang poligami dapat dilakukan oleh seorang suami untuk menikahi lebih dari seorang istri sampai 4 (empat) orang istri sebagaimana terdapat dalam firman Allah yang berbunyi :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Wahyu Tuhan itu telah jelas menunjukkan bahwa umat Islam boleh kawin sampai dengan empat orang istri dalam waktu yang bersamaan dengan syarat jika dapat berlaku adil. Yang dimaksud dengan kata dapat berlaku adil, adalah dapat memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya, sandang pangan, tempat kediaman, giliran mengunjungipemeliharaan dan pendidikan anak-anak, budi pekerti dan agama mereka; tidak menimbulkan kericuhan keluarga terus menerus dan sebagainya. Jika tidak sanggup berlaku adil cukuplah kawin dengan satu istri saja. Jadi Islam membolehkan manusia beristri sampai empat orang, boleh berpoligami, tetapi poligami yang tertutup atau terbatas.
Namun hal ini diperkuat dengan firman Allah yang berbunyi :
•
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sehingga berangkat dari ayat diatas maka dapat kita pahami bahwa syarat poligami dalam Islam terletak pada kemampuan seorang suami utnuk berlaku adil terhadap istri-istrinya.


5. Perceraian Dalam Masyarakat Suku Kui
Pada umumnya perceraian yang terjadi dalam keluarga suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya sangat rendah sekali. Namun demikian, terdapat keluarga yang mengalami perceraian, disebabkan kedua pasangan tidak merasa cocok satu sama lain, suami-istri yang tidak menyukai dari awal pernikahan sehingga hanya pernikahan hanya berjalan beberapa tahun. Suku Kui dalam praktiknya sangat melarang terjadinya perceraian disebabkan jika terjadi perceraian maka akan berakibat pada hilangnya hubungan silaturahmi.
Apabila diamati lebih jauh maka perceraian yang terjadi dimasyarakat suku Kui merupakan suatu keputusan yang sangat berat untuk dilakukan karena bagi suku Kui perceraian hanya akan menimbulkan hilangnya hubungan silaturhmi antar kedua suami istri dan keluarga dari kedua belah pihak.
Dalam hukum perkawinan Islam menganggap bahwa apabila telah terjadi perkawinan, hal yang harus dihindari adalah perceraian meskipun perceraian bagian dari suatu hukum adanya persatuan atau perkawinan itu sendiri. Semakin kuat usaha manusia membangun rumah tangganya sehingga dapat menghindarkan diri dari perceraian, semakin baik rumah tangganya. Demikian pula dengan perceraian, bukan hanya suami istri yang menjadi korban permainan duniawinya, tetapi anak-anak dan keluarga dari kedua belah pihak yang awalnya saling bersilaturahmi dengan seketika dapat bercerai-berai. Oleh karena itu, perceraian merupakan perbuatan yang dihalalkan, tetapi dibenci oleh Allah SWT.
Berkaitan dengan hal diatas salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Hakim menyebutkan sebagai berikut:
عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما أحل الله شيئا أبغض إليه من الطلاق
“Dari Ibnu Umar sesungguhnya rasulullah Saw., telah bersabda, perbuatan yang halal, tetapi sangat dibenci oleh Allah adalah talak.”

Dan dalam sebuah hadis nabi Saw., :
أبغض إليه من الطلاق
“Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian.”(Riwayat Abu Daud, Ibn Majah, danAl-Hakim)

Berangkat dari hadis diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Islam membuka kesempatan melakukan perkawinan selebar-lebarnya namun mempersempit adanya perceraian. begitu pula yang terjadi pada masyarakat suku Kui yang tidak menginginkan adanya perceraian dalam sebuah rumah tangga karena suku Kui sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. Sehingga masyarakat suku Kui menganggap apabila terjadi perceraian dalam rumah tangga maka akan menjadi aib bagi pasangan suami istri serta keluarga.
B. Prosesi Tradisi Upacara Adat Perkawinan suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur Prespektif Hukum Islam
Tradisi perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan-aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, berisi tata caraprosesi yang harus dilalui oleh pasangan pengantin dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya sehingga perkawinan ini dapat pengabsahan dari masyarakat, tata cara rangkaian adat perkawinan itu terangkai dalam suatu rentetan kegiatan upacara perkawinan. Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku resmi yang tetap dilestarikan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan diluar kekuasaan manusia.
Adapun tradisi upacara tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tradisi AdatSebelum PelaksanaanUpacaraPerkawinan
a. Mei Bangan (Melamar Gadis)
Meibangan (melamar gadis) atau meminang gadis adalah suatu upacara yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan untuk meminta persetujuan agar kedua anak mereka dapat disatukan atau dikawinkan.
Melamar atau meminang (khitbah) diartikan dengan penyampaian kehendak untuk melansungkan ikatan perkawinan. Dalam hal ini sangat dianjurkan oleh Islam karena dalam proses meminang ini seorang calon dapat melihat wanita yang akan dinikahinya jika terjadi kecocokan. Islam juga tidak melarang meminang seorang perempuan dengan menggunakan kata sindiran, Sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT., yang berbunyi:

“Tidak ada halangan bagimu menggunakan kata sindiran dalam meminang perempuan”


b. Gen Aka (Terang Kampong)
Proses ini dilakukan untuk memberikan informasi kepada semua kerabat yang terlibat dalam pesta perkawinan tersebut. Suku Kui melakukan hal ini jauh sebelum hari akad nikah dilansungkan agar keluarga yang tinggal di tempat yang jauh dapat hadir pada upacara perkawinan.
Apabila hal ini dipandang dari substansinya maka sangat baik dilakukan karena tidak bertentangan dengan hukum Islam. Islam mengajarkan supaya perkawinan diumumkan agar tidak terjadi kawin rahasia yang dilarang, dan untuk menampakkan kegembiraan dengan adanya peristiwa yang dihalalkan. Perkawinan supaya diberitahukan kepada umum agar diketahui oleh banyak orang sehingga mendorong yang belum kawin supaya berani kawin terutama untuk orang-orang yang suka hidup membujang. oleh karena itu mengumumkan pesta perkawinan sangat dianjurkan dalam tradisi perkawinan suku Kuiagar diketahui banyak orang. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan keabsahan dari kalangan masyarakat.
Demikian juga sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw., dalam sabdanya merupakan sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan yaitu :
أَعْلِنُواهَذَاالنِّكَاحوَاضْرِبُواعَلَيْهِبِالْغِرْبَالِ
“Umumkanlahpernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah)”.

