BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Islam merupakan salah satu agama besar di dunia saat ini. Agama ini
lahir dan berkembang di Tanah Arab. Pendirinya ialah Muhammad. Agama ini lahir salah satunya
sebagai reaksi atas rendahnya moral manusia pada saat itu. Manusia pada saat
itu hidup dalam keadaan moral yang rendah dan kebodohan (jahiliah). Mereka
sudah tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran nabi-nabi sebelumnya. Hal itu
menyebabkan manusia berada pada titik terendah. Penyembahan berhala,
pembunuhan, perzinahan, dan tindakan rendah lainnya merajalela.
Islam mulai disiarkan sekitar tahun
612 di Mekkah. Karena penyebaran agama baru ini mendapat tantangan dari
lingkungannya, Muhammad kemudian pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622.
Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh dunia.
Muhammad mendirikan wilayah
kekuasaannya di Madinah. Pemerintahannya didasarkan pada pemerintahan Islam.
Muhammad kemudian berusaha menyebarluaskan Islam dengan memperluas wilayahnya.
Setelah Muhammad wafat pada tahun
632, proses menyebarluaskan Islam dilanjutkan oleh para kalifah yang ditunjuk Muhammad. Sampai tahun 750, wilayah Islam
telah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Afrika Utara, Irak, Suriah, Persia,
Mesir, Sisilia, Spanyol, Asia Kecil, Rusia, Afganistan, dan daerah-daerah di Asia Tengah. Pada masa
ini yang memerintah ialah Bani Umayyah dengan ibu kota Damaskus.
Pada
tahun 750, Bani Umayyah dikalahkan oleh Bani Abbasiyah yang kemudian memerintah
sampai tahun 1258 dengan ibu kota di Baghdad. Pada masa ini, tidak banyak
dilakukan perluasan wilayah kekuasaan. Konsentrasi lebih pada pengembangan ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Islam. Baghdad menjadi pusat
perdagangan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Setelah
pemerintahan Bani Abbasiyah, kekuasaan Islam terpecah. Perpecahan ini
mengakibatkan banyak wilayah yang memisahkan diri. Akibatnya, penyebaran Islam
dilakukan secara perorangan. Agama ini dapat berkembang dengan cepat karena
Islam mengatur hubungan manusia dan TUHAN. Islam disebarluaskan tanpa paksaan
kepada setiap orang untuk memeluknya.Islam berkembang ke Indonesia diberbagai
daerah seperti pulau jawa
2.
Rumusan Masalah
a) Kapan islam masuk ke pulau jawa ?
b) Kerajaan islam apa saja yang ada di
jawa ?
c) Siapa pembawanya dan penyebarnya ?
d) Dari mana asalnya ?
e) Jalur apa yang di gunakan ?
f) Faktor apa yang mendorong islam
datang ?
g) Apa saja bukti peninggalannya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal
Masuknya Islam Di Jawa
Kapan tepatnya Islam masuk ke Pulau Jawa tidak dapat diketahui dengan
pasti. Namun, penemuan nisan makam Siti Fatimah binti Maimun di desa Leran
Kecamatan manyar, dengan jarak sekitar 5 Km kearah jalur Pantura dari kota
Gresik yang wafat tahun 1101 M dapatlah dijadikan petunjuk awal masuknya Islam
di Pulau Jawa.
Hingga abad ke-13, bukti kepurbakalaan dan berita asing tentang
masuknya Islam di Pulau Jawa masihlah sangat sedikit. Baru pada ahkir abad
ke-13 M hingga abad-abad selanjutnya terutama semenjak Majapahit mencapai
puncak kejayaannya barulah banyak ditemukan petunjuk-petunjuk tentang masuknya
Islam di Pulau Jawa, misalnya dengan ditemukannya makam Islam di Troloyo,
Trowulan dan Gresik serta berita Ma Huan (1416) yang menceritakannya
adanya kehidupan orang-orang Islam di Gresik.
Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa Islam masuk kepulau
Jawa melalui pesisir dan pelabuhan-pelabuhan kemudian perlahan dan pasti
merambah ke kota-kota dan pedalaman hingga ke dalam lingkungan kerajaan. Ini
dibuktikan dengan ditemukannya makam muslim di Trowulan komplek makam para bangsawan
Majapahit.
Islam masuk pertama kali dipulau Jawa adalah dikota Gresik Surabaya.
Pembawa dan penyebarnya adalah seorang Waliullah yang bernama Maulana Malik Ibrahim
yang terkenal dengan sebutan Sunan Gresik
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai
dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada
tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik.
Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah
satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Malik
Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H
atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam
kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah
makam keluarga istana Majapahit.
B. Jalur-Jalur Yang Digunakan
Di abad 13 M berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di berbagai
penjuru nusantara. Di abad yg sama ada fenomena yg disebut dgn Wali Songo yaitu
ulama-ulama yg menyebarkan Islam di Indonesia. Wali Songo berdakwah atau
melakukan proses Islamisasi melalui saluran-saluran :
- Perdagangan
- Pernikahan
- Pendidikan (pesantren)Pesantren merupakan lembaga pendidikan yg asli dari
akar budaya Indonesia, & juga adopsi & adaptasi khasanah
kebudayaan pra Islam yg tdk keluar dari nilai-nilai Islam yg dpt
dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat
menghargai budaya setempat selama tdk bertentangan dgn nilai- nilai Islam.
- Seni & budayaSaat itu media tontonan yg
sangat terkenal pd masyarakat Jawa pd khususnya yaitu
wayang. Wali Songo menggunakan wayang sbg media dakwah dgn sebelumnya mewarnai wayang
tersebut dgn nilai-nilai Islam. Yang menjadi ciri pengaruh Islam dalam
pewayangan diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia di
hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala dgn dimasukkannya.
Tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk,
& Bagong. Para Wali juga mengubah lagu-lagu tradisional (daerah)
dalam langgam Islami, ini berarti nasyid sudah ada di Indonesia ini sejak jaman
para wali. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai- nilai Islam.
- TasawufKenyataan sejarah bahwa ada
tarikat-tarikat di Indonesia yg menjadi jaringan penyebaran agama Islam.
C. Proses Penyebaran Islam Di
Jawa
sejarah penyebaran islam di indonesia khususnya pulau jawa yaitu
dilakukan oleh para walisongo. Islam masuk pertama kali dipulau Jawa adalah dikota
Gresik Surabaya. Pembawa dan penyebarnya adalah seorang Waliullah yang bernama Maulana Malik Ibrahim yang
terkenal dengan sebutan Sunan Gresik.
Proses persebaran Islam di Indonesia
berlangsung lancar relatif damai. Kelancaran ini dikarenakan syarat-syarat
untuk memeluk Islam tidaklah sukar. Seseorang dianggap telah menjadi muslim
bila ia mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu pengakuan bahwa “tidak
ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Upacara-upacara dalam Islam juga cenderung lebih sederhana daripada upacara
dalam agama Hindu atau Buddha. Salah satu bukti Islam mudah diterima adalah
ketika raja Ternate yang nonmuslim tidak keberatan ketika sejumlah rakyatnya
memeluk Islam. Bukti lainnya dalah adanya makam bangsawan Majapahit yang
beragama Islam. Menurut catatan Tome Pires, kaum bangsawan Hindu-Buddha di Jawa
masuk Islam dengan sukarela tanpa paksaan. Penyebaran Islam disampaikan sesuai
dengan adat dan tradisi pribumi Indonesia. Islam juga tidak mengenal
pengkastaan dan menganggap derajat manusia itu sama.