c. Mei Gosumul (Membesuk Calon Pengantin Wanita)
Membesuk atau mengunjungi calon pengantin wanita dengan membawa kebutuhan wanita tersebut yang dilakukan oleh calon pengantin laki-laki sebagai rasa konsistennya seoarang lelaki terhadap wanita yang telah dipinanngnya..Pada saat mei gosumul ini calon pengantin perempuan ditemani orangtuanya untuk bertemu dengan calon pengantin laki-laki agar tidak terjadi fitnah bagi pasangan calon tersebut. Disamping itu pula proses ini adalah proses penjajakan terhadap keadaan dan karakter serta kriteria-kriteria wanita yang menjadi calon istri, sebagaimana termuat dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW., bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Mukhtsar Shahih Al- Bukhari Al- Musamma At-Tarjiid Ash-Shariih Li Ahaadits Al-Latif Ash-Shahih(nomor hadis 5090):
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW., pernah bersabda : “perempuan itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena status orang tuanya/keluarganya, kecantikannya dan karena agamanya. Karena itu, nikahilah perempuan karena agamanya, maka kamu akan memporoleh keuntungan yang tidak terhingga”.

Dari hadist diatas dapat dikatakan bahwa tradisi membesuk wanita ini merupakan proses yang sangat baik untuk dilakukan pada upacara perkawinan adat suku Kui disebabkan melalui proses ini kedua belah pihak dapat saling mengenal satu sama lain untuk memperkokoh hubungan baru antara peminang dengan pinangannya.
d. Aban Panen (Pemberitahuan Persiapan Upacara Perkawinan)
AbanPanenyaitu waktu berkumpulnya para orag-orang tua dari kedua belah pihak untuk menanyakan kembali segala persiapan pernikahan baik itu waktu pernikahannya dan kebutuhan upacara perkawinan.
Abang panen merupakan sebuah ajang berkumpulnya para orang-orang tua serta kerabat untuk memutuskan semua perkara perkawinan yang akan berlangsung dengan jalan bermusyawarah. Sehingga setiap keputusan yang diambil untuk keberlansungan upacara adat perkawinan dilakukan dengan jalan musyawarah. Perintah mengambil keptusan dengan jalan musyawarah terdapat dalam sebagaimana firman Allah SWT., yang berbunyi :

“Dan urusan kaum muslimin selalu diputusakan dengan musyawarah di antara mereka”.

Gapon eil get gabena tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Pemberiangapon eil get gabenasebagai sebuah tradisi dalam adat suku Kui merupakan suatu keniscayaan dalam sebuah perkawinan. Penyerahan gapon eil get gabena ini bahkan termasuk salah satu tahapan yang harus dilaksanakan dalam proses terlaksananya sebuah perkawinan dalam budaya suku Kui
e. Antaran (Kunjungan Ke Rumah Kedua Mempelai)
Kunjungan ini bertujuan untuk membawa sumbangan secara kekeluargaan yang sudah menjadi tradisi sejak zaman dahulu kala sampai sekarang. Sumbangan yang dibawa sebagai bentuk gotong-royong yang telah terpelihara sejak zaman dahulu sampai sekarang oleh masyarakat suku Kui.
Prinsip gotong-royong atau partisipasi keluarga.Terjadinya perkawinan menimbulkan rasa kebersamaan di kalangan seluruh keluarga laki-laki dan perempuan dan masyarakat suku Kui secara umum. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, adik, paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan perkawinan, namun melibatkan semua kalangan. Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Berbagai tradisi, seperti mengantarkan bahan-bahan pesta, makan bersama, dan sebagainya sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan komponen masyarakat dalam suku Kui.
Sehingga menurut penulis hal ini sangat baik untuk dilakukan sebagaimana prinsip ini erat kaitannya dengan konsep hidup manusia yang selalu hidup bergantung satu sama lainnya atau saling membutuhkan satu sama lain sehingga prinsip ini bersinergi dengan firman Allah SWT., yang berbunyi :
••
“Bertolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”




f. Pendaftaran Nikah
Pendaftaran nikah kini menjadi salah satu kebiasaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat suku Kui sebagai rasa hormat mereka kepada peraturan yang ditetapkan oleh Negara. Hal ini bukan menjadi kebiasaan baru namun telah menjadi kebiasaan yang telah dipupuk sejak zaman dahulu.
Pada zaman dahulu masyarakat suku Kui tidak mengenal adanya pendaftaran nikah namun seiring dengan berkembangnya zaman maka pendaftaran nikah menjadi tradisi yang selalu dilakukan disetiap upacara perkawinan masyarakat suku Kui. Hal ini sejalan dengan hukum perkawinan yang berlaku dalam hukum Islam tidak menjelaskan secara eksplisit tentang pencatatan nikah. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya.
Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَيُنْكَرُتَغَيُّرُاْلأَحْكَامِبِتَغَيُّرِاْلأَزْمَانِ.
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman”.
g. Mei Nen Gosok Gogabali( Antaran Calon Pengantin Pria Kerumah Calon Pengantin Wanita ).
Dalam proses ini pihak kerabat lelaki yang telah datang berdampingan dengan pihak kerabat wanita untuk melaksanakan pesta perkawinan dikediaman wanita. Karib kerabat dari kedua belah pihak pada saat ini bekerja sama untuk mempersiapkan proses akad nikah yang akan berlansung besok harinya.
Tradisi ini di pandang perlu untuk dilakukan agar pesta perkawinan (proses akad nikah) yang dilakuakn keesokan harinya dapat berjalan lancar. Dalam proses ini terlihat jelas gotong royong kerabat saling membantu menyiapkan segala yang dibutuhkan dalam melaksanakan pesta perkawinan.
Dalam Islam hal ini sangat dianjurkan karena berkaitan dengan kemaslahatan umat yaitu persiapan segala kebutuhan dalam melakukan pesta perkawinan (walimah). Sehingga dalam prakteknya, proses ini tidak bertentangan dengan hukum islam.
Selain itu, alasan pesta dilakukan di kediaman mempelai wanita sebagai sebuah alasan untuk mengangkat derajat seorang wanita yang akan beralih tenggungjawabnya dari orang tua kepada suaminya kelak. Selain itu seorang gadis yang akan dinikahi dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat suku Kui bahwa dengan dinikahi berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi.Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina jika perkawinan anak gadisnya tidak disertai dengan kesungguhan dari seorang laki-laki atau tidak dilaksanakan di kediaman mempelai wanita. Hal ini menunjukkan bahwa seorang lelaki yang akan menikahi seorang gadis berarti telah siap untuk menerima tanggung jawab yang dialihkan oleh keluarga perempuan kepada laki-laki tersebut serta memperlakukan dan melindunginya dengan baik setelah menjadi istrinya. Prinsip ini tergambar dalam perintah Allah SWT., untuk memelihara dan memperlakukan wanita dengan baik. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an yaitu :

“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istrimu) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak..”

2. Tradisi Adat Saat Pelaksanaan Upacara Perkawinan
a. Mei Gaweli(Memandikan Pengantin Wanita)
Memandikan adalah suatu upacara yang dilakukan terhadap calon pengantin wanita dengan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan membuat wajah wanita tersebut berseri-seri dihadapan undangan yang menghadiri perhelatan perkawinan tersebut.
Adapun alat-alat yang digunakan berupa cedokan yang terbuat dari tempurung kelapa sebagai pengganti gayung air, periuk baru yang terbuat dari tanah liat, jeruk puruk yang dicampurkan dengan ampas kelapa yang belum dikeluarkan santannya. Saat memandikan mempelai wanita didahului dengan menyiram air keseluruh tubuh mempelai dilanjutkan dengan keramas rambut menggunakan campuran jeruk puruk dan kelapa tersebut lalu di siram dengan air.
Tradisi memandikan ini memang tidak diatur secara dalam Al-Qur’an maupun hadist, namun perlu diketahui bahwa selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam maka tidak ada salahnya melakukan tradisi tersebut. Sebagaimana wadah tempat air digunakan tidak menjadi sebuah permasalahan dalam hukum Islam.
b. Nen To Pun Yai (Mengantar calon pengantin pria ke pelaminan).
Tradisi mengantara calon pengantikan pria ke pelaminan adalah untuk mempertemukan kedua pengantin di pelaminan. Apabila kita amati secara cermat maka proses ini memiliki tujuan untuk mempertemukan mempelai pria dan mempelai wanita dan bersanding di kursi pelaminan sehingga boleh untuk dilakukan sebagaimana Islam membenarkan dengan landasan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (nomor hadis: 5162) :
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا زَفَّتْ امْرَأَةً إِلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوُ
“Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa dia pernah mempersiapkan pengantin perempuan untuk dipertemukan dengan pengantin laki-laki dari kaum Anshar, lalu Nabi SAW., bertanya: “Wahai Aisyah, apakah sudah kau persiapkan hiburan? Karena orang-orang Anshar menyukai hiburan.”

c. Lafadz Nikah (Akad nikah)
Tradisi akad nikah dalam masyarakat suku Kui dilaksanakan di rumah mempelai wanita atau tempat berlansungnya walimatul ursy tersebut dengan disaksikan oleh dua orang saksi yang duduk berdampingan dengan mempelai serta tamu undangan yang ikut hadir dalam perhelatan ijab kabul tersebut. Namun sebelum akad dilakukan maka terlebih dahulukan dengan khotbah nikah.
Akad nikah terlaksana sempurna dengan menyebutkan ijab dan kabul. Makna ijab adalah salah satu pihak menyatakan keinginannya untuk melaksanakan pernikahan sedangkan kabul maknanya adalah pihak lain menyetujui dan ridha dengan pelaksanaan pernikahan tersebut.
Berangkat dari deskripsi diatas maka menurut penulis ijab kabul nikah merupakan pengalihan hak dan tanggung jawab dari seorang wali kepada mempelai laki-laki terhadap anak perempuan dengan ucapan ijab dari pihak wali perempuan “saya kawinkan engkau dengan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mas kawin seperangkat alat sholat” lalu di jawab dengan ucapan penerimaan atau qabul oleh si laki-laki “saya terima mengawini anak bapak bernama si A dengan mas kawin seperangkat alat sholat”. Setelah proses ijab qabul yang dilakukan antara mempelai laki-laki dan wali dari mempelai wanita maka saat itu pula keduanya telah resmi menjadi suami istri dan halal untuk bergaul.
Terkait dengan mahar, lansung diberikan oleh mempelai laki-laki pada saat setelah akad sehingga tidak ada lagi penundaan terhadap mahar yang diberikan kepada istri.
d. Mei To Pun Yai(Kunjungan Ke Rumah Orang Tua Mempelai Laki-Laki).
Kunjungan mempelai ke rumah orang tua mempelai laki-laki dengan tujuan untuk bersalaman dengan orang tua mempelai laki-laki sebagai tanda direstuinya perkawinan kedua mempelai tersebut. Setelah itu kedua mempelai kembali ke kediaman mempelai wanita untuk mengikuti upacara selanjutnya.
Menurut penulis tradisi ini sangat baik untuk dilakukan oleh pasangan pengantin baru, disebabkan untuk memperkenalkan sang isteri sekaligus menyambung silaturahmi antara istri dengan orang tua mempelai pria.

e. Tenaga Tawelaga (Resepsi Perkawinan)
Upacara resepsi perkawinan dilakukan pada malam hari dengan dihadiri oleh tamu undangan dan kedua mempelai duduk bersanding dihadapan tamu undangan. Adapun susunan acara resepsi pernikahan yaitu: sambutan dari kedua kerabat mempelai; mendoakan mempelai yang telah menikah dan dilanjutkan dengan jamuan makan kepada seluruh tamu undangan yang menghadiri pesta tersebut.
Dalam Islam pesta perkawinan atau resepsi perkawinan diidentikkan dengan walimah. Adapun manfaat dari walimah adalah agar keluarga, tetangga, handai tolan, ikut mendoakan kedua mempelai dan mengetahui pula secara sah hubungan antara keluarga menurut hukum adat dan agama.
Sabda Rasulullah SAW. :
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakanlah walimah (perjamuan kawin)walaupun dengan menyembelih seekor kambing”.