Faktor lain yang mengakibatkan Islam
berkembang adalah keruntuhan Majapahit. Akan tetapi, tidak selamanya proses
persebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, berlangsung damai. Menurut
Tome Pires, para pedagang asing yang muslim menetap dan membuka pemukiman
tersendiri di sejumlah pelabuhan; selanjutnya pemukiman tersebut dijadikan kubu
pertahanan mereka dalam menjalankan roda perdagangannya. Setelah kekuatan
mereka dirasakan kuat, mereka kemudian menyerang bandar-bandar bersangkutan untuk
dikuasai.
Cara-cara kekerasan seperti ini
terjadi, misalnya, di bandar-bandar Demak dan Jepara. Sedangkan, proses
pengislaman secara damai dilakukan di pantai utara Jawa Timur, seperti di Tuban
dan Gresik. Kedudukan kaum pedagang ini menarik sejumlah penguasa Indonesia
untuk menikahkan anak gadisnya dengan mereka. Sebelum menikah, si gadis menjadi
muslim dahulu. Perkawinan ini lalu membentuk keluarga muslim yang berkembang
menjadi masyarakat muslim. Beberapa tokoh penting (raja dan para ulama atau
wali Islam) melakukan perkawinan jenis ini. Raden Rahmat (Sunan Ampel) menikah dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Puteri
Kawunganten, Raja Majapahit Brawijaya V menikahi seorang puteri Campa
yang muslim yang kelak menurunkan Raden Patah, raja Demak pertama.
Bahkan di antara para wali ada yang pernah
berdagang pada masa mudanya. Menurut Babad Gresik, Sunan Giri pada masa
mudanya adalah anak angkat Nyai Gede Pinatih, seorang pedagang wanita Cina yang
kaya di Gresik. Giri muda pernah pergi ke Kalimantan Selatan untuk urusan
bisnis. Sunan Bayat atau Ki Gede Pandang Arang pernah pula bekerja pada wanita
penjual beras. Sunan Kalijaga pernah pula berjualan alang-alang.
Selain melalui perkawinan, jalur
kesenian digunakan oleh para wali dalam proses islamisasi. Pertunjukan wayang
merupakan salah satu sarana kesenian yang digunakan. Tokoh Wali Sanga yang mahir
mementaskan wayang adalah Sunan Kalijaga. Kisah yang dipentaskan dikutip dari
kakawin Mahabharata atau Ramayana peninggalan masa Hindu-Buddha
yang kemudian disisipi nilai-nilai Islam. Selesai pertunjukan, sang dalang
tidak meminta upah melainkan mengajak penonton untuk mengucapkan kalimat syahadat.
Tidak ketinggalan, jalur pendidikan
pun ditempuh dalam islamisasi ini. Para ulama mendirikan pondok-pondok pesantren
(pesantrian) yang terbuka bagi siapa pun untuk belajar menjadi santri. Setelah
selesai belajar di pesantren, mereka kembali ke daerah asal dan berdakwah
mengajarkan Islam atau disuruh guru mereka menyiarkan Islam di daerah lain.
Tak jarang, orang-orang jebolan
pesantren ini tinggal di rumah-rumah para pedagang. Bahkan, seringkali dari
mereka yang menjadi pengurus harta (bendahara) kaum pedagang sekaligus memimpin
usaha dagang tuan rumah mereka. Kaum ulama yang mendirikan pesantren antara
lain: Raden Rahmat di Ampel, dekat Surabaya dan Raden Paku di Giri. Beberapa
lulusan Sunan Giri diundang ke Maluku untuk mengajarkan Islam di sana.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke
kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk
menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini
telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun
selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi
Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut
Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin,
maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama
dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda
Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam
dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada
tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra
Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal
dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan
Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di
Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat
jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah
Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami
keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i. Sedangkan pada kaum
Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam.
Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup
Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas
dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang
penjajahan.
Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat,
namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan
meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik
licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada
berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam
di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten,
Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18
seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri
(Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
D. Peranan Para Wali dalam Islamisasi
Penyebar Islam yang terkenal di
Indonesia, khususnya Jawa, disebut Wali Sanga. Wali ini merupakan adalah
dewan mubalig di Jawa yang berbasis di Demak sebagai pusat kegiatan politik dan
agama Islam. Tiap wali tersebut pernah menjadi imam pada waktu shalat berjamaah
di Masjid Agung Demak. Apabila salah satu anggota dewan wali ini wafat, ia akan
digantikan oleh wali lainnya berdasarkan musyawarah.
Tiap-tiap wali danpanggantinya mempunyai tugas
penyiaran agama Islam di Pulau Jawa. Mereka dipanggil dengan sebutan “sunan”,
yang berasal dari kata “susuhunan”, kata bagi orang yang terpandang di
masyarakat.
1) Tujuan dan
Pengaruh Dakwah Wali Songo Terhadap Masyarakat Jawa
Pertama, adalah menanamkan akidah yang mantap di setiap hati
seseorang, sehingga keyakinannya tentang ajaran Islam tidak dicapai dengan rasa
keraguan.
Kedua adalah tujuan hukum. Maka dakwah harus di arahkan kepada kepatuhan setiap
orang terhadap hukum yang telah di syariatkan oleh Allah SWT. salah satu upaya
para wali dengan menyebarluaskan nilai-nilai Islam kepada masyarakat jawa agar
mau memasuki hukum syaria'ah Islam adalah dengan membentuk nilai tandingan bagi
ajaran Yoga-Tantra yang berasaskan Malima. Konsep Ma-lima Versi Ulama adalah
sebagai berikut : Madat (memakan candu), main (berjudi), maling (mencuri), mimum
(minum-minuman keras) dan madon (berzinah).
Tujuan dakwah yang ketiga adalah menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat
jawa. Sehingga terbentuk pribadi muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan
sifat-sifat terpuji dan bersih dari sifat tercela. Para wali dalam menanamkan
dakwah Islam di Tanah Jawa di tempuh dengan cara-cara yang sangat bijak dan
adiluhung.
2)
Wali –Wali Songo:
a. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Maulana
Malik Ibrahim berasal dari Persia (Iran), kemudian berkedudukan di Gresik,
Jawa Timur, dan dikenal sebagai Susuhunan atau Sunan Gresik,
meninggal pada 1419 M. Ia yang diduga menyebarkan Islam di Jawa ketika
Majapahit masih memerintah. Ia dikenal dengan nama Maulana Magribi/Syekh
Magribi karena diduga berasal dari Magribi, Afrika Utara.