3. Tradisi Adat Setelah Pelaksanaan Upacara Perkawinan
Setelah pelaksanaan upacara perkawinan yang telah dilakukan di rumah mempelai wanita, maka akan dilanjutkan dengan beberapa proses sebagai berikut :
a. Mei To Pun Yai, Ganen Gakabol, Nen Araman Gagatani(Upacara Mengantara Mempelai ke Rumah Mempelai Laki-Laki)
Tradisi mengantar mempelai ke rumah laki-laki (rumah suami) ini dilakukan setelah proses selesai proses akad nikah kedua mempelai. Menurut sistem perkawinan suku yang menganut sistem patrilinial, maka seorang wanita yang telah resmi menjadi seoarang isteri maka akan menjadi tanggungjawab mutlak seorang suami sehinga dalam tradisi suku Kui, setelah terjadi perkawinan maka isteri akan diserahkan kepada kerabat suaminya.
Namun tradisi masyarkat suku Kui sangat memperhatikan masalah kekeluargaan atau kekerabatan, sehingga istri tidak akan dibatasi untuk mengunjungi orang tuanya karena istri memiliki nasab dengan orang tua kandungya. Sehingga sekalipun seorang istri telah masuk dalam kerabat suaminya namun istri masih memiliki nasab dengan orang tuanya. Hal ini ditandai dengan masih berlakunya penamaan seorang istri yang masih menyisipkan nama ayahnya dan fam atau marga ayahnya.
Dari hadis diatas dapat dikatakan bahwa seorang istri yang telah diantarkan kepada suaminya atau telah masuk bergabung dengan kerabat suaminya namun, ia masih memiliki hubungan nasab/keturunan dengan orang tuanya. Hal ini sangat di junjung tinggi oleh tradisi suku Kui.
Ada riwayat dari sahabat Rasulullah Saw., bahwa apabila mereka mengantarkan pengantin perempuan ke tempat suaminya mereka pesan kepada mempelai putri supaya selalu taat dan berbakti kepada suaminya, dan selalu memperhatikan hak-hak suami.
b. Pesta Dirumah Pengantin Pria
Pesta dirumah penganti laki–laki ini adalah merupakan pesta untuk memeriahkan malam pertama dimana wanita baru diantarkan ke rumah suaminya agar dapat menghilangkan kesedihannya ketika meninggalkan karib kerabatnya. Pesta ini hanya dilakukan khusus oleh kerabat dari mempelai laki-laki dengan jenis acaranya berupa jamuan makan malam. Selain itu pesta ini juga bertujuan untuk mengenalkan sang wanita kepada kerabat suaminya agar wanita tersebut akan terbiasa dalam kesehariannya.
Menurut penulis, proses ini tidak sama sekali bertentangan dengan hukum Islam karena dalam pelaksanaannya hanya sebatas memberikan jamuan makan dan berkenalan dengan mempelai wanita yang baru bergabung dalam keluarga kerabat mempelai laki-laki.
Pesta dirumah kerabat suami ini sama persis dengan pesta-pesta sebelumnya namun yang diundang hanya dikhususkan kepada kerabat-kerabat dari mempelai suami. Sehingga dalam hukum islam pesta ini dapat penulis sama artikan dengan walimah.
Berkaitan dengan dengan menghadiri walimah itu sendiri hukumnya wajib. Rasulullah SAW., bersabda :
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ

“Apabila kamu diundang walimah maka hadirilah” (Riwayat Bukhari Dan Muslim)

c. Mei Nen Bain Lak Gaweli(Memandikan Kedua Mempelai)
Pada pagi hari setelah melakukan acara pesta bersama kerabat dari pihak mempelai laki-laki dilanjutkan dengan upacara memandikan kedua mempelai. Alat-alat yang tidak berbeda dengan prosesi memandikan saat memasuki pelaminan namun jeruk puruk dan ampas kelapa tidak digunakan lagi.
Menurut penjelasan yang disampaikan dalam wawancara bersama Bapak Husen Mansari, tujuan dari tradisi memandikan mempelai ini dilakukan untuk membiasakan kedua mempelai selalu membersihkan diri setelah bersatu sejak akad nikah.
Berangkat dari penjelasan diatas maka, menurut penulis hal ini sangat baik untuk dilakukan karena sebagai media untuk mengajarkan kedua mempelai untuk senantiasa bersuci atau mandi (bersuci) setelah bergaul (berhubungan badan) antara suami istri.
d. Mei Nen Gwomi( Menasehati Pengantin )
Adapun isi petuah dalam bahasa Kui adalah “ya balan alelan mi a araman mi a ayura ama gapata tapi walel ogomo minuk mi aruku utakasi gaimani alel de mei te atawaing gamainte ganoka gamola” yang berarti “kalian berdua telah berada dalam rumah ini dan hidup berkelauarga, sudah dan senang harus di lalui bersama-sama, saling mengasihi satu sama lainnya dan tidak boleh terjadi adanya perceraian antara kalian berdua”.
Dari isi petuah diatas, maka dapat penulis katakan bahwa petuah-petuah yang diberikan kepada kedua mempelai (pengantin baru) tersebut merupakan seruan kearah kebaikan, sehingga dalam adat perkawinan suku Kui dipandang perlu untuk dilakukan agar terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Mei nen gwomi (menasehati pengantin) baru yang hendak berumah tangga merupakan sebuah keharusan yang dilakukan oleh suku Kui dengan tujuan agar pengantin baru diberikan pengalaman sebagai bekal hidup dalam berumah tangga sehingga terhindar dari adanya permasalahan yang mengakibatkan hilangnya tujuan pembentukan keluarga sakinah, mawadah dan rahmah. Kebiasaan ini tercermin dalam sebagaimana firman Allah SWT., yang berbunyi :
•
“1. Demi masa, 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

e. Bon Kabutun Er Makan (Membongkar Tenda Perkawinan Dan Jamuan Makan Bagi Muda Mudi)
Proses ini adalah akhir dari sesi pelaksanaan tradisi adat perkawinan suku Kui sebab tenda-tenda pernikahan dan semua barang pinjaman tetangga dikembalikan kepada pemiliknya. Dilanjutkan dengan pemberian jamuan makan dan ucapan terima kasih kepada anak-anak muda yang telah membantu melancarkan kegiatan upacara perkawinan tersebut.
Hal ini telah menjadi kebiasaan masyarakat suku Kui dari zaman dahulu hingga sekarang yang tetap mempertahankan kebiasaan gotong-royong saling membantu satu sama lainnya dan ucapan terima kasih sebagai imbalan dari bantuan yang telah diberikan.
Islam sangat menganjurkan hal ini karena setiap muslim dan muslim lainnya adalah bersaudara. Dalam hal ini Allah SWT., berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 10

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara.”