Diperkirakan Sunan Gresik lahir sekitar pertengahan tahun 1350. Setelah dewasa
ia menikah dengan seorang putri bangsawan ternama Dewi Candrawulan, putri pertama Ratu Campa yang telah menganut
Islam (isteri Raja Brawijaya V Majapahit).
Dakwahnya yang simpatik dan arif menyebabkan penduduk lebih cepat menerima
Islam.
Maulana Malik Ibrahim (Sunan
Gresik)Maulana Malik Ibrahim, keturunan ke-11 dari Husain bin Ali, juga disebut
sebagai Sunan Gresik, atau terkadang Syekh Maghribi dan Makdum Ibrahim
As-Samarqandy. Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand di Asia
Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy, berubah
menjadi Asmarakandi. Sebagian cerita
rakyat, ada pula yang menyebutnya dengan panggilan Kakek Bantal.Maulana Malik
Ibrahim adalah wali pertama yang membawakan Islam di tanah Jawa. Maulana Malik
Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia banyak merangkul
rakyat kebanyakan, yaitu golongan yang tersisihkan dalam masyarakat Jawa di
akhir kekuasaan Majapahit. Misinya ialah mencari tempat di hati masyarakat
sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Pada
tahun 1419, setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama
di Leran, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura
Wetan, Gresik, Jawa Timur.
b. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Sunan Ampel (Ngampel), berkedudukan
di Ampel Denta di Giri, dekat Surabaya; dan dikabarkan berasal dari Campa,
Vietnam (sama dengan ibunya Raden Patah). Nama aslinya adalah Raden Rahmat, putra Maulana
Malik Ibrahim dari Dewi Candrawulan. Raden Rahmat dikenal sebagai perencana
pertama kerajaan Islam di Jawa dan penerus cita-cita serta perjuangan ayahnya
dan mendirikan pesantren di Ampel Denta di Jawa Timur. Ia berhasil mendidik
para pemuda Islam untuk menjadi tenaga dai atau ahli kotbah (mubalig)
yang akan disebar ke seluruh Jawa. Di antara pemuda yang dididik adalah Raden
Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan Demak), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan
Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), serta Maulana Ishak yang pernah diutus
mengislamkan rakyat di daerah Blambangan.
Sunan Ampel cukup berpengaruh di kalangan
istana Majapahit, bahkan isterinya pun berasal dari kalangan istana. Ia
tercatat sebagai peletak dasar penyebaran politik Islam ke Nusantara. Ia juga
ikut andil dalam mendirikan Masjid Agung Demak tahun 1479 bersama wali-wali
yang lain. Pada awal islamisasi di Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar
masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju kebiasaan masyarakat
Jawa, seperti kenduri, selamatan, sesajen, dan sebagainya tetap hidup dalam
Islam.
Namun, wali-wali yang lain
berpendapat, untuk sementara kebiasaan tersebut dibiarkan saja karena
masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Akhirnya Sunan Ampel setuju.
Ia juga menyetujui ketika Sunan Kalijaga dalam usaha menarik penganut Hindu dan
Buddha, mengusulkan agar adat-istiadat Jawa diberi warna Islam. Namun Sunan
Ampel tetap khawatir adat-istiadat dan berbagai upacara ritual Islam kelak
menjadi bid’ah. Sunan Ampel wafat tahun 1481 dan dimakamkan di Surabaya.
c. Sunan Bonang
Nama aslinya Raden Maulana Makhdum Ibrahim. Arti makhdum adalah ulama
besar yang harus dihormati. Ia putra Sunan Ampel dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati. Sunan ini
berkedudukan di Bonang, dekat Tuban. Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta gending
untuk mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah
belajar Islam di Pasai (Aceh) ia kembali ke Tuban, Jawa Timur untuk mendirikan
pondok pesantren. Santri-santri yang belajar kepadanya datang dari berbagai
pelosok Nusantara. Dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri
dengan corak kebudayaan Jawa. Ia menggunakan pertunjukan wayang sebagai media
dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap
bait diselingi ucapan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat).
Kemudian dikenal dengan istilah sekatenan.
Gunungan nasi Lanang (pria) dan Gunungan Wadon (wanita)
yang biasa diarak pada saat acara sekatenan Maulud, merupakan warisan
Sunan Bonang dalam persebaran Islam melalui budaya
Dalam kegiatan dakwahnya Sunan
Bonang menjadikan pesantrennya sebagai basis pendidikan agama Islam secara
khusus dan mendalam. Catatan pendidikannya kemudian dibukukan dalam buku Suluk
Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang. Buku ini sekarang masih
tersimpan di Universitas Leiden Belanda. Sunan Bonang wafat tahun 1525
dimakamkan di Tuban.
d. Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Raden
Rahmat, berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu. Nama kecilnya Raden Kosim atau Syarifudin. Disebut juga dengan Sunan Sedayu karena dimakamkan
di daerah Sedayu. Menurut silsilah Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel dari
istri kedua bernama Dewi Candrawati. Dalam musyawarah para Wali diputuskan,
siapa yang mengganti Sunan Ampel untuk memimpin pesantren Ampel Denta. Dan
pilihan jatuh pada Sunan Drajat. Ia terkenal dengan kepandaiannya membuat
tembang Pangkur. Hal yang paling menonjol dalam dakwah adalah
perhatiannya terhadap masalah sosial. Ia mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan
berorientasi pada kegotong-royongan. Sunan Drajat wafat pertengahan abad ke-16
dimakamkan di Sedayu, Gresik.
e. Sunan Giri
Sunan Giri, murid Sunan Ampel,
berkedudukan di Giri, dekat Gresik. Nama kecilnya Raden Paku disebut juga Prabu
Satmata dan sering dijuluki Sultan
Abdul Fakih. Ia putra Maulana Ishak yang ditugasi Sunan Ampel
menyebarkan agama Islam di daerah Blambangan. Salah seorang saudaranya adalh Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Jati).
Pendidikannya adalah tamatan pesantren di Pasai (Aceh). Ketika beranjak dewasa,
Raden Paku belajar di Pesantren Ampel Denta. Berkenalan dengan Raden Maulana
Makhdum Ibrahim. Keduanya bersahabatan hingga menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Selama di pesantren Pasai, Raden
Paku menimba ilmu ketuhanan, keimanan, dan tasawuf. Tingkat terakhir adalah
ilmu laduni sehingga gurunya menganugerahi gelar Ain al-Yaqin dan masyarakat menyebutnya dengan Raden Ainul Yakin. Sunan Giri sangat
berpengaruh terhadap jalannya roda-roda Kesultanan Demak Bintoro. Setiap
keputusannya selalu disetujui oleh wali-wali lainnya. Sunan Giri wafat tahun
1600, dimakamkan di Bukti Giri, Gresik.
f. Sunan Muria
Nama kecilnya Raden Pratowo sedangkan nama aslinya Raden Umar Said. Ia lebih dikenal
dengan nama Sunan Muria karena kegiatan dakwahnya dilakukan di Gunung Muria (18
km sebelah Utara Kota Kudus). Sunan Muria dalam berdakwah memilih daerah
pelosok terutama desa terpencil. Sistem dakwah yang disampaikan dengan memberi
pendidikan singkat pada kaum pedagang, para nelayan, dan rakyat pedesaan. Cara
berdakwah selalu dengan menyisipkan tembang Sinom dan Kinanti yang
bernafaskan Islam. Sunan Muria wafat abad ke-16 dimakamkan di Bukit Muria,
Jepara.
g. Sunan Kalijaga
Nama aslinya Joko Said, anak Bupati Tuban Raden Tumenggung Wilwatikta. Ibunya bernama Dewi Nawang Rum, berkedudukan di
Kadilangu, dekat Demak; ia menyebarkan ajaran Islam melalui pendekatan budaya
dan sangat anti kekerasan; ia adalah menantu Sunan Gunung Jati. Nama kecilnya Raden Mas Syahid (said) dan sering
dijuluki Syekh Malaya. Nama
Kalijaga berasal dari Qadizaka (Arab), artinya pelaksana yang suci.
Berbeda dengan wali yang lainnya, Sunan Kalijaga dalam berdakwah selalu
berkeliling dari daerah satu ke daerah lainnya. Isi yang disampaikan sangat
intelektual dan nyata. Sehingga banyak masyarakat yang simpati terhadap Sunan
Kalijaga. Karena jasanya dalam berdakwah, Suna Kalijaga diberi hadiah oleh
Raden Fatah sebagai penguasa Kesultanan Demak Bintoro, berupa sebidang tanah di
sebelah tenggara Demak. Tanah tersebut merupakan desa perdikan (desa
yang dibebaskan pajak oleh sultan).
Jabatan yang diberikan kepadanya
adalah juru dakwah kerajaan. Sunan Kalijaga sangat berjasa dalam perkembangan
wayang purwa atau wayang kulit yang bercorak Islami seperti sekarang ini. Dia
mengarang aneka cerita wayang secara Islami, terutama berkaitan dengan etika
atau adab. Berdakwah melalui pertunjukkan wayang kulit inilah, masyarakat
banyak yang tertarik dan masuk Islam. Sunan Kalijaga wafat pada pertengahan
abad ke-15, dimakamkan di Kadilangu, Demak.
h. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jafar Sadiq dengan panggilan Raden Undung atau Raden Amir Haji karena jasanya
memimpin rombongan haji ke Mekah. Ayahnya bernama Raden Usman Haji yang menyiarkan Islam ke daerah Jipang, Panolan,
dan Blora. Menurut silsilah, Sunan Kudus masih keturunan Nabi Muhammad Saw. Ilmunya
cukup tinggi dan ahli dalam ilmu fiqih, tauhid, hadis, tafsir, serta mantiq
(logika atau filsafat). Karena itulah ia mendapat julukan sebagai Wali
al-‘ilmi (orang yang ilmunya luas).
Sunan Kudus sangat berambisi
menggulingkan Majapahit secara militer, ialah yang sangat menentang ajaran Syekh Siti Jenar yang cendering
mistik; memiliki murid kesayangan yang bernama Arya Penangsang dari Jipang; namun ia sangat membenci Sunan Prawoto dari Demak. Sunan Kudus
dikenal juga sebagai panglima perang Kesultanan Demak, Bintoro yang tangguh dan
dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia menjadi
pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut.
i. Sunan Gunung Jati
Nama lainnya adalah Syekh Nuruddin Ibrahim atau Syarif Hidayatullah, berasal dari
Pasai, Aceh, lalu berkedudukan di Gunung Jati, Banten dan kemudian Cirebon
untuk membentuk dinasti Islam di kedua tempat tersebut; ia menikahi saudara
perempuan Sultan Tranggana.
Menurut sumber lokal, nama kecilnya adalah Syarif Hidayatullah yang merupakan cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu
Siliwangi dengan Nyai Subang Larang,
lahir dua putra dan satu putri yaitu Raden
Walangsungsang, Nyai Lara Santang,
dan Raja Senggara. Setelah
ibunya wafat Raden Walangsungsang meninggalkan keraton untuk belajar Agama
Islam pada Syekh Datu Kahfi atau
Syekh Nurul Jati di Gunung
Ngamparan Jati. Dan adik perempuannya Nyai Lara Santang menyusul belajar agama
di tempat yang sama. Setelah tiga tahun menimba ilmu, keduanya menunaikan
ibadah haji. Di Mekah, Nyai Lara Santang mendapat jodoh yaitu Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah), bangsawan Arab dari
Bani Hasyim.
Walangsungsang setelah ibadah haji
kembali ke Jawa dan menjadi guru di Labuhan, Pasambangan, Cirebon. Sementara
itu Nyai Lara Santang melahirkan anak, diberi nama Syarif Hidayatullah. Setelah
dewasa Hidayatullah memilih berdakwah di Pulau Jawa. Ia kemudian bersilaturahim
kepada Walangsungsang yang bergelar Cakrabuana.
Setelah pamannya wafat, Hidayatullah melanjutkan perjuangan pamannya
menyebarkan Islam di Cirebon dan Cirebon menjadi Kesultanan Islam yang bebas
dari Pajajaran. Dari Cirebon ia kemudian menyiarkan agama Islam ke
daerah-daerah Jawa Barat yang belum memeluk agama Islam, seperti Majalengka,
Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Di Banten ia mendirikan
kerajaan tahun 1525. Ketika kembali ke Cirebon, Kesultanan Banten diserahkan
kepada putranya, Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja Banten.
Di tangan raja-raja Banten inilah
kerajaan Hindu Pajajaran dapat dikalahkan dan rakyatnya memeluk Islam. Bahkan,
Syarif Hidayatullah menggerakkan penyerangan ke Sunda Kelapa. Penyerangan itu
dipimpin Faletehan (Fatahillah), panglima angkatan perang Demak. Fatahillah
kemudian menjadi menantu Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah wafat tahun
1570 dimakamkan di daerah Gunung Jati, desa Astana, Cirebon. Maka ia dikenal
dengan sebutan Sunan Gunung Jati.
j. Para Wali Lainnya
Para wali memegang peranan yang
besar dalam penyebaran Islam di Jawa. Dengan kesabaran dan kearifan, agama
Islam disampaikan kepada masyarakat hingga diterima dan cepat berkembang di
Jawa. Di samping Wali Sanga, banyak wali lainnya ikut andil dalam pengembangan
Islam di Jawa, meski sebagian dibunuh dan tidak diakui oleh Wali Sanga,
seperti:
(1) Syekh Subakir;
(2) Sunan Bayat atau Tembayat;
(3) Sunan Geseng;
(4) Syekh Mojoagung;
(5) Syekh Siti Jenar;
(6) Maulana
Ishak dari Pasai, Aceh, mengislamkan rakyat Blambangan (Pasuruan
dan sekitarnya) di Jawa Timur bagian timur;
(7) Syekh
Jangkung;
pernah berniat mendirikan masjid tanpa izin dan oleh Sunan Kudus akan dihukum
mati namun diselamatkan oleh Sunan Kalijaga;
(8) Syekh
Maulana;
berasal dari Krasak-Malang, dekat Kalinyamat, murid Sunan Gunung Jati; karena
pernah mempermalukan dalam perdebatan tentang ilmu mistik ia dibunuh atas
perintah Sunan Kudus.