Berangkat dari deskripsi di atas maka, agama sesungguhnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk hukum apabila dilihat dari definisi yang ditawarkan oleh masyarakat Indonesia secara umum. Karena adat pada esensinya dipahami sebagai norma yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat dalam rangka kepentingan mereka mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat. Adat kebiasaan yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat selama kebiasaan tersebut tidak mendatangkan kerusakan atau menyalahi norma umum dan ajaran agama maka adat dapat diterima dan berjalan terus sebagai salah satu dasar dalam pengambilan keputusan hukum. Dalam adat perkawinan suku Kui yang berada di kecamatan Alor Barat Daya, adat tersebut telah ada sejak dahulu dan masih dilestarikan hingga sekarang, bila fenomena tersebut dikaitkan dengan hukum Islam maka fenomena adat tersebut tidak lepas dari adanya ‘urf.
‘Urfmerupakan sumber hukum yang mendasarkan diri pada adat dan kebiasaan masyarakat setempat.‘Urftersebut terbentuk dari saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi sosial, yaitu kalangan awam dari mayarakat dan kelompok elite mereka. Hal ini berbeda dengan ijma’, karena sesungguhnya ijma’ terbentuk dari kesempatan dari para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur dalam membentuknya.
Pada umumnya seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan ‘urf yang berkembang pada zamannya di mana seandainya Ia berada pada zaman yang lain dengan ‘urf yang baru, niscaya Ia akan mengeluarkan pendapat bahwa seorang mujtahid harus mengenali adat-adat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat dimengerti kalau banyak ketetapan hukum yang berbeda-beda lantaran perbedaan zaman.
‘Urf sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. ‘Urf Ditinjau Dari Kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya oleh syari’ah) ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. ‘Urf yang fasid atau ‘urf yang batal, yaitu yang bertentangan dengan syariah, seperti kebiasaan minum-minuman keras saat merayakan pesta kelahiran.
b. ‘Urf yang shahih atau Al-Âdah al-shahihah yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, seperti memesan barang dagangan.
2. ‘Urf Ditinjau Dari Ruang Lingkup Berlakunya, yaitu mengenai adat dan kebiasaan kita, ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. ‘Urf yang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku untuk semua orang disemua negeri, Misalnya membayar angkot dengan tidak menggunakan akad ijab qobul.
b. ‘Urf yang khusus, yaitu hanya berlaku disuatu daerah tertentu saja, Misalnya adat.
Para ulama ushulfikih sepakat bahwa suatu ‘urf baru bisa dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan nash yang qad’î.
2. ‘Urf harus berlaku universal. Tidak dibenarkan ‘urf yang menyamai ‘urf lainnya, karena adanya pertentangan antara mereka yang mengamalkan dan yang meninggalkan.
3. ‘Urf harus berlaku selamanya. Tidak dibenarkan ‘urf yang datang kemudian.
Berkait dengan keterangan ‘urf diatas, terdapat dalam Al-Qawaid Al-Khamsah (lima kaidah asasi) yang berbunyi:
ﺍﻠﻌﺎﺪﺓﻣﺤﮑﻣﺔ
“adat (dipertimbangkan di dalam) menetapkan hukum"
Adapun syari’at Islam bukan untuk batas waktu tertentu, bukan untuk bangsa dan tempat tertentu tetapi bersifat universal, untuk seluruh alam.Karena itu kaidah-kaidah hukumnya bersifat umum, prinsip dan pokok-pokok saja yang disebutkan dan diberi kesempatan kepada ilmuan bidang hukum dan sosial ditempat masing-masing untuk menguraikannya lebih lanjut dalam mengatasi berbagai masalah yang timbul di daerahnya masing-masing.Hendaknya hukum mengakomodasi problematika masyarakat seiring dengan perkembangan zaman. Dengan ini, akan tercermin fleksibilitas dan elastisitas proses pembentukan suatu hukum, Islam merupakan agama yang dinamis dan sesuai dengan perkembangan zaman termasuk dalam masalah hukum. Lebih lanjut lagi apabila hukum itu ditetapkan berdasarkan adat, maka dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu dan tempat, karena perbedaan keinginan manusia.
Adat perkawinan yang ada pada masyarakat Kui merupakan adat yang ada sejak zaman dulu, dan masih dipertahankan hingga sekarang, oleh karena itu ketika ada pemuda dan pemudi yang akan menikah maka mereka pasti menggunakan cara pernikahan adat yang berlaku dalam suku Kui.
Ketetuan tradisi adat suku Kui ini tidak diatur dalam Islam secara jelas oleh karena itu untuk memandang apakah adat semacam ini dibenarkan atau tidak, maka yang harus ditinjau adalah bentuk maslahah dan mafsadat. Hal ini merupakan peraturan adat yang berlaku dan berkembang di masyarakat Kui , maka tradisi adat perkawinan suku Kui merupakan adat yang diperbolehkan, karena pada dasarnya asal dari sesuatu hukumnya mubah, sehingga tidak ada dalil yang mengharamkannya, hal berkaitan dengan kaidah ushūl fiqh yaitu:
ﺍﻻﺼﻞﻓﻲﺍﻻﺷﯿﺈﺍﻻﺒﺎﺤﺔﺣﻲﯿﺪﻞﺍﻠﺩﻠﻴﻞﻋﻠﻲﺍﻠﺘﺤﺮﻴﻢ
“hukum asal dalam muamalah adalah kebolehan sampai pada pada dalil yang menunjuk pada keharamannya ”
Dalam pelaksanaan adat perkawinan suku Kuitidak terjadi hal-hal yang melanggarnorma agama dan norma social. Sehingga kedua belah pihak yang akan melaksanakan perkawinan bukan merupakan paksaan namun atas dasar kerelaan untuk membentuk keluarga atas niat bersama. Dalam adat perkawinan suku suku Kui melarang adanya paksaan untuk melaksanakan perkawinan karena bisa menimbulkan sanksi sosial yaitu rasa malu dan ketakutan akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini terkait dengan kaidah ushūl al-fiqh yaitu:
ﺍﻠﺿﺭﺭﻴﺯﻞ
“kemudaratan harus dihilangkan”
Makna yang terkandung dalam konsep kaidah ini, yang secara emplisit memotifasi kita untuk membuang jauh-jauh semua bahaya, baik bahaya bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Bahaya yang berwujud kesusahan, kesulitan atau kesempitan, baik didunia maupun di ahirat, sebisa mungkin harus disingkirkan, walaupun demikian bukan berarti kegala kemudahan dan kenikmatan bisa direngkuh. Sebab bisa jadi yang kita anggap baik atau maslahah ternyata berdampak negatif atau mafsadah bagi orang lain, bagi agama, bahkan bagi diri sendiri.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa tradisi upacara adat perkawinan suku Kui di kecamatan Alor Barat Dayadalam prosesnya mengikuti tuntunan huku Islam, sekalipun pelaksanaanya mengikuti adat atau tata carayang berlaku bagi masyarakat suku Kui. Namun apabila dilihat dari substansinya maka, pelaksanaan tradisi upacara adat perkawinan suku Kui tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini ditandai dengan pelaksanaan tradisi upacara adat perkawinan suku Kui ini berlaku berlaku universal sekalipun prosesnya tidak dijelaskan secara rinci dalam nas. Oleh karena itu tradisi upacara adat perkawinan suku Kui memenuhi syarat ‘urf yang dapat dijadikan sumber penetapan hukum, maka dapat disimpulkan ketika dilihat dari segi keabsahannya adat perkawinan suku Kuidalam masyarakat kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor termasuk kategori ‘Urf Shahih.
Dalam mencetuskan hukum baru, fenomena budaya bukanlah sebuah dalil yang berdiri sendiri dan akan melahirkan produk hukum baru, melainkan “sekedar ornament” untuk meligitimasi hukum-hukum syariat. Dan perlu dicatat pula, yang bisa dijadikan hukum hanyalah adat istiadat yang dinilai baik menurut perspektif syariah dan tentunya tidak bertentangan dengan nash-nash yang syar’i. Artinya, syariat hanya memberikan ketentuan secara umum, maka batasan pastinya diserahkan pada menilaian adat istiadat yang berlaku.
Dalam kaitan dengan tradisi adat perkawinan suku Kui, telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa mayoritas masyarakat suku Kui memeluk agama Islam. Berdasarkan kesimpulan hasil wawancara dilapangan, tradisi upacara adat perkawinan suku Kui sudah ada sejak zaman dulu dan berkembang hingga zaman sekarang dan sesuai dengan hukum perkawinan di Indonesia dan agama Islam, karena pada pelaksanaannya tidak mengurangi salah satu syarat sahnya perkawinan, jadi melaksanakan pernikahan dengan mengunakan tradisi upacara adat perkawinan suku Kui hukumnya boleh.
Maka adatperkawinan yang dianut suku Kui pun masih relevan untuk digunakan, karena dalam hukum Islam perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Apabila tradisi upacara adat perkawinan suku Kuitersebut dilaksanakan dengan mengunakan tata tertib dan aturan yang ada maka adat tersebut tidak mengandung nilai kemafsadatan, bila kedua unsur tersebut terdapat dalam sebuah perbuatan, maka yang menjadi standar adalah nilai mana yang banyak manfaatnya dan sedikit madharatnya.
Penelitiberpandanganbahwa tradisi upacara adat perkawinanadat perkawinan suku Kui bisadikatagorikan sebagai ‘urf yangbernilai maslahat,adapunsyarat-syaratituadalah:
1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid syari’ah.
2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan.
3. Kemaslahatanitumembawakemudahandanbukanmendatangkankesulitanyangdiluarbatas,dalamartikemaslahatanitubisadilaksanakan.
4. Kemaslahatanitumemberimanfaatkepadasebagianbesar masyarakat bukankepadasebagiankecilmasyarakat.
Daripembahasan yang dipaparkanolehpeneliti,bisadimaknai bahwa pelaksanaantradisiupacara adat perkawinan suku Kui bisa disebut maslahat, sehingga dengandemikiantradisiupacara adat perkawinansuku Kui dapatditerima sebagai ‘urfdanbisadisebutmaslahat.





BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tradisi upacara adat perkawinan suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur meiliki sifat susunan kekeluargaan patrilinial yaitu sistem kekeluargaan mengikuti garis keturunan bapak dan sistem perkawinan yang dianut adat perkawinan suku Kui yaitu sistem eksogami marga, artinya seseorang tidak diperbolehkan menikahdenganorangdari suku yang serumpun atausatu marga.
Namun ada sedikit perbedaan yang terdapat pada sistem perkawinan antara adat Kui dengan hukum Islam yaitu suku Kui melarang perkawinan yang terjadi antara satu suku (marga/fam) sekalipun keturunan jauh, namun persoalan ini memiliki substansi bahwa kekhawatiran akan terjadinya pernikahan antara saudara sedarah. Suku Kui beranggapan bahwa pernikahan satu suku (marga/fam) sama artinya dengan menikahi saudara kandung sendiri. Larangan perkawinan ini bersifat mutlak sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat keharaman terhadap larangan perkawinan yang dipraktikkan oleh masyarakat suku Kui sebab dalam Islam tidak membatasi atau tidak melarang perkawinan sesuku (semarga/sefam).
2. Prosesi tradisi upacara adat perkawinan suku Kui di Kecamatan Alor Barat Daya Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timurmemilikitatacarayangkhas.Dalam keluargatradisional,upacarapernikahandilakukanmenuruttradisiturun-temurun yangterdiridaribanyaksub upacara dengan dibagi menjadi tiga bagian,yaitu: tradisi adatsebelum pelaksanaanupacaraperkawinan: Mei Bangan (Melamar Gadis), Gen Aka (Terang Kampong), Mei Gosumul (Membesuk Calon Pengantin Wanita), Aban Panen (Pemberitahuan Persiapan Upacara Perkawinan), Antaran (Kunjungan Ke Rumah Kedua Mempelai), Pendaftaran Nikah, Mei Nen Gosok Gogabali ( Antaran Calon Pengantin Pria Kerumah Calon Pengantin Wanita ). tradisi adat saat pelaksanaan upacara perkawinan:Mei Gaweli (Memandikan pengantin wanita), Nen To Pun Yai (Mengantar calon pengantin pria ke pelaminan), Lafadz Nikah (akad nikah), Mei To Pun Yai (Kunjungan kerumah orang tua laki-laki), Teenage Tawelaga (Resepsi Pernikahan). tradisi adat setelah pelaksanaan upacara perkawinan:Mei to pun yai, ganen gakabol, nen araman gagatani (Upacara Mengantara Mempelai ke Rumah Mempelai Laki-Laki), Pesta dirumah pengantin pria, Mei Nen Bain Lak Gaweli (memandika kedua mempelai), Mei nen gwomi ( Menasehati Pengantin ), Bon Kabutun Er Makan (Membongkar Tenda Perkawinan Dan Jamuan Makan Bagi Muda Mudi).Dalam pelaksanaannya,adat perkawinan suku Kui banyakmengangkatnilai-nilai yangluhur,diantaranyamengajarkanakankesederhanaan,pensucianlahirdan batin,berumahtangga untuksalinghiduprukun, salingmengisi,dan salingtolongmenolong,sertamengandungmaknapermohonan kepedaSangKuasa.
3. Tinjauan hukum Islam terhadap tradisiupacara adatperkawinansuku Kui dapat disimpulkan bahwa searah atau saling berkaitan dengan ajaran Islam. Hal ini dapat diamati pada sistem kekeluargaan dan prosesi upacara adat perkawinan suku Kui. Sistem kekeluargaan yang dianut suku Kui yaitu mengikuti garis keturunan bapak. Suku Kui menganggap bahwa seorang laki-laki (bapak) yang berhak menjadi seorang pemimpin dalam keluarga. Sebagaimana firman Allah SWT., ‘laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan’. Tampak jelas dari seluruh prosesi tradisi upacara adat suku Kui mengadopsi ajaran atau cara-cara Islam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa internalisasi hukum perkawinan Islam terhadap tradisi upacara adat perkawinan suku Kui berjalan beriringan secara harmonis.
Apabila tradisi upacara adat perkawinan suku Kui dikaji dan dianalisis melalui ‘urf, maka kita akan menemukan unsur internalisasi hukum Islam pada tradisi upacara adat perkawinan suku Kui, namun dalam pelaksanaannya terdapat praktik yang bertentangan dengan hukum Islam yaitu terdapat larangan perkawinan antara satu suku (marga/fam). Sehinggapenelitimengkatagorikantradisiinitermasukpada ‘urf fi’li (dalam istilah lain disebut ‘urf amali), adalah sejenis pekerjaan atau aktifitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma sosial yangmanatradisiinidapatditerimakehadirannyaolehmasyarakat.Tradisiupacara adat perkawinan suku Kuiyangterjadipadasaatiniadalahkebiasaanyang telahdikenalsecarabaikdalammasyarakat.Tradisiinimenjadibaikkarena tidakmerusakdaritujuan-tujuanpernikahandanmemberimaknauntukmenjaga nilai-nilaibudaya,makatradisiinibisadikatagorikansebagai ‘urfdanmengandung kemaslahatan.
A. SARAN
Saranyanginginpenulissampaikandalamskripsiiniadalah:
1. Bagi instansi Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten Alor, pemerintahan Kecamatan Alor Barat Daya, agarselalu mengarahkan masyarakat untuk menjaga nilai luhur budaya disetiap upacara adat khususnya dalam hal upacara perkawinan.
2. Bagi Kementerian Agama, Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) agar senantiasa mengarahkan pasangan nikah untuk mewujudkan tujuan perkawinan serta mengawasi setiap prosedur pelaksanaan perkawinan untuk selalu mencatatkan perkawinannya.
3. Bagi tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat, agar selalu mengarahkan masyarakat khususnya suku Kui di kecamatan Alor Barat Daya dalam melaksanakantradisi-tradisidanbudayayangadaharusmemperhatikanhukum adatsetempatdanhukumIslam.Sehinggakeduanyadapatberjalanberiringandanharmonis sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
4. Dalammenjalankanprosesi adatperkawinanadabaiknyamasyarakattidakterpaku secaraberlebihanterhadapadat,sehinggamemaksakankehendakyangsekiranya malahmembebanidanmemberatkandirisendiri.
5. Bagi pelaku perkawinan, ada baiknya terlebih dahulu memiliki persiapan yang matang untuk melaksanakan perkawinan baik itu dari segi kesiapan lahir maupun bathin agar terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.














DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haq dkk.,Formalitas Nalar Fiqh (Telaah Fiqh Konseptual). Surabaya: Khalista, 2005.
Ahmad Tholabi Kharlie. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2013.
Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Latif Az-Zabidi, Mukhtsar Shahih Al- Bukhari Al- Musamma At-Tarjiid Ash-Shariih Li Ahaadits Al-Latif Ash-Shahih (Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari). Saudi Arabia Riyadh : Daar As-Salam.
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia(Antara Fikih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta: Prenada Media, 2006.
.Ushul Fiqh Jilid 2.Ciputat : PT. Logos Kencana Ilmu, 1999.
. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2011.
Asmin.Status Perkawinan Agama ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974.Jakarta: Dian Rakyat, 1986.
Beni Ahmad Saebani.Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang (Prespektif Fikih Munakahat Dan UU No. 1/1974 Tentang Poligami Dan Problematikanya). Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Djazuli.Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), cet. Ke-III. Bandung: Percetakan Orba Shakti, 1992.
.Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah- Masalah Yang Praktis. Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2007.
Hans Daeng, Antropologi Budaya. Jakarta : Nusa Indah, 1985.
HilmanHadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat Dan Hukum Agama .Bandung: Mandar Maju, 2007.
Imam Sudiyat, Hukum Adat (Sketsa Asas), Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981.
Kamal Mukhtar.Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1947.
Khadim Al Haramain Asy Syarifain. Al-Qur’an dan Terjemahannya.(Mushaf Al-Madinah An-Nabawiyah.). MadinahManawwarah, 2009.
Koentjaraningrat.Pengantar Antropologi. Rineka Cipta, 2005.
Lexi Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung : P.T Remaja Rosdakarya, 2003.
M. Fuad Nasar H.SM., Nasaruddin Latif. Biografi Pemikiran. Cet. I. Surakarta: PN. PT. Gema Insani Press, 1996.
Marjuki. Metodologi Riset. Yogyakarta : PT. Prasetya Widia Pratama, 2000.
Miftahul Huda, dkk.,Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram 2014.
Nurcholis Madjid. Islam, Doktrin dan Peradaban . Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Pusat penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).Tahun 2011.
Sa’id Bin Abdullah bin Thalib Al Hamdani. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta : Pustaka Alami, 2002.
SoejonoSoekanto, Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta, 2002.
Surojo.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung, 1985.
Sistem Pemerintahan Tradisional di Kabupaten Alor. Kabupaten Alor : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2009.
Kantor Urusan Agama Kecamatan Mataram, Tuntunan Praktis Rumah Tangga Sakinah. Mataram : Galih Kemuning.
Totok Jumantro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Amzah, 2005.
ZainudinAli, Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
M. Ihwanuddin, Rukun dan Syarat Pernikahan Disertai Dengan KHI (Kompilasi Hukum Islam),http://mihwanuddin.wordpress.com/2011/03/07//rukun-dan-syarat-pernikahan-menurut-khi-kompilasi-hukum-islam,Diakses 31 Desember 2014.
Mulfiblog,“PengertianTradisi”,http://tasikuntan.wordpress.com/2012/11/30/pengertian-tradisi/.
Abinehisyam,“tradisidalammasyarakatIslam”,http://abinehisyam.wordpress.com//2011/12/29/tradisi-dalam-masyarakat-Islam/
http://www.lutfichakim.com/2012/01/perkawinan-menurut-hukum-adat-dan.html tanggal,, 4 agustus 2015.
http://bloghukumumum.com.
https://dheryudi.wordpress.com/2011/03/01/hukum-islam-tentangmenambahkan-nama-suami-di-belakang-nama-istri/. Akses tanggal 10 agustus 2015.





LAMPIRAN-LAMPIRAN














CURRICULUM VITAE

Nama :Ridwan Umar Leky
TTL : Marica, 31 Desember 1991
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
No. HP. : 085339550248
Alamat Asal : RT/RW 007/004 Kelurahan Moru Kecamatan Alor Barat DayaKabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Pengalaman Organisasi :
 Ketua OSIS SMA Negeri 1 Alor Barat Daya periode 2009-2010
 Ketua devisi HAM dan Advokasi Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ahwal Al-Syakhsyiah Fakultas Syari’ah IAIN Mataram periode 2012-2013
 Ketua Kajian Hukum dan Intelektual PMII Rayon Jamaludin Al- Afghani periode 2012-2013
 Ketua Devisi HAMdan Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Syari’ah IAIN Mataram periode 2013-2014
 Ketua Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Islam (HIPMI) NTT-Mataram periode 2013-2014
Orang Tua :
a. Ayah : Umar Leky
b. Ibu : Marihana Abbas Marjuki
Alamat Orang Tua : RT/RW 007/004 Kelurahan Moru Kecamatan Alor Barat DayaKabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Riwayat Pendidikan :
a. SDNegeri Kayang (Tahun 1998-2004).
b. SMP Negeri Moru (Tahun 2004-2007)
c. SMA Negeri 1 Alor Barat Daya (Tahun 2007-2010).
d. Jurusan Akhwal Al-Syakhsiyah FakultasSyari’ahIAIN Mataram (Tahun 2011-2015).


































































































































PEDOMA WAWANCARA
Namainforman :
Umur :
Pekerjaan :
Waktuwawancara :
Tempat :
1. Apakah yang dimaksuddenganadat perkawinansuku Kui?
2. Sebelummelaksanakanupacaraperkawinan, halapasaja yang sudahmentradisidalammasyarakat suku Kui?
3. Bagaimana sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat suku Kui?
4. Apakah dalam keluarga suku Kui juga melakukan poligami?
5. Apakah masyarakat suku Kuidalamperkawinanterdapatperceraian, faktorapasaja yang melatarbelakangiperceraian?
6. Apa konsekuensi bagi pasangan nikah yang melakukan perceraian?
7. Apakahsampaisaatini tradisiupacaraadatperkawinansuku Kuimasihdilaksanakan,berikanalasannya?
8. Bagaimanajikapelaksanaanupacara adatperkawinansuku Kui tidakmengikutitatacaramenurutadat, apakahbelumdikatakansah?
9. Bagaimanaprosesi adatperkwinan suku Kui?
10. Apakahadaperubahandenganprosesiperkawinanterdahuludenganperubahanzaman modern padasaatini?
11. Apa yang menjadi mas kawin dalam adat perkawinan suku Kui?
12. Dimanakah tempat prosesi perkawinan suku Kui itu berlangsung.
LAMPIRAN GAMBAR






Wawancara Bersama
Bapak Husen Mansari Wawancara Bersama
Bapak Jumad Sanga


Wawancara bersama Bapak Umar Daka Prosesi AbanPanen


Wawancara bersama ibu-ibu Suasana mengantar calon mempelai pria









Prosesi penerimaan antaran Prosesi pendaftaran di KUA



Prosesi mengantar calon penghantin pria ke rumah mempelai wanita Prosesi tradisi langan trai


Tamu undangan walimah Prosesi Ijab Qobul nikah


Jamuan makan bersama Lego-lego (kesenian daerah suku Kui)










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PANDUAN BAGAIMANA MENJADI AGEN TIKET PESAWAT TERLENGKAP

Buruan stok terbatas https://account.ratakan.com/aff/go/umar1991?i=308