Dari Pulau Jawa, Islam lalu
berkembang ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Islamisasi ke Kalimantan
dilakukan oleh para ulama utusan Demak. Sedangkan Islam di Maluku, Ternate, dan
Tidore disebarkan oleh Sultan Ternate, Zainal
Abidin, setelah belajar ke Giri, Jawa Timur. Makassar diislamkan oleh
para mubalig dari Sumatera dan Malaka (Malaysia). Kemudian, orang Makassar
mengislamkan orang Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat antara tahun
1540-1550. Sementara itu, penduduk Flores di Nusa Tenggara Timur diislamkan
oleh orang Bugis.
Agama Islam masuk ke Nusantara
dengan jalur berlainan. Seperti di luar Jawa yakni Sulawesi, penyebar agama
Islam di Sulawesi bernama Dato’ri
Bandang. Di Kutai, Kalimantan Timur penyebar agama Islam adalah Dato Bandang dan Tuang Tunggang. Peran seorang penghulu
di Demak tidak kalah pentingnya dalam penyebaran agama Islam, melalui
pengajaran kepada Sultan Suryanullah.
Dan masih banyak lagi tokoh yang berperan syiar Islam ke seluruh Nusantara.
Golongan penerima Islam juga
melakukan tindakan yang sama, yakni menyebar ajarannya pada masyarakat
sekitarnya. Bahkan jika ia seorang bangsawan atau pejabat keraton akan lebih
memperlancar jalannya penyebaran tersebut. Berdirinya tempat peribadatan
seperti langgar, masjid, majelis taklim, dan sebagainya digunakan juga sebagai
syiar agama Islam.
Masjid di Lombok yang terbuat dari
dedaunan kering dan kayu; mungkin beginilah bentuk masjid di Indonesia pada
awal islamisasi
Seni juga menjadi salah satu saluran
proses islamisasi di Nusantara. Cabang-cabang seni yang lebih mudah penyentuh
hati masyarakat sekitar adalah seni bangun, seni pahat, seni ukir, seni
qasidah, dan sebagainya. Bukti-bukti perkembangannya adalah bangunan Masjid
Agung, Demak, Cirebon, Bantem, Banda Aceh yang kemudian menjadi pusat kegiatan
syiar Islam ke daerahnya. Di Keraton Cirebon juga kita temukan seni ukir yang
bercorak Islami yaitu ukiran lafal ayat-ayat Al Qur’an.
Selain melalui perkawinan, jalur
kesenian digunakan oleh para wali dalam proses islamisasi. Pertunjukan wayang
merupakan salah satu sarana kesenian yang digunakan. Tokoh Wali Sanga yang mahir mementaskan
wayang adalah Sunan Kalijaga. Kisah yang dipentaskan dikutip dari kakawin Mahabharata
atau Ramayana peninggalan masa Hindu-Buddha yang kemudian disisipi
nilai-nilai Islam. Selesai pertunjukan, sang dalang tidak meminta upah
melainkan mengajak penonton untuk mengucapkan kalimat syahadat.
Tidak ketinggalan, jalur pendidikan
pun ditempuh dalam islamisasi ini. Para ulama mendirikan pondok-pondok
pesantren (pesantrian) yang terbuka bagi siapa pun untuk belajar menjadi
santri. Setelah selesai belajar di pesantren, mereka kembali ke daerah asal dan
berdakwah mengajarkan Islam atau disuruh guru mereka menyiarkan Islam di daerah
lain.
Tak jarang, orang-orang jebolan pesantren ini
tinggal di rumah-rumah para pedagang. Bahkan, seringkali dari mereka yang
menjadi pengurus harta (bendahara) kaum pedagang sekaligus memimpin usaha
dagang tuan rumah mereka. Kaum ulama yang mendirikan pesantren antara lain:
Raden Rahmat di Ampel, dekat Surabaya dan Raden Paku di Giri. Beberapa lulusan
Sunan Giri diundang ke Maluku untuk mengajarkan Islam di sana.
E.
Kerajaan-Kerajaan Islam Dijawa
1. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam terbesar di pantai utara Jawa
("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak
sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor
penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kerajaan Demak tidak
berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan
kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah
Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan
oleh Walisongo. Lokasi ibukota Kerajaan Demak,
yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara
(dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Periode ketika beribukota di sana
kadang-kadang dikenal sebagai "Demak Bintara". Pada masa raja ke-4
ibukota dipindahkan ke "Prawata" (dibaca "Prawoto").
v Cikal-bakal
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara
praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah
yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling
mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.
Demak didirikan di perapat terakhir abad ke-15, kemungkinan
besar oleh seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Kemungkinan besar puteranya adalah
orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate
Rodim",
mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan
meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun
1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, raja
Yunus dari Jepara.
Tradisi Jawa menceritakan bahwa pada masa itu, arus
kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat
dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.
v Di bawah Pati Unus
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan
Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak
merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di Malaka, kehancuran
pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.
v Di bawah Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah
Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527),
Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung
timur pulau Jawa (1527, 1546).
Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran
menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan
Prawoto.
v Kemunduran
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia
ditentang oleh adik Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya
terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya
"dihabisi" oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen.
Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang
juga membunuh Pangeran Hadiri adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak
adipati memusuhi Arya Penangsang.
Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan
oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat
pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.
2.
Kerajaan Banten
Kerajaan Banten berawal ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah
barat. Pada tahun 1526, pasukan Demak, dibantu Sunan Gunung Jati dan puteranya, Hasanuddin, menduduki pelabuhan Sunda, yang saat itu merupakan salah satu
pelabuhan dari kerajaan Pajajaran, dan kota Banten Girang. Pasukan Demak mendirikan kerajaan
Banten yang tunduk pada Demak, dengan Hasanuddin sebagai raja pertama. Menurut
sumber Portugis, saat itu Banten merupakan salah satu pelabuhan kerajaan Pajajaran di samping Pontang, Cigede, Tamgara
(Tangerang), Kalapa (kini Jakarta) dan Cimanuk.
v
Sejarah
Tahun 932, kerajaan Sunda didirikan di bawah naungan Sriwijaya, di kawasan Banten, dengan ibukota
di Banten Girang. Kerajaan ini berakhir tahun 1030, dengan mungkin Maharaja
Jayabupati sebagai raja terakhirnya, yang memindahkan pusat kerajaan
ke pedalaman, di Cicatih dekat Cibadak.
Setelah itu Sunda diperkirakan jatuh di bawah kekuasaan langsung
Sriwijaya. Di abad ke-12, lada menjadi bahan ekspor yang berarti
bagi Sunda.Dalam bukunya, Zhufan
Zhi
(1225), Zhao Rugua menyebut "Sin-t'o"
sebagai bawahan Sriwijaya tapi menulis bahwa "tidak ada lagi pemerintahan
yang teratur di negara itu. Penduduk menjadi perampok. Mengetahui ini, saudagar
asing jarang ke sana." Pernyataan ini menunjukkan pelemahan kekuasaan
Sriwijaya, yang sendirinya juga menjadi sarang perompak. Menurut Nagarakertagama, setelah raja Kertanegara menyerang kerajaan Malayu tahun 1275, Sunda jatuh di bawah pengaruh
Jawa. Namun berkat lada, ekonomi Sunda berkembang pesat di abad ke-13 dan
ke-14.
Menurut Carita Parahyangan, Banten Girang ("Wahanten
Girang") diserang Pajajaran, negara pedalaman yang juga
beragama Hindu-Buddha. Peristiwa ini diperkirakan terjadi di sekitar tahun
1400. Sunda tunduk pada Pajajaran, yang lebih mementingkan pelabuhannya yang
lain, Kalapa (kini Jakarta) dan mungkin satu lagi di muara Citarum. Mungkin itu sebabnya Tomé Pires menulis bahwa pelabuhan yang paling
besar di Jawa Barat adalah Kalapa. Namun di sekitar tahun 1500, perdagangan
internasional bertambah pesat untuk lada dan membuat Sunda lebih kaya lagi.
Jatuhnya Melaka di tangan Portugis tahun 1511 berakibatkan perdagangan terpecah
belah di sejumlah pelabuhan di bagian barat Nusantara dan membawa keuntungan
tambahan ke Sunda. Ada kemungkinan rajanya masih beragama Hindu-Buddha dan
masih tunduk pada Pajajaran. Namun berkurangnya kekuasaan Pajajaran memberi
Sunda kesempatan dan peluang yang lebih luas. Raja Sunda, yang diancam kerajaan Demak yang Muslim, menolak untuk masuk
Islam.
Dia ingin bersekutu dengan Portugis untuk melawan
Demak. Tahun 1522 Banten dan Portugis menandatangani
suatu perjanjian untuk membuka suatu pos di sebelah timur Sunda untuk menjaga
perbatasan terhadap kekuatan Muslim.
Tahun 1523-1524, Sunan Gunung Jati meninggalkan Demak dengan memimpin
suatu bala tentara. Tujuannya adalah mendirikan suatu pangkalan militer dan
perdagangan di bagian barat pulau Jawa. Sunda ditaklukkannya dan rajanya
diusir. Saat Portugis balik ke Sunda tahun 1527 untuk menerapkan perjanjian dengan
Sunda, Gunungjati menolaknya. Sementara Kalapa juga direbut pasukan Muslim dan
diberi nama baru, "Jayakarta" atau "Surakarta"
("perbuatan yang gemilang" dalam bahasa Sangskerta).
Banten kemudian diperintah oleh Gunung Jati sebagai bawahan
Demak. Namun keturunannya akan membebaskan diri dari Demak. Tahun 1552, Gunung Jati pindah ke Cirebon, di mana dia mendirikan kerajaan
baru.Jatidiri dan kegiatan Gunung Jati lebih banyak diceritakan dalam naskah
yang sifat kesejarahannya kurang pasti sehingga terdapat banyak ketidakpastian.
Boleh jadi kegiatan militer yang dikatakan dilakukan oleh dia, sebetulnya
adalah perbuatan orang lain yang oleh Portugis dipanggil "Tagaril"
dan "Falatehan" (yang mungkin maksudnya
"Fadhillah Khan" atau "Fatahillah") dan yang dalam sejumlah
cerita disamakan dengan Sunan Gunung Jati. Purwaka Caruban Nagari, suatu babad yang dikatakan ditulis tahun 1720, membedakan Gunung Jati dari
Fadhillah.
Raja Banten kedua, Hasanuddin (bertahta 1552-1570), memperluas
kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung, yang hubungannya dengan Jawa Barat
sebetulnya sudah lama. Menurut tradisi, Hasanuddin adalah anak Gunung Jati. Dia
menikah dengan seorang putri dari raja Demak Trenggana dan melahirkan dua orang anak.Raja
ketiga, Maulana
Yusuf
(bertahta 1552-1570), menaklukkan Pajajaran di tahun 1579). Menurut tradisi, Maulana Yusuf
adalah anak yang pertama Hasanuddin. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak
dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat
(1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kesultanan Banten daripada anak
Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu
muda. Akhirnya Kerajaan
Jepara
menyerang Kesultanan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Banten karena dibantu
oleh para ulama.Tahun 1638 Pangeran Ratu (bertahta 1596-1651) menjadi raja
pertama di pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" dengan nama Arab
"Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir".
v
Puncak Kejayaan
Masa Sultan Ageng
Tirtayasa
(bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia,
Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa.
Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara.Dibantu orang Inggris, Denmark
dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Tiongkok dan
Jepang.
Sultan Ageng juga memikirkan pengembangan pertanian. Antara
1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan. Antara 30 dan 40 km kanal
baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang
kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar
perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut,
termasuk orang Bugis dan Makassar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar
Cina di tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, penduduk kota Banten
meningkat dari 150 000 menjadi 200 000.
v Sultan Masa Kekuasaan Haji
Pada zaman pemerintahan Sultan Haji,
tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan
Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten.
Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682
yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
v
Penghapusan Kesultanan
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.
Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun tahta
oleh Thomas Stamford
Raffles.
Tragedi ini menjadi titik puncak dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William
Daendels
tahun 1808.
Daftar raja Banten
- Sunan Gunung
Jati
- Hasanuddin 1552 - 1570
- Maulana Yusuf 1570 - 1580
- Maulana Muhammad 1585 - 1590
- Sultan Abulmufakhir Mahmud Abdulkadir 1596 - 1647 (dianugerahi gelar "Sultan"pada tahun 1048 H (1638)
oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.[3])
- Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
- Sultan Ageng
Tirtayasa 1651-1680
- Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
- Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
- Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
- Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
- Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
- Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
- Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
-
Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
- Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
- Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
- Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
- Aliyuddin II (1803-1808)
- Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
- Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
- Muhammad Rafiuddin (1813-1820)
3.
Kerajaan Mataram
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad
ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu
cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu
Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi
Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas
jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari
Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan
tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di
Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya
malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan
relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat
dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta
beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
v
Masa awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut
wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di
sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di
timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto
sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan
di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar
Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena
beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan
Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja
(yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan
putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro
menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang
yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas
Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.
v Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung
Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi
untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura
(kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi
kraton ke Karta (Jw. "kertå", maka muncul
sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat terjadi gesekan dalam
penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa
peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang
bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
v Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta.
Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan"
(dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan
Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada
masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu
dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga
dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral),
sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan
pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat
Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III
(1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II
(1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga
VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki
dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak
dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa
Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan
Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang
dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah).
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik
dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari
Kesultanan Mataram.
v
Peristiwa Penting
- 1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun
istananya di Pasargede atau Kotagede.
- 1584 - Ki Ageng Pemanahan
meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan
sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring
Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
- 1587 - Pasukan Kesultanan
Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang
badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya
selamat.
- 1588 - Mataram menjadi kerajaan
dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati
Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
- 1601 - Panembahan
Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan
Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing
Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
·
1613 - Mas Jolang wafat, kemudian
digantikan oleh putranya Pangeran Aryo
Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan
adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma".
Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan
Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar
bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
- 1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya
Susuhunan Amangkurat I.
- 1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan
dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
- 1677 - Trunajaya merangsek menuju
Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik
menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang
diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar
Susuhunan Ing Ngalaga
- 1680 - Susuhunan Amangkurat II
memindahkan ibukota ke Kartasura.
- 1681 - Pangeran Puger diturunkan
dari tahta Plered.
- 1703 - Susuhunan Amangkurat III
wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
- 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan
sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk
pemerintahan pengasingan.
- 1708 - Susuhunan Amangkurat III
ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
- 1719 - Susuhunan Paku Buwono I
meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat
IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta
Jawa Kedua (1719-1723).
- 1726 - Susuhunan Amangkurat IV
meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono
II.
- 1742 - Ibukota Kartasura dikuasai
pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
- 1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota
Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh
lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram
kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram
dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
- 1745 - Susuhunan Paku Buwana II
membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
- 1746 - Susuhunan Paku Buwana II
secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana
menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus
Perang Tahta
Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram
menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
- 1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II
menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de
facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi
diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan
Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
- 1752 - Mangkubumi berhasil
menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura
Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
- 1754 - Nicolas Hartingh menyerukan
gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman
Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota
kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain
meratifikasi nota yang sama.
- 1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi,
ditandai dengan Perjanjian
Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan
Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran
Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan
Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan
Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama
Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I.
- 1757 - Perpecahan kembali melanda
Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja
Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar
"Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing
Ayudha".
- 1788 - Susuhunan Paku Buwono III
mangkat.
- 1792 - Sultan Hamengku Buwono I
wafat.
- 1795 - KGPAA Mangku Nagara I
meninggal.
- 1799 - Voc dibubarkan.
- 1813 - Perpecahan kembali melanda
Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah
kepangeranan, Kadipaten Paku
Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
- 1830 - Akhir perang Diponegoro.
Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan
tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara
permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih
Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de
facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
4.
Kerajaan Pajang
Setelah memindahkan ke Pajang, mulailah kerajaan Pajang
berdiri dengan Jaka Tingkir sebagaif sultannya. Ia bergelar Adiwijaya.
Kesultanan ini berada di Kertasura sekarang dan penaklukan ke daerah-daerah
sekitar. Ia meluruskan pengaryhnya ke Banyumas dan Madiun.
Sultan Pajang wafat pada 1587 dan fdigantikan oleh
putranya Pangeran Benawa. Usia kesultanan ini tidak panjang karena kemudian
kekuasaannya diambil alih oleh kerajaan Mataram.
Pada tahun 1618 Kerajaan Pajang memberontak terhadap
Mataram yang ketika itu berada di bawah pimpinan Sultan Agung. Pajang
dihancurkan, rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya. Riwayat keajaan
pajang berakhir tahun 1618.
5.
Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah Kerajaan Islam pertama di Jawa
Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Gunung Jati. Pada mulanya Cirebon
merupakan daerah kekuasaan pakuan Pajajaran. Akan tetapi, Syarif Hidayat yang
dikenal dengan Sunan Gunung Jati, berhasil meningkatkan status Cirebon sebagai
daerah kerajaan.
Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M, dan wafat pada
tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati
mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majlengk,
Kuningan, Kawalih,Sunda Kelapa, dan Banten. Dasar pengembangan Islam dan
perdagangan kaum muslimin di Banten diletakkan oleh Sunan Gunung Jati tahun1524
atau 1525. ketika ia kembali ke Cirebon Banten diserahkan kepada anaknya
Hasanuddin. Keturunan sultan inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Banten.
F.
Bukti Peninggalan Islam diJawa
a) Masjid
Adalah tempat umat islam melakukan
sujud atau shalat. Masjid berbentuk bujur sangkar dan serambi
didepanya. Masjid juga terdapat mihrab atau tempat imam memimpin shalat
. Di sebelah kanan mihrab terdapat mimbar Tempat khatib memberikan
khotbah. Masjid di Indonesia menghadap kearah timur karena arah
kiblatnya adalah barat.
Contoh
Masjid Peninggalan didaerah jawa :
-
Masjid Demak
-
Masjid Sendang Duwur di Surabaya
-
Masjid agung kesepuhan di Cirebon
-
Masjid Kudus d
-
Masjid sunan Ngampel
-
Masjid Sumenep dll.
b) Keraton
Adalah tempat tinggal raja bersama
dengan keluarganya.
Contoh
Kraton peninggalan didaerah jawa :
-
Keraton Kesepuhan
-
Keraton Kanaman di Cirebon
-
Kraton Yogyakarta
-
Kraton Surakarta
-
Kraton Mangkunegara
c) Nisan
Adalah bangunan yang terbuat dari
batu yang berdiri diatas makam. Berfungsi sebagai tanda adanya suatu makam
seseorang yang telah meninggal, dan tertera taggal,bulan, serta tahun lahir dan
wafat.
Contoh
Nisan di daerah jawa :
-
Batu nisan makam sunan Gunung Jati
-
Batu nisan makam sunan ampel di Surabaya
-
Batu nisan makam sunan Drajad di Lamongan
-
Batu nisan makam sunan Bonang di Tuban
-
Batu nisan makam sunan Tembayat di klaten
-
Batu nisan makam Sendangduwor di tuban
-
Batu nisan makam Imogiri di Jogjakarta
d) Kaligrafi
Adalah seni menulis indah dari
komposisi huruf arab. Biasanya terdapat pada dindig masjid Terutama pada
Mihrab. Ukiran tersebut disusun dalam ukuran tertentu ada yang berbentuk
binatang maupun bentuk yang lainya.
Contoh
kaligrafi di jawa :
-
Kaligrafi Dewa Genecha di
Cirebon
e) Kesusatraan
a.
Seni sastra
pada umumnya berkembag dipulau jawa
yang berisikan ajaran khusus tasawuf, Filsafat, Kemasyarakatan dan tuntunan
budi pekerti.
Contoh
peninggalan tasawuf :
1.
Suluk berisi ajaran tasawur : Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, Suluk Malang samurai
2.
Syair misalnya : Syair Perahu
3.
Hikayat : Hikayat Panji Inu Kerapati, DAN Hikayat Bayan Budiman.
4.
Babah : Badah Gianti dan Badah Tanah Jawi
5.
Kitab ajaran Budi Pekerti : Nitisurti, Nisastra, dan Astabrata
6.
Kitab Politik tetap pemerintahan : Sastra Genting dan Adat makuta alam
7.
Tradisi dan Upacara : Sekaten atau Grebek Maulud.
f) Seni Pertunjukan
Contohnya adalah :
-
Perayaan Garebek Besar dan Garebek Maulud
-
Seni Wayang :Sunan kalijaga yang berdakwah menggunakan wayang
-
Seni Tari : Debus dari Banten
-
Seni Musik :kebanyakan menggunakan gamelan seperti Sunan Bonang, Sunan
Drajad,dan Sunan Kalijaga.
G. Pengaruh Islam Mudah Berkembang Berkembang Di
Masyarakat
Pada masa awal masuknya Islam banyak daerah pesisir
dipimpin oleh Raja, Tumenggung, Panglima kerajaan dan para bangsawan. Dari
kebanyakan para pimpinan tersebut memeluk agama Islam oleh karena pemimpinnya
masuk Islam maka rakyatnyapun kemudian memeluk agama Islam, apalagi dalam Islam
tidak mengenal budaya kasta ditambah lagi dengan sikap toleran yang tinggi dari
para mubaligh. Melalui cara – cara sesuai dengan budaya masyarakat, para
mubaligh memperkenalkan Islam .
a. Islam adalah agama yang demokratis (tidak
mengenal kasta).
b. Islam
mudah dipelajari
c. Islam
disebarkan dengan cara damai
d. Islam disebarkan dengan cara damai.
e. Nabi Muhammad sebagai panutan Islam adalah
merupakan manusia sempurna.
f. Ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia.
g. Islam adalah agama untuk semua orang.
h. Islam adalah sebagai agama pembawa rahmat.
i.
Konsep keutuhan dalam Islam yang benar – benar
sempurna.
H.
Faktor
Yang Menyebabkan Islam Masuk Ke Pulau Jawa
Pulau Jawa
merupakan pulau yang paling padat populasi penduduknya dibandingkan dengan
pulau lainnya yang ada di kepulauan Indonesia. Di samping itu, pulau Jawa
sangat strategis letaknya sebagai jalur lintas antar-pulau dan perdagangan di
Nusantara. Maka tidak mengherankan jika pada abad ke-14, telah berdiri kerajaan-kerajaan yang dibawa orang-orang India yang menandai
perkembangan awal sejarah kerajaan islam di Jawa. Disamping itu, pulau Jawa
memiliki kesuburan tanah yang sangat baik bagi pengembangan pertanian. Tanahnya
yang subur juga mempengaruhi suburnya gerakan-gerakan pemikiran.
Meskipun agama
Hindu telah memberi kontribusi yang banyak terhadap perkembangan masyarakat
Indonesia, ditambah dengan inkulturasi budaya Islam dan Indo-Eropa, telah
menghasilkan suatu "affinities and extreme" bagi perkembangan
Indonesia modern kelak, namun Islamlah yang paling dinamis memberikan bentuk
bulat-lonjongnya sejarah Indonesia hingga kini. Bulat-lonjongnya Indonesia
terutama sangat dipengaruhi gerak dinamika kehidupan orang-orang di Jawa.
Dengan gemah-ripah-nya pulau Jawa
membangkitkan semangat para pra pedagang untuk menjadikan Indonesia khususnya
pulau Jawa sebagai garden tedepan untuk menyokong perekonomiannya dan juga
perkembangan islam. Para pedagang Persia dan gujarat datang ke Jawa dengan
maksud hendak menguasai perdagangan yang menguntungkan dari daerah ini dan juga
untuk memperluas wilayah penyebaran agama islam yang mana menjadi tujuan
mereka.
Kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa
Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak
dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara
dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya
pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan
dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab
yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya
adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini
bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan
rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia
Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya,
selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang
penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum
kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan
Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang
kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum
kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat
dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan
pribumi.
Semenjak awal
datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur
ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka
mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama
seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap
kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama
dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu
contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai
Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda
Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud
Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir
utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran
besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab
Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya,
Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni
Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut
mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani
I.
Bentuk-Bentuk Pengaruh Agama dan Kebudayaan
Islam di Indonesia
Adapun bentuk-bentuk pengaruh agama dan kebudayaan Islam
diantaranya sebagai berikut:
1.
Berdirinya masjid-masjid peninggalan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Masjid
Agung Demak dan Masjid Agung Banten.
2.
Tumbuh dan berkembangnya seni Kaligrafi, seperti pada penemuan makam-makam
raja-raja dengan nisan yang bertuliskan kaligrafi, bangunan masjid yang dihiasi
kaligrafi, sebagai hiasan dinding rumah, dan lain sebagainya.
3.
Berdirinya keraton-keraton Islam di pulau Jawa, seperti Keraton Yogyakarta, dan
lain sebagainya.
4.
Tumbuh dan berkembangnya aliran Sufisme di Indonesia, seperi aliran Syaikh
Abdul Qhadir Jaelani di cirebon, dan lainnya.
5.
Munculnya kaum Ulama yang mendapat tempet tinggi di masyarakat, seperti
munculnya para wali yang sembilan (wali songo).
6.
Terjadinya perkembangan perekonomian dan pemerintahan akibat persamaan
derajat yang dikembangkan oleh tradisi Islam. Serta berbagai macam
pengaruh kebudayaan Islam lainnya.
7.
Berdiri dan berkembangnya pesantren-pesantren yang terdiri dari para kyai dan
santri.
.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kapan tepatnya Islam masuk ke Pulau Jawa tidak dapat diketahui
dengan pasti. Namun, penemuan nisan makam Siti Fatimah binti Maimun di desa
Leran Kecamatan manyar, dengan jarak sekitar 5 Km kearah jalur Pantura dari
kota Gresik yang wafat tahun 1101 M dapatlah dijadikan petunjuk awal masuknya Islam
di Pulau Jawa.
Islam masuk pertama kali dipulau Jawa adalah dikota Gresik Surabaya.
Pembawa dan penyebarnya adalah seorang Waliullah yang bernama Maulana Malik Ibrahim
yang terkenal dengan sebutan Sunan Gresik
- Perdagangan
- Pernikahan
- Pendidikan (pesantren)Pesantren merupakan lembaga pendidikan yg asli dari
akar budaya Indonesia, & juga adopsi & adaptasi khasanah
kebudayaan pra Islam yg tdk keluar dari nilai-nilai Islam yg dpt
dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat menghargai
budaya setempat selama tdk bertentangan dgn nilai- nilai Islam.
- Seni & budaya
- Tasawuf.
Penyiar agama islam di Jawa adalah
para Wali Songo para Wali lainnya:
a.Sunan
Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, b.Sunan Ampel atau Raden Rahmat, c.Sunan
Bonang, d.Sunan Drajat, e.Sunan Giri, f.Sunan Muria, g.Sunan Kalijaga, h.Sunan
Kudus, i.Sunan Gunung Jati
Kerajaan –kerajaan Islam di Jawa: demak, banten, cirebo, mataram,
pajajaran, dan kerajaan –kerajaan kecil lainnya.
Bukti peninggalan kerajaan Islam di Jawa: masjid contohnya masjid
demak, alun-alun, keratin, nisan kaligrafi, kesenian, kesusastraan, seni
pertunjukan wayang.
DAFTAR PUSTAKA
Maftuh Ahman, Wali Songo Hidup dan Perjuagnannya (Surabaya:
Anugrah, 1414 H). h. 69.
Ririn
Sofyan, Islamisasi di Jawa (Semarang : Pustaka Pelajar, 1999), h. 11
Nugroho
Notosusanto dan Yusmar Basri, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta :Dep.
Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), h. 24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar