BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Komunitas
Adat Terpencil dapat dipahami sebagai komunitas manusia yang menghadapi
berbagai keterbatasan untuk dapat menjalani kehidupan sebagaimana masyarakat
pada umumnya. Mereka mendiami daerah-daerah yang secara geografis relatif sulit
dijangkau, seperti: pegunungan, hutan, lembah, muara sungai, pantai dan
pulau-pulau kecil. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat terbatas, baik dalam
pemenuhan kebutuhan sosial dasar, sosial-psikologis dan pengembangan. Sebagian
dari mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, hidup berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain atau nomaden. Mereka menjalani kehidupan dengan
cara-cara yang sangat sederhana, dan jenis kegiatan ekonomi yang ditekuninya
seperti pertanian, nelayan, berburu dan berburu. Mereka
mengalami keterbatasan untuk dapat mengakses pelayanan sosial, ekonomi dan
politik (Dit PKAT, 2003).
Sebagai respon atas kondisi kehidupan
KAT tersebut, Departemen Sosial RI telah menyelenggarakan program pemberdayaan
terhadap mereka yang dimulai sejak tahun 1972, dimana pada saat itu digunakan
istilah masyarakat terasing. Meskipun demikian sampai dengan tahun 2006 populasi
KAT masih cukup besar, yaitu 267.550 KK
atau sekitar 1,1 juta jiwa. Dari jumlah tersebut yang belum diberdayakan masih
banyak, yaitu 193.185 KK atau 72 persen, sudah diberdayakan mencapai 61.188 KK
atau 23 persen dan yang sedang diberdayakan mencapai 13.177 KK atau 5 persen. Meskipun
program pemberdayaan telah dilakukan, namun capaian tujuan program belum secara
optimal menyentuh persoalan pokok kehidupan anggota KAT. Mereka memang telah berdaya
secara sosial-ekonomi, namun masih belum berdaya secara politis dan hukum.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi ILO
No. 169 tahun 1989 pada artikel ke dua (2) disebutkan, bahwa negara sudah
seharusnya bertanggungjawab untuk memberi perlindungan hak azasi dan kesempatan
yang sama melalui peraturan hukum baik di tingkat nasional maupun daerah, serta
regulasi-regulasi kebijakan lainnya. Pemerintah Indonesia telah merespon
Konvensi tersebut dengan diundangkannya Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun
1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI tersebut, Departemen Sosial sebagai
instansi sektoral yang bertanggung jawab terhadap kondisi kehidupan KAT,
mengeluarkan berbagai keputusan dan peraturan yang di dalamnya secara
substansial mengatur pelaksanaan pemberdayaan KAT. Namun demikian dalam
implementasinya belum secara optimal memberdayakan KAT, termasuk dalam hal pemberian
hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum.
Berdasarkan hasil penelitian UNDP
tahun 2006 tentang Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia yang
dilakukan di 10 provinsi, ditemukan beberapa informasi berikut:
1.
Adanya ketidaktahuan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah
melalui instansi dan dinas yang mengurusi masyarakat adat terhadap produk hukum
daerah mengenai masyarakat adat yang sedang berlaku di daerahnya.
2.
Hampir semua dinas yang mengurusi bidang kesejahteraan
sosial bagi KAT yang didatangi mengaku tidak mengetahui produk hukum daerah
mengenai adat-istiadat, lembaga adat dan hak ulayat yang tengah berlaku di daerahnya.
3.
Menunjukkan bahwa produk hukum daerah tersebut tidak pernah
digunakan oleh dinas dan instansi daerah untuk mendesak tersedianya dana bagi
pemberdayaan KAT.
Dewasa ini keberadaan KAT
tidak hanya menjadi persoalan nasional, akan tetapi sudah menjadi persoalan
global. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1995 telah mengeluarkan Declaration on the Rights of Indigenous
Peoples sebagai landasan moral bagi setiap negara dalam rangka memberikan
pelayanan dan perlindungan terhadap KAT.
Dalam deklarasi tersebut diatur secara rinci ke dalam 45 pasal, yang
sebagian besar mengatur hak-hak KAT sebagai komunitas manusia maupun sebagai
bagian dari warga negara. Deklarasi PBB tersebut semakin memperkuat tuntutan
terhadap negara, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional, untuk
memberikan pelayanan dan perlindungan bagi KAT.
Dalam rangka merespon berbagai tuntutan
terhadap pelayanan dan perlindungan KAT di Indonesia, maka sangat diperlukan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi lagi dari Keputusan Presiden RI,
yaitu berupa Undang-Undang (UU KAT). Undang-undang ini akan menjadi payung
hukum secara nasional yang akan menjadi acuan dasar bagi pemerintah maupun
masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap
KAT. Selain itu, adanya Undang-Undang
KAT ini memperlihatkan kesungguhan negara Indonesia di mata dunia internasional
dalam upaya memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap KAT, sebagaimana di
negara-negara di dunia. Dengan demikian, adanya Undang-Undang KAT ini ke dalam
negeri sebagai dasar hukum pengakuan dan tanggung jawab negara terhadap KAT;
dan ke dunia internasional sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap isu-isu
global dan menjadi komitmen di dalam Development
Mellineum Goals (MDC’s) yanga antara lain kemiskinan, ketelantaran dan
keterbelakangan.
Dalam kerangka itu, maka Direktorat
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil – Departemen Sosial RI melaksanakan
kegiatan : INVENTARISASI PERATURAN DAERAH TENTANG
MASYARAKAT HUKUM ADAT. Ada tiga aspek yang menjadi perhatian dalam kegiatan ini,
yaitu (1) bentuk kongkrit pengakuan
hukum terhadap KAT dalam bentuk tertulis
(Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman, Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat, (2). bagaimana implementasi pengakuan hukum
terhadap KAT tersebut di lapangan dan (3).
kendala apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT
B.
PERMASALAHAN
Pengakuan hukum terhadap keberadaan dan perlindungan bagi
KAT belum tergambar secara jelas, untuk itu diperlukan penelusuran guna mencari
tahu tentang:
“ PENGATURAN-PENGATURAN
HUKUM DILIHAT DARI ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG BERLAKU DALAM MASYARAKAT SEBAGAI BAHAN
PENYUSUNAN RUU KAT/MASYARAKAT HUKUM ADAT/ MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA”
Berdasarkan permasalahan tersebut
diajukan beberapa pertanyaan berikut :
1. Bagaimana
bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk tertulis (Peraturan,
Perundangan, Perda, Pedoman, Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di
masyarakat
?)
2. Bagaimana
implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut, di lapangan?
3. Kendala
apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT
4. Bagaimana
harapan pemangku kepentingan (stakeholder)
akan realisasi dari pengakuan hukum tersebut?
5. Bagaimana kerangka konsep yang
holistik sebagai acuan penyusunan RUU KAT ?
C.
TUJUAN DAN MANFAAT
Inventarisasi data dalam rangka
pengembangan hukum terhadap KAT bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi
bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk tertulis (Peraturan,
Perundangan, Perda, Pedoman, Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di
masyarakat
2. Diketahuinya
implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut, di lapangan
3. Mengidentifikasi
kendala yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT
4. Mengidentifikasi
harapan pemangku kepentingan (stakeholder)
akan realisasi dari pengakuan hukum tersebut
Hasil inventarisasi data tentang
pengakuan hukum terhadap KAT ini digunakan sebagai bahan penyusunan kerangka
konsep yang holistik untuk acuan penyusunan RUU KAT di Indonesia.
D.
METODE YANG DIGUNAKAN
1. Metode
Inventarisasi data ini merupakan penelitian eksploratif. Studi eksploratori dilaksanakan untuk mengungkapkan suatu
fenomena atau masalah dimana pengetahuan yang jelas atau gagasan-gagasan yang
dapat digunakan sukar didapat. Menurut Suhartono (1995), studi eksploratori
tekanan utamanya untuk menemukan ide (gagasan) atau pandangan. Pada akhir studi
penjajagan, diharapkan dapat merumuskan masalah studi dengan lebih tepat, atau
hipotesis penelitian untuk diuji dalam penelitian lebih lanjut.
Pengumpul data akan membaca dan
menganalisis terhadap bahan primer maupun sekunder yang ditemukan selama
kegiatan berlangsung, Bahan-bahan
tersebut berupa pengakuan hukum terhadap KAT, baik secara tertulis maupun tidak
tertulis.
2. Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Studi
Pustaka
Serangkaian kegiatan penelusuran
bukti-bukti tertulis yang relevan dengan tujuan.
b.
Wawancara
Mendalam
Serangkaian kegiatan melakukan tatap
muka dan komunikasi dengan informan yang terkait pengakuan hukum terhadap KAT.
3. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah :
a.
Di
tingkat Provinsi meliputi :
1).
Biro
Hukum dan Perundang-Undangan Provinsi
2).
Sekretariat
Dewan tingkat I
3).
Bappeda
Provinsi
4).
Ketua Lembaga Adat Provinsi
5).
Lembaga
Penelitian Perguruan Tinggi
6).
LSM/NGO
yang peduli KAT/Masy. Adat/ Masy. Hukum Adat
7).
Instansi-Instansi
terkait ( Sosial, Agama, Pariwisata, pendidikan, kehutanan, BPN, dll).
b.
Di
tingkat Kabupaten meliputi :
1).
Biro
Hukum dan Perundang-Undangan Kab.
2).
Sekretariat
Dewan tingkat II
3).
Bappeda
Kab.
4). Ketua
Lembaga Adat Kab.
5).
Lembaga
Penelitian Perguruan Tinggi
6).
LSM/NGO
yang peduli KAT/Masy. Adat/ Masy. Hukum Adat
7). Instansi-Instansi terkait ( Sosial,
Agama, Pariwisata, pendidikan, kehutanan, BPN, dll).
4.
Lokasi Kajian
Kajian dalam rangka inventarisasi Peraturan
Daerah (Perda) dan Hukum Adat ini
dilakukan di beberapa provinsi di Indonesia, yaitu:
a.
NAD
b.
Sumatera Utara
c.
Sumatera Barat
d.
R i a u
e.
Jambi
f.
Banten
g.
Kalimantan Barat
h.
Kalimantan Timur
i.
Kalimantan Tengah
j.
Sulawesi Selatan
k.
Bali
l.
Nusa Tenggara Barat
m. Nusa Tenggara Timur
n.
Papua
|
|
5. Teknik Analisa Data
Analisis data dengan pendekatan
kualitatif. Pendekatan ini memaknai informasi yang dihimpun berdasarkan kajian
teoritis. Prosesnya dimulai dari mengumpulkan instrumen yang telah diisi dari
lapangan, dan kemudian dicermati aspek-aspek dan karakteristik informasinya. Selanjutnya
dipilah menurut aspek-aspek dan diberikan interpretasi pada setiap aspek
tersebut sesuai dengan tujuan kajian yang telah ditetapkan.
E.
SISTEMATIKA
Laporan ini disusun dengan sistematika
sebagai berikut :
Bab I, Pendahuluan, di dalamnya memuat
tentang pendahuluan, permasalahan, tujuan dan manfaat, metode yang digunakan
dan sistematika penulisan laporan.
Bab II, Masyarakat dan Kebudayaan
dalam Konteks Pemberdayaan Sosial, di dalamnya memuat konsep tentang adat dan
hukum, masyarakat, wilayah KAT, sistem, kebudayaan dan kewilayahan.
Bab III, Peraturan Daerah dan Hukum
Adat, di dalamnya memuat peraturan daerah dan hukum adat di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Bab IV, Dimensi Yuridis dan Empiris
Masyarakat Hukum Adat, di dalamnya memuat dimensi yuridis dan empiris
masyarakat hukum adat.
Bab V, Penutup, di dalamnya memuat
kesimpulan dan saran perlunya Peraturan Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat
Hukum Adat.
BAB II
MASYARAKAT
DAN KEBUDAYAAN
DALAM
KONTEKS PEMBERDAYAAN SOSIAL
A. ADAT DAN HUKUM
Apabila kita berbicara tentang
adat “custom” berarti kita berbicara
tentang wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma,
aturan-aturan serta hukum yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem
yaitu sistem budaya.
Sementara adat-istiadat (customs)
merupakan kompleks konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam
sistem budaya dari suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam
kehidupan sosial kebudayaan itu.
Hukum (law) adalah sistem pengendalian kehidupan masyarakat yang terdiri
atas aturan adat, undang-undang, peraturan-peraturan, dan lain-lain norma
tingkahlaku yang dibuat, disahkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang
berwenang dalam masyarakat yang bersangkutan.
Hukum adat (customary
law) adalah bagian dari hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam suatu
masyarakat yang biasanya bermata pencaharian pertanian di daerah pedesaan.
Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang berkuasa dalam
pengadilan.
A.W. Wijaya dalam tulisannya yang berjudul “Manusia,
Nilai Tradisional dan Lingkungan”, berperspektif bahwa hukum adat adalah norma
lama yang masih terdapat dimana-mana di daerah dan di dalam masyarakat yang
merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Norma lama/hukum adat akan
dapat diterima sepanjang ia akan dapat meningkatkan dirinya bagi kehidupan
masyarakat. Pengelolaan lingkungan hidup tentu saja dengan memperhatikan norma
lama/hukum adat yang berkembang di dalam masyarakat sebagai kepribadian sesuai
nilai-nilai tradisional yang ada. Kita masih tetap memegang nilai tradisional,
walaupun nilai-nilai baru sebagai akibat kemajuan dan kelancaran komunikasi dan
kemudahan informasi akan sangat banyak mempengaruhi nilai tradisional.
Pelestarian norma lama bangsa adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya,
nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes
dan selektif,
serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.
Dengan demikian hukum akan selalu
terkait dengan nilai, norma dan keorganisasian tradisional maupun yang modern
serta perlindungan yang bersifat penataan keseluruhan.
B.
MASYARAKAT
Masyarakat (society) adalah
suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan. WJS Poerwadarminta (KUBI),
PN. Balai pustaka 1982 halaman 636 menyebutkan:
“Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup
bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu). Masyarakat
adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri, yang membedakan
dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah atau daerah tertentu
secara tersendiri. Kelompok ini baik sempit maupun luas mempunyai perasaan akan
adanya persatuan di antara anggota kelompok dan menganggap dirinya berbeda
dengan kelompok lain. Mereka memiliki norma-norma, ketentuan-ketentuan dan
peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata
tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam arti luas.
Jadi secara luas bahwa dalam masyarakat terdapat semua bentuk pengorganisasian
yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya (masyarakat tersebut)”.
Lingkungan masyarakat adalah suatu bagian dari suatu
lingkungan hidup yang terdiri atas antar hubungan individu dengan kelompok dan
pola-pola organisasi serta segala aspek yang ada dalam masyarakat yang lebih
luas dimana lingkungan sosial tersebut merupakan bagian daripadanya. Lingkungan
sosial dimaksud dapat terwujud sebagai kesatuan-kesatuan sosial atau
kelompok-kelompok sosial, tetapi dapat juga terwujud sebagai situasi-situasi
sosial yang merupakan sebahagian dari dan berada dalam ruang lingkup suatu
kesatuan atau kelompok sosial.
Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan
kesatuan sosial itu bukan hanya satu, sehingga seorang warga masyarakat bisa
termasuk dalam dan menjadi bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial
yang ada dalam masyarakat tersebut. Bisa masuk dalam kesatuan kekerabatan,
anggota organisasi tempat tinggal, anggota organisasi di tempat kerja, anggota
perkumpulan tertentu, dsb. Dari itu macam-macam masyarakat bisa berdimensi sbb:
1.
Masyarakat industri (Industrial society);
2.
Masyarakat petani (Peasant society);
3.
Masyarakat majemuk (Plural society);
4.
Masyarakat tidak bertempat tinggal tetap (nomadic society);
5.
Masyarakat produksi dan konsumsi sendiri (subsistens society);
6. Masyarakat
modern (Modern society);
7.
Masyarakat tradisional (traditional society)
8.
Masyarakat konkrit (concrete society);
9. Masyarakat
abstrak (abstract society);
10. Masyarakat feodal (feudal society);
11. Masyarakat
irigasi (hydraulic society)
12. Masyarakat
berburu dan peramu (extractive society)
Di dalam masyarakat terdapat struktur
sosial yaitu pola hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem
interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif
stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Sesuai dengan penggolongan dalam
kebudayaan yang bersangkutan dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan
situasi-situasi sosial dimana interaksi sosial itu terwujud.
C. WILAYAH KAT
Wilayah KAT
berdasarkan ciri-ciri geografisnya dapat dibedakan sebagai berikut :
1.
Daerah pedalaman (hinterland) yaitu daerah yang jauh dari
pantai dan laut yaitu mereka yang hidup di
paling hulu-hulu sungai di daerah landai atau dekat kaki lereng gunung atau
dipuncak-puncak gunung;
2. Daerah di paling hilir
sungai dekat pantai yang jauh dari perjumpaan desa masyarakat berciri
komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;
3. Daerah pedalaman dengan areal
luas yang pola kehidupannya berburu dan meramu atau bercocoktanam maupun
kecakapan lainnya yang jauh dari perjumpaan desa masyarakat berciri
komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;
4. Daerah pedalaman dengan areal
luas yang pola kehidupannya berburu dan meramu atau bercocoktanam maupun
kecakapan lainnya yang tidak terlalu jauh dari dan enggan memanfaatkan
perjumpaan desa masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta
pemukiman ramai dan padat terdekat;
5. Daerah yang masyarakatnya hidup
di pulau-pulau terpencil yang jauh
dari jangkauan masyarakat kepulauan lainnya yang berciri komunikasi dan
transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;
D. SISTEM
Sistem (system) adalah rangkaian hal, kejadian,
gejala, atau unsur yang berkaitan satu dengan lain sehingga merupakan kesatuan
organis. Sistem budaya (cultural system)
yaitu rangkaian gagasan, konsepsi, norma, adat-istiadat yang menata tingkahlaku
manusia dalam masyarakat dan yang merupakan wujud ideologis kebudayaan.
Sistem nilai
budaya (cultural value system) yaitu
rangkaian gagasan dan konsep manusia mengenai masalah-masalah dasar dalam hidup
yang dipandangnya paling penting dan bernilai sehingga dijadikan pedoman
tingkah laku manusia.
E. KEBUDAYAAN
Sementara itu kebudayaan (culture) adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang
menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal,
yaitu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, religi dan kesenian dan tersistem dalam tiga wujud ialah: ide,
aktivitas, dan kebendaan yang masing-masing biasanya disebut sistem budaya atau
sistem adat istiadat, sistem sosial dan kebudayaan kebendaan. Jika kebudayaan tersebut diskemakan ke dalam sistem kebudayaan akan
terlihat sebagai berikut:
AGAMA
ILMU PENGE
TAHUAN
KESENIAN
TEKNOLOGI
BAHASA &
EKONOMI
KOMUNIKASI
(ARTEFAK)
ORGANISASI
SOSIAL
Keseimbangan pengaruh diantara satu unsur
dengan unsur lainnya akan melahirkan kemantapan dengan ciri kemajuan secara
proporsional yang layak. Sebaliknya, jika salah satunya memberi unsur lebih
dominan, maka unsur lainnya akan dikendalikan oleh unsur dominan tersebut. Jika pada unsur
dominan tersebut tidak mempunyai perangkat yang lengkap dan elastis dalam
merespon kebutuhan unsur kebudayaan lainnya, saat itulah awal keguncangan
kebudayaan sekaligus kegoncangan kehidupan.
Apabila komponen-komponen ini dijadikan acuan
setidaknya penuntun untuk mencari data di lapangan yaitu komponen apa sajakah
(Agama, Ilmu Pengetahuan, Ekonomi, Tehnologi, Organisasi Sosial, Bahasa dan
Komunukasi serta Kesenian yang telah terpayungi oleh hukum dalam Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah di berbagai Kabupaten/Kota yang
terdapat di Indonesia.
- Sistem Agama (religious system) adalah rangkaian
jaringan umat beragama dengan keyakinan mengenai alam gaib, aktivitas
ritual dan seremonialnya serta sarana yang berungsi melaksanakan
komunikasi manusia dengan kekuatan-kekuatan dalam alam gaib melalui
kejiwa-emosian keagamaan yang diintensikan. Komponennya meliputi:
a. Umat beragamanya;
b. Sistem keyakinannya
c. Sistem ritual dan seremonialnya
d. Sistem peralatan ritus dan
seremonialnya
e. Sistem kejiwaan dan emosi
keagamaannya
- Sistem organisasi sosial (Social organization system) adalah semua aspek aktivitas
perilaku berpola yang telah membudaya dalam interaksi manusia dalam suatu
masyarakat yang diperankan melalui nilai, norma, serta wadah struktur
keorganisasian yang dibentuk. Macam-macamnya adalah :
a.
Kesatuan-kesatuan yang hidup
dalam masyarakat;
b.
Penyebaran warga masyarakat dan
pemukimannya;
c.
Wilayah mata pencaharian anggota
masyarakat;
d. Struktur dan Kepemimpinan dalam
masyarakat
e.
Aturan Hukum (termasuk kearifan
lokal)
f.
Sistem kekerabatan
- Sistem tehnologi (Technological system) yaitu
rangkaian konsep serta aktivitas mengenai pengadaan, pemeliharaan dan
penggunaan sarana-sarana hidup manusia dalam kebudayaannya. Macam-macamnya
meliputi:
a. Tehnologi/peralatan hidup
pengolahan alam sebagai mata pencaharian;
b.
Tehnologi untuk pembuatan
perumahan dan jalan
c.
Tehnologi untuk alat dan
kendaraan komunikasi
d.
Tehnologi untuk kepentingan
tempat dan peralatan ritual keagamaan;
- Sistem pengetahuan (System of knowledge) yaitu semua hal yang diketahui oleh
manusia dalam suatu kebudayaan mengenai lingkungan alam maupun sosialnya
menurut asas-asas susunan tertentu. Macam-macamnya meliputi:
a. Alam benda mencakup : Darat,
udara dan laut;
b.
Alam hewan dan tumbuhan: Tempat
dan fungsinya;
c.
Alam manusia : Manusia
hidup dan manusia mati;
d.
Alam gaib: Tuhan/Dewa/Makluk
halus dan makhluk gaib lainnya yang terkait;
e.
Hubungan a sampai d : fungsi ,
hak dan kewajiban masing-masing
f.
Lembaga kependidikan yang
berkaitan dengan transformasi pengetahuan
- Sistem ekonomi (Economic system) yaitu seluruh
rangkaian norma, adat istiadat, aktivitas, mekanisme, dan sarananya yang
berkaitan dengan usaha memproduksi, menyimpan, dan mendistribusi barang
kebutuhan hidup manusia. Dengan variasinya adalah :
a.
Ekonomi perburuan dan peramuan (huntering and gathering economy);
b. Ekonomi
peladangan berpindah (shifting
cultivation; swidden agriculture economy)
c.
Ekonomi bercocok tanam menetap (work the soil permanent economy)
d.
Ekonomi Maritim
e. Ekonomi tukar komponen kebutuhan (barter
economy)
f.
Ekonomi Pasar/Uang
(Market/Money economy)
g. Ekonomi Gambar (Picture economy)
h. Ekonomi
Komunikasi (Communication economy)
i.
Ekonomi Tehnologi Internet
(Internet economy)
Nomor a) sampai d) merupakan
ekonomi subsisten (tradisional) dan e) sampai i) merupakan
ekonomi pasar (modern).
- Sistem bahasa dan komunikasi
(Language and Communication system)
yaitu sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur
bunyi ucapan manusia, dan yang digunakan sebagai sarana interaksi antar
manusia. Macam-macamnya meliputi:
a.
bahasa daerah (local language);
b.
bahasa isyarat (gesture language);
c. bahasa kanak-kanak (children language) ;
d. bahasa lisan (spoke language) ;
e. bahasa nasional (national language);
f. bahasa pasar (market language);
g. bahasa perantara (lingua franca);
h. bahasa remaja (teenagers language);
i.
bahasa resmi
(formal language)
j.
bahasa tak resmi (inormal language);
k. bahasa santai (relax language);
l.
bahasa sopan santun (polite language);
m.
bahasa tertulis (written language);
n.
bahasa ilmiah (scientific language);
o.
bahasa upacara adat istiadat (customs language);
- Sistem kesenian ( Art system) yaitu jaringrangkai
keahlian dan ketrampilan manusia untuk mengekspresikan dan menciptakan
komponen-komponen yang indah serta bernilai. Macam-macamnya
meliputi:
a. seni anyam (basketry);
b. seni bangunan ( architecture);
c.
seni arca (sculpture);
d. seni batik (batic art);
e. seni
drama/sandiwara (drama);
f.
seni ikat (ikat technique);
g. seni
instrumental (instrumental music);
h.
seni kesusasteraan (literature);
i.seni
karawitan;
j.seni lukis (painting);
k. seni menggambar (drawing);
l.seni merias (make-up art);
m. seni menghias (decorative art);
n. seni mozaik (mozaic);
o. seni pahat (relief);
p. seni patung
(sculpture);
q. seni
puisi/pantun (poetry);
r.
seni prosa (prose);
s.
seni tari (dance);
t.
seni tenun (weaving);
u.
seni ukir ( engraving);
v.
seni suara (voice/sing art);
F. Kewilayahan
Adapun unsur wilayah meliputi: Batas antar satu
wilayah dengan lainnya; pembahagian wilayah bagi peruntukan : pemukiman,
lapangan mata pencaharian/tanah ulayat, fasilitas umum (Sekolah, rumah sakit,
kantor desa, tempat kesenian masyarakat, rekreasi, olah raga, cagar budaya/lokasi
lindung, dll). Dengan
demikian kewilayahan meliputi tiga lingkungan yang saling terkait sebagai
berikut :
a. Lingkungan alam;
b. Lingkungan kebudayaan;
c. Lingkungan sosial
d. Lingkungan ekonomi
BAB III
PERATURAN DAERAH DAN HUKUM ADAT
Pada bab III dipaparkan Hukum Tertulis
yang bersumber dari Peraturan Daearah (Perda) dan Hukum Tidak Tertulis yang
bersumber dari hukum adat di beberapa provinsi yang menjadi lokasi kajian.
Pemaparan hasil kajian dilakukan per provinsi, sehingga diperoleh informasi yang
lengkap pada masing-masing provinsi. Hal ini sekaligus akan menggambarkan
apresiasi dan komitmen daerah dalam pemberdayaan masyarakat hukum
adat/masyarakat adat/Komunitas Adat Terpencil sebagai bagian dari pembangunan
manusia.
Pada pemaparan hasil kajian di bab III
ini digunakan istilah masyarakat hukum adat yang juga menunjuk pada masyarakat
hukum adat maupun Komunitas Adat Terpencil. Penggunaan istilah masyarakat hukum adat semata-mata untuk kepraktisan
pemaparan hasil kajian dalam laporan ini.
A. PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
1. Kewilayahan
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) yang secara khusus mengatur kewilayahan Masyarakat hukum adat sampai saat
ini belum ada. Namun demikian, secara informal pemerintah provinsi maupun kabupaten
memberikan pengakuan terhadap wilayah dimana Masyarakat hukum adat mengatur
pemerintahannya. Selain itu Pemerintah Daerah juga mengakui adanya wilayah yang
dikuasai secara kolektif oleh Masyarakat hukum adat yang dikenal dengan tanah
ulayat.
2. Kebudayaan
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dikenal dengan sebutan
serambi Makkah, telah menerapkan aturan-aturan hukum Islam bagi warga
masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Provinsi NAD tahun 2007 – 20012 pada butir 1 ditegaskan, bahwa
”.....lembaga keagamaan harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi
masing-msing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang.”
Organisasi sosial dan
perkumpulan sosial serta perkumpulan adat berkembang dengan baik. Pada ayat 3
dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan, bahwa : ”.......lembaga adat harus
menjalankan kegiatannya berdasarkan
fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan
wewenang”. Kemudian pada ayat 1 menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan
memberikan perhatian lebih secara seksama dan mendukung upaya-upaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya
Aceh.
Di dalam RPJM Provinsi NAD
di bidang ekonomi pada butir 3) ditegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan
perhatian serius pada pengembangan ekonomi kerakyatan untuk mencapai keadilan
di bidang ekonomi. Kemudian di bidang sumber daya alam pada butir 2)
ditegaskan, bahwa ”.... jika HPH hanya memberikan kepada pengusaha, maka di
masa mendatang, Pemerintah Aceh akan menciptakan sistem pengelolaan hutan yang
dikelola sendiri oleh rakyat secara lestari, berkesinambungan dan bertanggung
jawab untuk kepentingan rakyat Aceh sendiri”.
Kemudian berkenaan dengan
komunikasi dan seni budaya, pada ayat 1 juga menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan
memberikan perhatian secara seksama dan mendukung upaya-upaya untuk
mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh. Antara lain mendorong rakyat untuk
menghidupkan kembalai tata cara sopan santun ke-Aceh-an dalam keluarga, dan menyelanggarakan
secara reguler festival dan seni Aceh.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a.
Implementasi
Implementasi pengakuan
hukum terhadap masyarakat hukum adat dari Pemerintah Daerah secara yuridis
(Perda) belum ada. Pengakuan ditemukan secara tertulis pada ayat 3 dari RPJM
Provinsi NAD ditegaskan, bahwa : ”.......lembaga adat harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-masing
dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang”.
b.
Kendala
Belum tersedianya
Peraturan Daerah yang secara khusus dan tegas mengatur eksistensi kelembagaan
adat dengan segala hak-haknya.
4. Harapan
Tersedianya Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus
dan tegas mengatur kelembagaan Masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya,
sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam penguasaan tanah ulayat.
B.
PROVINSI SUMATERA UTARA
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Pengakuan Pemerintah
Daerah Provinsi dan Kabupaten se-Provinsi Sumatera Utara terhadap Masyarakat
hukum adat, yaitu adanya pengakuan terhadap hak atas wilayah (lahan) secara
kolektif bagi Masyarakat hukum adat yang disebut dengan tanah ulayat dengan
hak-hak masyarakat untuk mengelolanya. Namun demikian pengakuan ini belum
secara tertulis dalam bentuk Peraturan Daerah atau sejenisnya, sehingga pengakuan
tersebut belum memiliki kekuatan yuridis.
b. Kebudayaan
Dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat, Gubernur Sumatera
Utara pada tahun 2007 mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2007
tentang Strategi Daerah dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Peraturan Gubernur tersebut kemudian disusul dengan dikeluarkannya Peraturan
Gubernur Nomor 37 tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah dalam Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal.
Sementara itu, persoalan tanah yang melibatkan masyarakat dengan
pemerintah terus terjadi. Pada tahun 2001 Kesultanan Deli dan Forum Peta Umat
mengajukan surat kepada Mendagri dan DPR RI yang intinya mengklaim tanah-tanah
perkebunan yang tebentang luas di Sumatera Timur sebagian besar diusahakan di
atas lahan hak ulayat masyarakat Melayu. Sultan Deli mengklaim tanah
eks-konsesi Kesultanan Deli yang sekarang merupakan lahan perkebuan tembakau,
kepala sawit dan tebu (PTPN II) adalah tanah ulayat mereka.
Atas desakan berbagai pihak, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menerbitkan
dua Surat Keputusan Bupati Deli Serdang, yakni SK No. 112 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Tim Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarkat Hukum Adat di
Kabupaten Deli Serdang, dan SK Bupati Deli Serdang No 615 tahun 2001 tentang
Adat di Kabupaten Deli Serdang.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Masyarakat hukum adat secara empiris masih ada di Provinsi
Sumatera Utara. Mereka mengelola kelembagaan adat dengan hak-hak atas lahan
yang penguasaannya secara kolektif, yang disebut dengan tanah ulayat. Sawah dan
ladang pada umumnya tanah pribadi, sedangkan tanah ulayat berupa hutan atau
perbukitan. Namun demikian tanah ulayat tersebut banyak yang dikuasi oleh
pemerintah (BUMN – PTPN II), sehingga seringkali menimbulkan permasalahan
antara masyarakat dengan pemerintah.
b. Kebudayaan
Kajian tentang adat dilakukan di Kabupaten Mandailing
Natal. Struktur kelembagaan adat di sini memiliki peranan yang sangat penting
dalam setiap pengambilan keputusan masyarakat. Di dalam kelembagaan adat
tersebut ada kepemimpinan adat (informal) yang lebih dominan dibandingkan
dengan kepemimpinan desa. Kepemimpinan adat ini dikenal dengan Nini-Mama.
Kalau pemerintah desa melaksanakan tugas-tugas administrasi
pemerintahan, maka tugas dari kepemimpinan adat adalah mengelola kegiatan yang
berkaitan dengan adat seperti pada upacara perkawinan, dan pemberian sanksi
adat bagi warga masyarakat yang
melanggar norma-norma adat. Dalam praktiknya, kedua lembaga pemerintahan ini
cukup baik, dalam arti tidak pernah terjadi konflik kepentingan selama menjalankan
pemerintahan masing-masing.
Sistem kekerabatan menganut garis keturunan dari ibu atau matrilineal. Artinya, pihak perempuan
sebagai penentu dalam membentuk hubungan kekerabatan. Namun demikian pihak
laki-laki dapat juga sebagai pencipta hubungan karena sebab perkawinan (afinity relationship). Dalam sistem
kekerabatan ini dikenal adanya istilah semendo,
yaitu tempat tinggal bagi orang yang sudah menikah di keluarga perempuan (pola
matrilokal). Implikasi dari semendo
ini pada hak waris pada anak perempuan.
Sistem pengetahuan diperoleh masyarakat secara turun
temurun. Misalnya, pengetahuan tentang penyembuhan penyakit atau obat-obatan
masih dilakukan secara tradisional dengan tanaman obat yang dikenal penduduk.
Jika penduduk sakit atau melahirkan, mereka meminta pertolongan ke dukun yang
mereka namakan Dotu.
3.
Implementasi dan
Kendala pengakuan Hukum
a.
Implementasi
Eksistensi
Masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Utara masih mendapatkan pengakuan
dari Pemerintah Daerah. Mereka diberikan hak untuk mengatur pemerintahan adat
dan mengelola lembaga adat lengkap dengan struktur organisasi adat. Berbagai
bentuk upacara adat masih dipelihara dan memperoleh apresiasi dari Pemerintah
Daerah dalam acara pekan seni budaya daerah. Namun demikian pengakuan hukum
terhadap hak tradisional Masyarakat hukum adat belum diimpelemntasikan dengan
pemberian hak atas tanah (hak ulayat).
b.
Kendala
Belum ada Peraturan Daerah (Perda)
yang mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat, termasuk mengatur tentang hak
ulayat.
4.
Harapan
Ada
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarkat Adat, termasuk
mengatur tentang hak ulayat. Dengan adanya aturan yuridis ini, maka hak-hak
Masyarakat hukum adat akan dilindungi dari kepentingan pihak-pihak luar.
C.
PROVINSI
RIAU
1.
Hukum
Tertulis
a. Kewilayahan
Peraturan Daerah yang mengatur
kewilayahan belum ada. Oleh karena itu, dalam menata masyarakat merujuk pada
peraturan perundang-undangan yang ada dengan tetap mengakomodasi
wilayah-wilayah berdasarkan tradisi masyarakat lokal yang sudah dikenal secara
turun temurun sebagai warisan leluhur mereka.
b. Kebudayaan
Komitmen Daerah Kabupaten Bengkalis
dalam upaya pemberdayaan Masyarakat hukum adat diwujudkan dengan terbitnya
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 39 Tahun
2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian Adat Istiadat Melayu dan Pengembangan
Kebiasaan-Kebiasaan, Masyarakat serta Lembaga Adat di Kabupaten Bengkalis.
Perda ini dengan jelas mengatur model dan strategi pemberdayaan masyarakat dan
lembaga adat agar anggota persekutuan hukum adat dapat mencapai taraf kehidupan
yang lebih sejahtera.
2.
Hukum
Tidak Tertulis
a.
Kewilayahan
Tanah ulayat adalah lingkungan tanah yang dikuasai oleh suatu kelompok
orang-orang yang biasa disebut persekutuan hukum adat. Sedangkan hak ulayat
adalah hak persekutuan hukum adat yang menguasai suatu lingkungan tanah
termasuk lingkungan persediaan, perluasan, untuk kepentingan hidup persekutuan
beserta seluruh warganya. Sebagai obyek hak ulayat adalah tanah, air,
pantai-pantai, tumbuh-tumbuhan (pohon-pohon), hewan liar dan sebagainya.
Tanah ulayat tidak mudah dipindah tangankan kepada pihak lain. Kalaupun
dipindah tangankan mestilah memenuhi ketentuan adat. Persyaratan ini dibuat
tidak lain adalah untuk menjaga kesinambungan dari tanah ulayat yang ada dalam
persekutuan hukum adat. Kehidupan adat dan tanah ulayat merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat dalam menjaga kelangsungan hidup masyarakat hukum adat.
Karena dengan tanah itu, masyarakat hukum adat dapat berusaha menghidupi
keluarganya. Kelanjutan hidup manusia tidak bisa berlanjut tanpa adanya tanah
tempat berusaha dan bertempat tinggal. Sehubungan dengan itu, tanah ulayat
merupakan harta benda yang perlu dipelihara kelestariannya agar tetap memberi
manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat hukum adat.
b.
Kebudayaan
Agama yang dianut oleh Masyarakat
hukum adat di Riau yaitu Islam, Budha dan Kristen. Namun demikian sebagian
masih memiliki kepercayaan animisme, yaitu percaya terhadap kekuatan-kekuatan
pada batu-batu besar, pohon-pohon besar terutama berkaitan dengan penyelenggaraan
upaya adat. Agama dan kepercayaan tersebut merupakan warisan leluhur secara
turun temurun. Dalam pelaksanaan ritual agama sehari-hari, pengaruh kebudayaan
etnis Cina cukup dominan.
Persekutuan hukum adat dipimpin oleh
seorang pemangku adat yang dikenal dengan sebutan Penghulu Adat atau Datuk.
Datuk sebagai pimpinan persekutuan berdasarkan sistem matrilinial ini
dikukuhkan dengan pemberian gelar adat oleh anak kemenakan pada persekutuan
tersebut. Adapun jangka waktu jabatan sebagai Datuk tidak ditentukan lamanya,
tetapi bergantung pada persesuaian dengan anak kemenakannya. Datuk ini sangat
berpengaruh dan berperanan penting dalam kehidupan persekutauan hukum adat
maupun pengaturan sikap dan anggota persekutuannya, terutama mengurus
peruntukan dan pengawasan tanah ulayat dalam masyarakat.
Hak ulayat merupakan hak bersama atas
tanah seluruh anggota persekutuan hukum adat. Oleh karena penguasaan tanah ini
bersifat kolekif, maka tidak mudah untuk dipindah tangankan kepada orang lain,
kecuali telah sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Secara langsung hak ulayat ini mengatur
sistem ekonomi masyarakat, terutama dalam pemanfaatan tanah sebagai sumber
nafkah (ekonomi).
Penguasa tanah ulayat oleh penghulu
adat tetap terjamin, dimana anggota masyarakat hukum tersebut diberi hak dan
kewajiban untuk memelihara tanah ulayat. Ketentuan yng harus dipenuhi oleh
anggota masyarakat yang memanfaatkan tanah ulayat adalah sebagai berikut :
a.
Apabila tanah ulayat dijadikan kebun, maka di dalamnya
harus ada tanaman.
b.
Apabila dijadikan sawah ladang haruslah mempunyai pematang.
Masyarakat hukum adat di Kabupaten
Bengkalis memiliki sumber nafkah utama dari mengolahan ladang dan kebun. Mereka
pada umumnya sudah mengenal tanaman industri seperti kelapa sawit dan karet.
Pada kegiatan perladangan, mereka menanam padi darat yang dipanen setelah 4
bulan kemudian. Pengolahan dan penyiapan ladang cukup sederhana, yaitu
penebasan ladang, pembakaran, dan penugalan atau penanaman biji padi. Kegiatan
berladang tersebut melibatkan semua anggota keluarga batih, yaitu ayah, ibu dan
anak-anaknya.
3.
Implementasi
dan Kendala Pengakuan Hukum
a.
Implementasi
1). Meskipun sudah ada hukum tertulis
yang mengatur
Pemberdayaan, Pelestarian Adat Istiadat Melayu dan Pengembangan
Kebiasaan-Kebiasaan, Masyarakat serta Lembaga Adat, yaitu Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 39 Tahun 2001 (Khusus
Kabupaten Bengkalis), namun dalam praktiknya Peraturan Daerah tersebut belum
efektif. Informasi yang dihimpun terkait dengan implementasi hukum tertulis
(Perda) tersebut adalah Masyarakat hukum adat sering dijadikan obyek untuk
mendapatkan dukungan tertentu, tetapi belum dilihat sebagai komponen yang perlu
dikembangkan menjadi kekuatan yang lebih besar.
2). Sementara itu implementasi hukum
adat cenderung melemah, disebabkan semakin kuatnya pengaruh dari luar. Contoh
kasus, tanah ulayat sebagai milik bersama masyarakat hukum adat mengalami
peralihan hak guna kepada investor, sehingga mengurangi aset masyarakat hukum
adat.
b.
Kendala
Berbagai kondisi yang dirasakan
sebagai kendala dalam mengimplementasikan pengakuan hukum terhadap masyarakat
hukum adat, yaitu :
1).
Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menganut paham domain Negara, dengan
mengklaim semua hutan yang tidak dapat dibuktikan sebagai hutan milik, adalah
hutan Negara. Padahal, hak ulayat bukan hak milik, akibatnya hak ulayat atas
tanah menjadi obyek sengketa dengan Departemen Kehutanan. Sumber sengketa
bertambah karena peta hutan yang dibuat oleh Departemen Kehutanan tidak
berdasarkan survey, sehingga kebun rakyat dipetakan sebagai hutan.
2). Hak ulayat dipersiapkan untuk
dimusnahkan dengan cara pembebasan dengan pemberian ganti rugi apabila tanah
tersebut digunakan untuk kepentingan umum, sebagaimana diatur di dalam
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun1993.
4.
Harapan
Dalam rangka mengoptimalkan
pemberdayaan masyarakat hukum adat, terutama pengakuan terhadap eksistensi
masyarakat hukum adat, maka diperlukan :
1).
Adanya pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah yang
melindungi hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana perlindungan terhadap
warga masyarakat pada umumnya.
2).
Pola pemberdayaan masyarakat hukum adat yang sistematis dan
terukur.
3).
Ada kajian tentang eksistensi tanah ulayat, sehingga akan
dapat diketahui dengan jelas status tanah ulayat yang sebenarnya dari
Masyarakat hukum adat. Hal ini akan memudahkan bagi pihak-pihak terkait untuk
mempergunakan hak-hak atas tanah tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan
demi kesejahteraan Masyarakat hukum adat.
4).
Agar Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) dapat lebih gencar
memberikan pemahaman kepada Masyarakat hukum adat tentang tanah Ulayat atau
tanah adat.
D.
PROVINSI SUMATERA BARAT
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Wilayah sebagai tempat hidup kesatuan Masyarakat hukum adat
di Provinsi Sumatera Barat mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah
Daerah. Wujud dari besarnya perhatian
Pemerintah Daerah ini terbitnya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun
2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat. Bai I Pasal 1 dari Perda ini menegaskan
pengertian umum, yaitu :
1). Hak Ulayat
adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
di Provinsi Sumatera Barat.
2). Tanah Ulayat
adalah adalah bidang tanah yang di atas dan di dalamnya terdapat hak ulayat dai
suatu masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.
3). Tanah Ulayat
Nagari adalah Tanah Ulayat yang merupakan kekayaan nagari, yang
pengelolaannya berada pada Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, sedangkan pengaturan dan
pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerintah Nagari.
4). Tanah Ulayat Suku adalah Tanah Ulayat
yang merupakan kepunyaan Suku yang penguasaannya berada pada Penghulu Suku dan
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
5). Tanah Ulayat Kaum adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan
masing-masing kaum dalam suatu suku yang pengaturannya berada pada Mamak Kepala
Waris.
6). Penyerahan Hak Ulayat adalah suatu
kegiatan yang melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan
tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah
dan saling menguntungkan.
7). Gunggam Bauntuak
adalah peruntukan tanah yang diperoleh anggota kaum untuk memakai dan menikmati
hasil atas bagian tanah ulayat dalam pengawasan Mamak Kepala Waris.
b. Kebudayaan
Peraturan Daerah Tahun
2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat mengatur eksistensi organisasi pemerintahan
kesatuan masyarakat hukum adat dengan struktur yang ada di dalamnya. Beberapa
pengertian yang berkaitan dengan struktur pemerintahan adat, yaitu :
a). Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi
Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri.
b). Penghulu adalah orang yang dituakan dan didahulukan selangkah oleh
kaumnya untuk memimpin kaumnya.
c). Penghulu Suku adalah pemegang sako dan pusako yang diwarisi secara
terus menerus menurut sistem kekerabatan matrilineal yang berfungsi sebagai
penguasa ulayat menurut ”baris baladeh” dalam satu kesatuan ulayat Nagari.
d). Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua menurut adat dan atau
yang dituakan dalam satu kaum.
e). Hukum Adat adalah aturan/norma tidak tertulis yang hidup di dalam
masyarakat hukum adat Minangkabau untuk mengatur kehidupannya, mengikat dan
dipertahankan dalam kehidupan masyarakat dengan sanksi yang jelas.
f). Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari atau nama lain adalah Lembaga
Permusyawaratan/PemufakatanAdat dan Syarak yang berfungsi memberikan
pertimbangan kepada Pemerintah Nagari supaya tetap konsisten menjaga dan
memelihara penerapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di Nagari.
g). Kerapatan Adat Nagari atau nama lain yang sejenis adalah Lembaga
Perwakilan Permusyawaratan dan Pemufakatan Adat tertinggi Nagari yang telah ada
dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat di tengah-tengah masyarakat
Nagari Sumatera Barat.
Kemudian diterbitkannya
Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman
Umum Pelaksanaan Nagari. Diterbitkannya Keputusan Gubernur ini merupakan
komitmen dan konsistensi Pemerintah Daerah dalam memelihara dan melestarikan
kelembagaan dan perangkat adat di Provinsi Sumatera Barat.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Konsep Nagari adalah
konsep pemerintahan desa adat di Sumatera Barat, yang di dalamnya terdiri
dari himpunan berbagai suku yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri. Jadi setiap Nagari sudah memiliki batas-batas wilayah pemerintahan
adat yang jelas dan tegas berdasarkan kesepakatan para ketua adat secara turun
temurun hingga generasi sekarang.
b. Kebudayaan
Pada umumnya masyarakat
Minangkau adalah pemeluk agama Islam yang fanatik. Proses transformasi ajaran
Islam berjalan secara turun-temurun melalui tempat-tempat ibadah di
kampung-kampung yang disebut dengan surau.
Jauh sebelum terbitnya
Peraturan Daerah tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat, secara tidak tertulis
sudah ada pengakuan dari pemerintah mengenai lembaga adat, hukum adat dan hak
atas tanah ulayat kepada kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat.
Konsep Nagari, Penghulu, Penghulu Suku,
Mamak Kepala Waris, dan Ninik Mamak sudah menjadi ciri khas di dalam
kebudayan masyarakat Sumatera Barat yang dikenal luas secara nasional.
Sistem kekerabatan yang
berlaku menganut pola matrilineal,
artinya bahwa silsilah keturunan berdasarkan garis ibu. Sebagai contoh, seorang
laki-laki (paman), ia bertanggung jawab untuk membantu anak dari saudara
perempuanya sekandung (kemenakan). Hal ini sudah menjadi adat istiadat pada
masyarakat di Minangkabau yang berlangsung secara turun temurun, dan akan terus
terpelihara melalui kelembagaan adat yang disebut Nagari.
Masyarakat Minangkabau telah
mengadaptasi teknologi sesuai jamannya, mulai teknologi sederhana sampai
teknologi modern. Adat istiadat Minangkabau memberikan kesempatan kepada
warganya agar tidak hanya memanfaatkan, tetapi juga mampu mengembangkan
teknologi untuk meningkatkan taraf kehidupannya ke arah yang lebih baik.
Masyarakat hukum adat
memperoleh pengetahuan secara turun temurun dari para leluhurnya. Biasanya
pengetahuan yang dipelajari berkaitan dengan pola hidup dan sistem mata
pencarian. Pada masyarakat hukum adat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan
di laut, maka pengetahuan lokal masyarakat lebih banyak berhubungan dengan
pengetahuan akan kondisi cuaca dan iklim, astronomi, teknik penangkapan dan
pengolahan ikan serta jenis dan habitat ikan. Mereka mampu mengenal kalender
musin dengan baik, meskipun demikian tidak semua aktivitas mereka bergantung
pada kalender.
Masyarakat mengenal musim
Gabua, Ambu-ambu dan Udang karena pada musim-musin tersebut didominasi jenis
ikan-ikan tersebut. Selain itu mengenal juga musim Anggau/ombak gadang ombak
besar atau musim kemarau untuk menjelaskan kondisi hasil tangkapan ikan tidak
ada sama sekali. Kemudian dikenal musim Payang atau Pukek untuk menjelaskan
kondisi dimana hasil tangkapan ikan melimpah.
Adanya peruntukan tanah yang diperoleh anggota kaum untuk
memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat dalam pengawasan Mamak
Kepala Waris, yang dikenal dengan Gunggam
Bauntuak. Hal ini sebagai bentuk kerukunan dan kebersamaan untuk
menghilangkan kesenjangan sosial antara warga dalam satu kaum maupun dalam satu
Nagari. Sistem penguasaan tanah secara kolektif
pada tanah ulayat, akan membangun sistem ekonomi kerakyatan yang
seadil-adilnya.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Pemerintah Daerah Provinsi
dan Kabupen se Provinsi Sumatera Barat sampai saat ini memberikan pengakuan yang masih cukup besar.
Wujud besarnya pengakuan dari Pemerintah Daerah ini dengan terbitkan Keputuan
Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Nagari.
b. Kendala
Belum semua yang berkaitan
dengan kelembagaan adat dan hak-hak Masyarakat hukum adat diatur oleh
Pemerintah Daerah.
4. Harapan
Harapan atas pengakun hukum terhadap Masyarakat hukum adat
dan hak-hak mereka adalah :
1.
Perlu lebih dioptimalkan implementasikan hukum adat, dan
kearifan lokal tetap dijunjung tinggi dan dihargai oleh Pemerintah Daerah.
2.
Partisipasi masyarakat perlu diperkuat lagi, sehingga
lebih peduli terhadap pembangunan yang berbasis adat dan kearifan lokal.
E. PROVINSI JAMBI
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Secara yuridis belum ada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi
maupun Kabupaten se Provinsi Jambi yang secara khusus mengatur hak-hak
Masyarakat hukum adat. Meskipun demikian secara informal Pemerintah Daerah
tetap masih mengakui eksistensi Masyarakat hukum adat dengan hak-hak mereka
atas tanah, lembaga dan hukum adat dalam menyelesaikan permasalahan antara
warga masyarakat. Masyarakat hukum adat menguasai wilayah adat yang
kepemilikannya secara kolektif dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.
b. Kebudayaan
Pada tahun 1979 keluar
Undang-Undang Nomor 5 yang menyatakan Kepala Marga sebagai Kepala Adat dihapus dan hanya dikenal Kepala Desa. Kepala Desa adalah petugas
administratif di bawah Camat dan dengan sendirinya Kepala Adat dihapus secara organisasi.
Tetapi secara kelompok dan geografis masih ada dengan masyarakat hukum adatnya.
Kemudian Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, pada tahun
1980 ditindaklajuti dengan Keputusan Gubernur Jambi yang menghapus Marga diganti dengan Desa dan Kelurahan dalam Provinsi Jambi. Akibat dengan adanya penghapusan
tersebut timbul berbagai masalah di desa, yaitu :
a). Soal pertanahan yang
tidak kunjung selesai dimana masyarakat secara historis dan belum hilang dari
ingatan mereka, bahwa mereka itu memiliki hak ulayatnya (sementara itu
badan-badan tertentu tidak mengakui adanya itu).
b). Berbagai krisis
terjadi di Desa karena hukum adat tidak diindahkan lagi.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Dalam masyarakat hukum adat Jambi, tanah memiliki kedudukan
yang sangat penting. Artinya, hal ini karena tanah adalah satu-satunya benda
kekayaan yang langgeng sifatnya bagi masyarakat hukum adat. Tempat dimana
mereka tinggal, tempat yang memberikan mereka kehidupan. Tempat warga
masyarakat hukum adat memakamkan keluarganya dan tempat nenek moyang mereka
mulai merintis kehidupan.
Masyarakat hukum adat secara turun temurun mengusai tanah
ulayat, yakni sejak zaman Kerajaan Jambi dan tumbuhnya bersamaan dengan
dusun-dusun dengan batas-batasnya, yang berarti tetap mempertahankan dusun yang
punya hak ulayat. Hak ulayat ini dahulu dikuasai oleh Bathin/Pasirah sebagai
penguasa dan ketua adat/komunal. Apabila ingin mengerjakan dan memiliki tanah
ulayat, maka harus seijin Pasirah.
Namun demikian dengan keluarnya Keputusan Gubernur Tahun
1980 yang mengganti Marga menjadi Desa dan Kelurahan, menyebabkan penguasaan masyarakat
hukum adat akan tanah ulayat akan terancam. Kuncinya pada Kepala Desa/Pesirah
yang sekaligus sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas keberadan tanah
ulayat tersebut.
b.
Kebudayaan
Masyarakat hukum adat mempunyai kelembagaan adat dan
berbagai aturan (hukum adat) di dalamnya yang mengatur perilaku masyarakat.
Kemudian masyarakat mendiami sebuah dusun yang mempunyai batas-batas wilayah,
dan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Disini tergambar ada
aturannya (adat), ada wilayah (batas), ada penguasaannya (Kepala Adat).
Meskipun telah terjadi perubahan status Marga menjadi Desa
atau Kelurahan, tetapi kelembagaan adat tersebut masih menjalankan peranannya,
terutama berkaitan dengan hal-hal berkenaan dengan adat istiadat dan upacara
adat. Pengetahuan lokal tentang flora dan fauna, obat-obatan dan hal-hal lain
yang berkenaan dengan kehidupan manusia diperoleh secara turun temurun dari
leluhurnya. Selain itu peranan kelembagaan adat ini memelihara seni budaya
tradisional.
3.
Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum Terhadap KAT
a.
Implementasi
Akibat penghapusan Marga
menjadi Desa dan Kelurahan timbul berbagai masalah, yaitu permasalahan
pertanahan yang tidak pernah selesai, karena konsep Desa dan Kelurahan telah
menghilangkan kepemilikan hak ulayat mereka. Kemudian, berbagai krisis terjadi
di Desa karena hukum adat tidak diindahkan lagi.
b.
Kendala
Belum ada Peraturan Daerah
(Perda) yang secara khusus mengatur kelembagaan adat. Sebaliknya, keluarnya
Keputusan Gubernur tahun 1980 yang menghapus desa adat (marga) menjadi desa dan
kelurahan akan mengancam eksistensi kelembagaan adat, hak ulayat dan hak-hak
Masyarakat hukum adat lainnya.
4.
Harapan
Kebijakan Gubernur yang mengganti Marga dengan Desa dan
Kelurahan perlu dikaji kembali, sehingga eksistensi Desa Adat/Kelembagaan Adat
tetap ada dengan penguasaan atas tanah ulayat. Selain itu diharapkan
permasalahan pertanahan tidak terjadi lagi dan hukum adat dihargai, sehingga
tidak terjadi krisis di Desa.
F. PROVINSI
KALIMANTAN BARAT
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Tidak tersedia dokumen yang berupa
hukum tertulis yang menegaskan aspek kewilayahan masyarakat hukum adat. Namun
demikian, secara implisit termasuk di dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur
Provinsi Kalimantan Barat tentang Pengangkatan Tumenggung sebagai Kepala Desa
Adat. Bahwa Di dalam SK tersebut ditegaskan, bahwa Tumenggung mengepalai warga
dalam satuan wilayah desa adat; dan masyarakat hukum adat tinggal dalam suatu
desa adat. Sebagai sebuah desa, Desa Adat tentu memiliki batas-batas wilayah
dengan desa yang lain.
b. Kebudayaan
Setiap Desa Adat dikepalai oleh Tumenggung (kasus Kabupaten Sekadau).
Pengangkatan Tumenggung sebagai Kepala Adat berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Provinsi Kalimantan Barat. Tugas Tumenggung sebagai kepala desa adat
yang menjalankan pemerintahan desa adat sesuai dengan adat istiadat yang telah
berlaku secara turun temurun.
2. Hukum Tidak
Tertulis
a.
Kewilayahan
Sebagai sebuah desa, Desa Adat tentu
memiliki batas-batas wilayah desa, dimana batas-batas desa yang berupa sungai,
pohon besar, batu-batuan telah disepakati secara turun temurun.
b. Kebudayaan
Kajian terhadap hukum tidak tertulis dilakukan di Kabupaten Sekadau.
Agama yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat Sekadau adalah Islam dan
sebagian kecil warga Masyarakat hukum adat masih menganut animisme (kasus
Kabupaten Sekadau). Meskipun antara
Islam dan animisme memiliki ajaran yang berbeda, namun warga masyarakat
memiliki toleransi yang tinggi dalam kehidupan sosial antar umat
beragama/kepercayaan.
Desa
Adat dipimpin oleh Kepala Adat (Tumenggung), yang tugasnya adalah menyelesaikan
perkara dalam tingkat desa dengan menggunakan aturan adat istiadat sebelum
dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, apabila tidak dapat diselesaikan di
desa. Adat istiadat ini menyangkut semua suku, terutama Suku Melayu dan Dayak
yang merupakan suku asal muasal dari kerajaan Sekadau.
Berbagai jenis adat di Kabupaten
Sekadau, yaitu :
1). Adat yang berkaitan dengan siklus
kehidupan manusia, yaitu pada saat melahirkan bayi (adat selamat umur), adat
babuang (agar keluarga yang akan mengadakan perkawinan, sunatan dan hajatan
lain apabila sakit lekas sembuh), adat perkawinan, dan adat kematian.
2). Adat Ngudas/Rimah, yaitu adat
pembukaan tanah/hutan oleh pemerintah maupun dunia usaha, sebagai bukti telah
memperoleh ijin penggunaan tanah tersebut dari pemuka Kampung.
3). Adat Pati Nyawa, yaitu adat yang
dilakukan oleh pihak yang dianggap bertanggung jawab apabila ada warga yang
meninggal tidak wajar (terjatuh, kena blantik dll).
4). Adat Tolak Bala, yaitu acara adat yang
dilakukan apabila di dalam kampung terjangkit penyakit atau menghindari
terjangkitnya suatu penyakit tertentu.
5). Adat yang dijatuhkan kepada warga
masyarakat yang melanggar norma-norma adat, yaitu :
a). Adat Pasupan, yaitu sanksi
kepada warga yang mengambil tanah/menanami tanpa ijin pengurus kampung,
memfitnah, mencaci maki, menghina, dan berbicara kurang sopan.
b). Adat Terangkat, yaitu sanksi kepada laki-laki beristreri yang serong
dengan gadis atau perempuan bersuami serong dengan jejaka.
c). Adat Beramau, yaitu sanki kepada laki-laki masih beristeri dengan
perempuan masih bersuami.
d). Adat Bujang/Dara Berzinah/Bunting, yaitu sanksi kepada perjaka dan
gadis yang melakukan perzinahan. Adat yang dikenakan adalah Adat- Kampang.
Apabila keduanya menolak menikah, maka dikenakan Adat Beramu.
e). Adat Mengambul Milik Orang Lain/Mencuri, yaitu sanksi bagi seseorang yang
mencuri ayam, babi, sapi dan barang lainnya dengan denda dan mengembalikan
barang curian. Tidak sanggup mengembalikan barang, menggantinya senilai barang
yang dicuri tersebut.
f). Adat Pemalik, yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila seseorang berzinah
padahal masih mukhrim, merusak/membakar tempat keramat,
membakar/merusak/mengotori tempat pemujaan/ ibadah/pemalik, merusak/mengambil
benda-benda peninggalan nenek moyang, merusak/membakar/menanami hutan adat
tanpa seijin pemuka Kampung.
g). Adat Merajalela/Huru Hara dalam Kampung, yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada
seseorang/kelompok apabila seorang tersebut bersenjata/tidak, kemudian
menyerang, merusak, membakar kampung lain atau berdemonstrasi dalam kampung
sendiri.
h). Adat Pemamar Darah, yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada
seseorang yang membuat orang lain merasa terancam atau takut karena
tindakannya.
i). Adat Hukum Selam, yaitu sanksi dijatuhkan kepada dua orang yang
bersengketa dan masing-masing menunjukkan bukti-bukti dan saksi yang
membenarkan.
Pengetahuan
dalam arti luas salah satu sumbernya adalah adat istiadat yang telah terlembaga
pada Masyarakat hukum adat. Terdapat 13 adat istiadat, baik yang berifat
upacara adat atau sanksi adat atas pelanggaran terhadap norma-norma adat, yang
kesemuanya itu menjadi acuan sikap dan perilaku Masyarakat hukum adat. Kemudian
terkait dengan pendidikan, setiap warga Masyarakat hukum adat tidak ada
larangan secara adat untuk menempuh pendidikan formal.
Kegiatan ekonomi utama Masyarakat
hukum adat adalah mengolah sumber daya alam (bertani, berladang). Di dalam
pemanfatan lahan (hutan) ada aturan-aturan yang harus ditaati oleh warga
Masyarakat hukum adat, sehingga pemanfaatan lahan (hutan) tersebut tidak
merugikan warga yang lain. Apabila ada warga Masyarakat hukum adat yang
melanggar aturan adat dalam pemanfaatan lahan (hutan), maka akan dikenakan
sanksi adat Sebagai contoh, Adat Pemalik, yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila
seseorang menanami hutan adat tanpa seijin pemuka Kampung. Kemudian dikenal
pula Adat Ngudas/Rimah, yaitu adat pembukaan tanah/hutan oleh pemerintah maupun
dunia usaha, sebagai bukti telah memperoleh ijin penggunaan tanah tersebut dari
pemuka Kampung.
Masyarakat hukum adat menggunakan
bahasa daerah setempat (baca : Sekadau) ketika berkomunikasi dengan sesama
warga Masyarakat hukum adat. Dalam berkomuniaksi ini Masyarakat hukum adat
diharuskan memperhatikan norma-norma sosial yang berlaku secara turun temurun,
dan apabila norma-norma tersebut tidak diindahkan akan mendapatkan sanksi adat.
Sebagai contoh Adat Pasupan,
yaitu sanksi kepada warga yang mengambil
tanah/menanami tanpa ijin pengurus kampung, memfitnah, mencaci maki, menghina,
dan berbicara kurang sopan.
3.
Implementasi
dan Kendala Pengakuan Hukum
a.
Implementasi
Secara yuridis, sampai saat ini belum ada pengakuan hukum terhadap
Masyarakat hukum adat dari Pemerintah Daerah. Namun secara informal, Pemerintah
daerah tetap masih mengakui keberadaan Masyarakat hukum adat, Lembaga Adat
dengan struktur organisasinya dan hukum adat yang berlaku dalam menyelesaikan
permasalahan pada Masyarakat hukum adat tersebut.
b.
Kendala
Belum ada aturan hukum (Perda)
yang mengatur pola hubungan antara masyarakat dan pemerintah dengan warga
Masyarakat hukum adat.
4.
Harapan
Diperlukan aturan hukum (Perda) yang
jelas mengatur pemberdayaan Masyarakat hukum adat. Dalam peraturan tersebut
tetap terjaga eksistensi Masyarakat hukum adat.
G.
PROVINSI
KALIMANTAN TIMUR
1.
Hukum
Tertulis
Belum ada Peraturan Daerah provinsi yang mengatur masyarakat hukum
adat. Sedangkan pada tingkat kabupaten (kasus Kabupaten Pasir), pada tanggal 8
Agustus tahun 200 diundangkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemberdayaan,
pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat istiadat dan Lembaga Adat.
Perda ini dimaksudkan untuk melaksanakan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
64/1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Oleh karenanya, materi
yang diatur dalam Perda Pasir No. 3/2000 tidak jauh dari materi yang diatur di
dalam Kepmendagri No. 61/1999 tersebut.
Pada pasal 13 ayat 1, mengatur mengenai adanya wilayah adat yang diakui
oleh masyarakat adat. Meskipun Perda ini
tidak memuat definisi mengenai masyarakat adat, namun pasal di atas mewakili
ketentuan bahwa Pemda Pasir mengakui keberadaan masyarakat adat. Semestinya
pula, bersamaan dengan pengakuan wilayah adat itu, hak-hak masyarakat adat atas
sumebr daya alam juga mendapat pengakuan.
Persoalan muncul ketika, pembahasan Raperda Pasir tentang Hak Ulayat.
Dimana pada Raperda tersebut tidak mengakui adanya masyarakat hukum adat dan
hak ulayat. Karena ada protes dari Lembaga Adat Pasir (LAP), maka proses penyusunan
Perda tersebut dihentikan oleh Pansus DPRD.
2.
Hukum
Tidak Tertulis
Kajian terhadap hukum tidak tertulis dilakukan di Kabupaten Pasir. oleh
Sebagian besar warga masyarakat Pasir menganut
agama Islam, dan sebagian kecil warga masyarakat hukum adat masih menganut
animisme. Meskipun antara Islam dan
animisme memiliki ajaran yang berbeda, namun warga masyarakat memiliki
toleransi yang tinggi dalam kehidupan sosial antar umat beragama/kepercayaan.
Di
Kabupaten Pasir terdapat lembaga adat yang secara kultural memiliki wilayah
adat dengan hak ulayatnya dan anggota masyarakat adat, meskipun secara hukum
(lihat Perda No. 3/200) belum memperoleh pengakuan secara tegas. Lembaga adat
tersebut merupakan institusi lokal yang peranannya memelihara nilai, norma dan
adat istiadat dalam mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat hukum adat
dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa norma-nora yang diatur oleh Lembaga Adat
antara lain tata cara perkawinan, kerumahtanggan, pengelolaan hutan dan
pergaulan hidup sehari-hari. Bagi warga yang melanggara norma dan adat, maka
dijatuhkan anksi sesuai dengan ketentuan adat yang sudah berlaku secara turun
temurun.
3.
Implementasi
dan Kendala Pengakuan
a.
Implementasi
Pengakuan secara tekstual tersebut pada kenyataannya tidak diimpelementasikan
dengan baik. Indikasinya, yaitu (1) Pemda pasir tidak memiliki program untuk
pemastian batas-batas wilayah adat, (2) Keberadaan Lembaga Adat Pasir (LAP)
kurang memperoleh pengakuan Pemda karena dianggap kurang mengakar kuat dan
memiliki yuridiksi yang jelas, dan (3) Pemda Pasir tidak memperhitungkan
keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak atas sumber daya alam sebagaimana
tercermin di dalam Perda No. 13 tahun 2002 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu maupun pada Perda No 5 tahun 2004.tentang Izin Usaha Perkebunan di
Kabupaten Pasir.
Pengakuan terhadap keberadan masyarakat hukum adat dengan sebaga
hak-haknya, memperoleh perhatian Bupati Pasir periode 2004-2009 (Ridwan). Ia
menganggap bahwa Pemda Pasir memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakat
hukum adat. Perlindungan ini diperlukan karena secra sosial dan ekonomi
masyarakat hukum adat sangat ketinggalan Selain itu, kegiatan investasi yang
banyak berlokasi di perdesaan memang berdampak langung pada kehidupan
masyarakat hukum adat.
b.
Kendala
Adanya pemikiran yang berkembang di
kalangan birokrasi bahwa Perda No 3/200 hanya mengatur adat istiadat dan
lembaga adat, bukan mengatur mengenai keberadaan masyarakat adat dan hak-hak
ulayatnya.
4.
Harapan
Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, maka
peranan dan aktivitas Lembaga Adat perlu ditingkatkan, yaitu :
a. Lembaga Adat Pasir (PAS) dan Persatuan
Masyarakat Adat (PeMA) Pasir dapat mengotimlkan peranannya dalam memperjuangkan
hak-hak masyarakat hukum adat.
b. Pemerintah Kabupaten Pasir melakukan
telaah kembali atas Peraturan Daerah dan kebijakan yang tidak berpihak kepada
keberadaan masyarakat hukum adat.
H.
PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH
- Hukum
Tertulis
a.
Kewilayahan
Kewilayahan berkenaan dengan tanah beserta isinya dan wilayah kesatuan
budaya dimana masyarakat hukum adat hidup dan berkembang. Masyarakat hukum adat
sebagai suatu komunitas memerlukan kepastian hukum mengenai kewilayahan ini,
sehingga mereka dapat menjalani kehidupannya tanpa ada perasaan khawatir
terjadinya gangguan dari pihak manapun.
1).
Penggunaan ruang wilayah Provinsi Kalimantan Tengah diatur
di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Wilayah
Provinsi Kalimantan Tengah.
2).
Khusus berkaitan dengan kewilayahan Masyarakat hukum adat,
tertuang di dalam Peraturan Daeah (Perda) Nomor 14 Tahun 1998 tentang
Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. Pada Bab 1 Pasal 1
(ayat p) menyebutkan, bahwa :
a). Wilayah adat adalah wilayah satuan
budaya tempat adat istiadat itu tumbuh, hidup dan berkembang sehingga menjadi
penyangga keberadaan adat istiadat yang bersangkutan.
b). Tanah adat adalah tanah beserta isinya
yang berada di wilayah Kedamangan yang dikuasai secara adat, baik miliki
perorangan maupun milik bersama.
b.
Kebudayaan
Keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan, serta
pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah laku manusia adalah kebudayaan. Di dalamnya terdiri atas
unsur-unsur universal, yaitu: agama/kepercayaan, organisasi sosial, teknologi,
sistem pengetahuan/pendidikan, sistem ekonomi, bahasa/ telekomunikasi, dan
kesenian.
Berkaitan dengan agama dan kepercayaan, diatur di dalam Peraturan
Gubernur Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Forum Kerukunan Amat
Beragama (FKUB) Provinsi, dan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Di
dalam Peraturan Gubernur tersebut (Pasal 2) ditegaskan syarat calon anggota
FKUB sebagai berikut :
a).
Penduduk Kalimantan Tengah.
b).
Bertempat tinggal di Kalimantan Tengah sekurang-kurangnya 5
tahun.
c).
Bertaqwa kepada tahun YME dan setia kepada Pancasila dan
UUD 1945
d).
Pemuka agama yang menjadi panutan umat, dan
e).
Berkepribadian baik dan penuh pengabdian terhadap
kepentingan kerukunan kehidupan beragama.
Kemudian peraturan hukum tertulis yang
berkaitan dengan sistem organisasi sosial, dengan jelas diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
Tengah Nomor 14 Tahun 1998 tentang Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I
Kalimantan Tengah. Pada Bab I pasal 1
Perda tersebut menjelaskan bahwa :
(1).
Kedamangan adalah kesatuan masyarakat hukum adat
dalam provinsi Daeah Tingkat I Kalimantan Tengah yang terdiri dari himpunan
beberapa Desa/Kelurahan/Kecamatan yang mempunyai wilayah tertentu yang tidak
dapat dipisah-pisahkan.
(2).
Lembaga adat adalah sebuah organisasi
kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah
tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam
suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta
kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, mengurus dan menyelesaikan
berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat
istiadat dan hukum adat yang berlaku.
(3).
Hak adat adalah hak untuk memanfaatkan sumber
daya yang ada dalam lingkungan hidup warga masyarakat sebagaimana tercantum
dalam lembaga dat, yang berdasarkan hukum adat dan yang berlaku dalam
masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu.
(4).
Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah adalah hukum yang benar-benar hidup
dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dan
tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan
pola-pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
(5).
Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma,
kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Desa dan atau satuan masyarakat lainnya
serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat
sebagiamana terwujud dalam berbagai pola nilai kelakuan yang mempertahankan
kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat setempat.
(6).
Dama Kepala Adat adalah pimpinan adat dari satu
Kedamangan yang diangkat/dipilih berdasarkan hasil pemilihan oleh beberapa
Desa/Kelurahan/Kecamatan yang termasuk dalam wilayah kedamangan tersebut.
(7).
Majelis Adat adalah Dewan Adat yang mengemban
tugas tertentu di bidang pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat
istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, lembaga adat dan hukum adat di
daerah.
(8).
Mantir Adat adalah perangkat adat atau gelar bagi
seorang yang duduk di Majelis Adat.
Selain
Perda tersebut Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah mengeluarkan Peraturan
Daerah Provinsi Nomor 9 Tahun 2001 tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik.
Pada pasal 8 ayat (2) huruf b disebutkan yang dimaksud Masyarakat hukum adat
adalah Majelis Adat setempat; dan huruf c yang dimaksud wajib mentaati adalah
menghormati adat istiadat Daerah Kalimantan Tengah dan meninggalkan adat/budaya
yang tidak sesuai dengan adat/budaya Kalimantan Tengah. Pada pasal 9 ayat 3
menjelaskan, bahwa yang dimaksud Dewan Kehormatan Kemasyarakatan Lintas Etnik
adalah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan yang didirikan dengan maksud dan
tujuan untuk membina persatuan, kerukunan dan persaudaraan.
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah mengeluarkan
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur ekonomi, yaitu di dalam Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 11 tahun 1998 tentang Ijin Usaha Pertambangan Rakyat Bahan Galian
Emas di Provinsi Kalimantan Tengah. Perda ini berlaku secara umum, sehingga
secara implisit berlaku pula bagi masyarakat hukum adat/KAT. Perda ini
mengatur, bahwa setiap bentuk yang berkenaan dengan usaha eksplorasi sumber
daya alam, tidak menimbulkan dampak yang merusak lingkungan, dan tetap mempertahankan
kesinambungan sumber daya alam.
Selanjutnya dalam upaya mengatur sistem komunikasi, Pemeriantah Daerah
mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2002 tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi untuk Keperluan Khusus Radio dan Televisi Siaran
Lokal. Perda ini dimaksudkan, agar setiap media massa lokal (terutama
elektronik) agar menjadi media promusi yang efektif bagi pembangunan wilayah;
dan mempu menyajikan informasi yang obyektif dan seimbang, sehingga ikut
mendukung proses transformasi sosial budaya masyarakat.
- Hukum Tidak Tertulis
b.
Kewilayahan
Wilayah masyarakat hukum adat dibatasi oleh wilayah tertentu, seperti
sungai, bukit/batu-batuan, rawa-rawa, dan hutan. Wilayah masyarakat hukum adat
ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan adat berdasarkan
hak pengurusan wilayah yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat. Hak ulayat
atas tanah tersebut penguasaannya secara kolektif, dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan bersama warga masyarakat hukum adat.
c.
Kebudayaan
Masyarakat hukum adat di Kabupaten Kapuas selain menganut agama Islam,
mereka juga memiliki kepercayaan Kaharingan.
Masyarakat hukum adat memeluk kepercayan ini dan bebas melaksanakan
ibadah sesuai dengan keyakinannya.
Masyarakat memiliki sistem organisasi sosial yang dinamakan Kedamangan.
Eksistensi Kademangan ini sebagai lembaga adat memiliki aturan adat (istiadat)
yang mengikat masyarakat hukum adat. Lembaga adat ini mengatur upacara adat
dalam siklus kehidupan manusia, hubungan antar sesama manusia dalam suatu
komunitas, hubungan ketua adat dengan masyarakat dan hubungan manusia dengan
alam sekitar dan dengan Tuhan pencipta alam.
Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat hukum adat sudah memanfaatkan
teknologi modern. Aturan adat memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk
menggunakan teknologi yang memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Namun demikian, aturan adat tetap mengendalikan penggunaan
teknologi yang merusak kehidupan sosial budaya mereka.
Berkaitan dengan pengetahuan dan
pendidikan, masyarakat sudah menyadari pentingnya pengetahuan dan pendidikan
untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu, aturan adat
memberikan kelonggaran kepada anak-anak dari masyarakat hukum adat untuk
menempuh pendidikan, meskipun harus meninggalkan kampung halaman.
Kegiatan ekonomi masyarakat bergantung
pada alam sekitar. Dalam pemanfaatan alam, masyarakat senantiasa menjaga
kelestarian alam yang didasarkan pada keyakinaan, bahwa alam akan memberikan
apa yang diperlukan apabila alam tersebut dijaga dengan baik. Tidak menebang
pohon sembarangan, terutama pohon madu tempat penghidupan lebah madu. Dalam pemanfaatan alam masyarakat senantiasa
dibebani dengan tanggung jawab moral untuk memelihara alam demi anak keturunan
sampai kapanpun.
Komunikasi antar warga masyarakat
menggunakan bahasa daerah setempat yang berlaku secara turun temurun, meskipun
penggunaan bahasa daerah setempat ini tidak secara eksplisit di atur oleh hukum
adat. Proses interaksi sosial masyarakat luar, mendorong masyarakat hukum adat
untuk mempelajari bahasa nasional. Selain itu, masyarakat juga sudah terbuka
terhadap informasi dari luar melalui radio maupun televisi. Kemudian untuk
berkomunikasi dengan orang luar yang tidak dapat berbahasa daerah setempat,
masyarakat menggunakan bahasa Indonesia.
Kesenian tradisional masih ada, namun proses pelestariannya masih
sangat kurang. Generasi muda kurang diperkenalkan dengan kesenian tradisional,
baik dalam bentuk tari-tarian maupun musik tradisional - , sehingga dapat
mengancam kepunahan kesenian tradisonal. Di dalam aturan adatpun memang ada
kewajiban bagi lembaga adat maupun masyarakat untuk tetap mempertahankan seni
budaya lokal. Namun demikian pengaruh kesenian modern yang dibawa oleh warga
yang bekerja di kota, atau dibawa oleh
masyarakat yang secara intensif melakukan transaksi dengan orang kota, sudah
mulai memasuki kehidupan masyarakat hukum adat, seperti tape recoreder dan video.
- Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a.
Implementasi
1).
Secara yuridis sudah ada pengakuan Pemerintah Daerah
terhadap lembaga adat (Kedamanangan), tanah adat, hak adat, hukum adat, adat
istiadat dan Damang Kepala Adat.
2).
Aturan hukum adat sudah mulai longgar daya pengikat
terhadap perilaku masyarakat. Hal ini antara lain sebagai pengaruh dari proses
interaksi dengan masyarakat kota, dan penyebaran teknologi informasi yang tidak
dapat dikendalikan oleh lembaga adat. Salah satu pengaruh dari lemahnya
ketaatan terhadap hukum adat tersebut, yaitu terjadinya konflik sosial antar
warga masyarakat.
b.
Kendala
Pengakuan hukum merupakan hal yang
sangat penting, karena akan menentukan eksistensi masyarakat hukum adat, dan
pemenuhan hak dan kebutuhan masyarakat hukum adat tersebut. Namun demikian
masih ditemukan berbagai kendala dalam implementasi hukum, yaitu :
1). Dalam praktiknya belum ada komitmen
yang sungguh-sungguh dari pemerintah daerah untuk pemberdayaan masyarakat hukum
adat.
2). Kurangnya prasarana/sarana yang
mendukung kelembagaan adat setempat.
3). Tidak ada biaya yang mendukung
kegiatan pada kelmbagaan adat.
4). Kurangnya wawasan masyarakat terhadap
hukum adat sebab belum tersedia hukum adat secara tertulis.
5).
Belum
tersedia data tentang masyarakat hukum adat dan kelembagaan adat.
- Harapan
Dalam upaya pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat, sehingga
mereka dapat menjalani kehiduan sebagaimana msyarakat pada umumnya, yaitu :
1). Terakomodasinya kepentingan Masyarakat
hukum adat.
2). Agar Masyarakat hukum adat di
Kalimnatan Tengah memiliki jaminan hukum yang pasti terhadap eksistensi dan
hak-hak adat yang ada di sekitar mereka.
3). Hukum adat dapat dikukuhkan dengan
Undang-Undang maupun Peraturan Daerah sesuai dengan keberadaan dan
kepentingannya.
4). Kelembagaan adat mendapat bantuan
pendanaan sesuai kebutuhan.
5). Kesadaran masyarakat terhadap hukum
adat semakin meningkat, sehingga dapat mencegah terjadinya konflik antar
kelompok masyarakat.
6). Ada pengakuan melalui
peraturan/yuridis formal secara tegas dan jelas terhadap eksistensi masyarakat
hukum adat.
H. PROVINSI BANTEN
- Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Masyarakat Baduy merupakan penduduk Desa Kanekes, Kecamatan
Luewidamar Kabupaten Lebak. Secara georafis Desa Kanekas terletak di aliran
Sungai Ciujung pada pegunungan Kendeng. Sebagaimana disebutkan di dalam
Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2003 tentang Penetapan Batas-Batas
Wilayah Detail Tanah Ulayat Masyarakat hukum adat Baduy, bahwa luas Desa
Kanekes sama luasnya dengan luas tanah ulayat yang didiami oleh Masyarakat
Baduy, yaitu 5.136,58 Ha. Artinya, batas-batas wilayah Desa Kanekes sama dengan
batas-batas wilayah tanah ulayat Masyarakat Baduy.
b. Kebudayaan
Pemeritah Kabupten Lebak
memperhatikan dengan sungguh/sungguh keberadaan Masyarakat Baduy sebagai
masyarakat hukum adat. Perhatian Pemerintah Kabupaten Lebak diwujudkan melalui
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan
Lembaga Adat Masyarakat Baduy, yang selanjutnya Perda ini dikenal dengan Perda
Lembaga Adat.
Adapun alasan Pemerintah
Kabupaten Lebak melakukan pembinaan dan pengembangan terhadap adat istiadat dan
lembaga adat Masyarakat Baduy, yaitu :
Pertama, untuk mencegah pengaruh dari luar yang akan merusak
nilai-nilai positif adat istiadat Masyarakat Baduy,
Kedua, agar adat istiadat Masyarakat Baduy, sebagai milik
nasional dapat lebih berdaya guna bagi kelangsungan pembangunan, ketahanan
nasional, menunjang kebudayaan nasional dan kelangsungan jalannya pemerintahan.
Upacara adat yang perlu dibina dan dikembangkan misalnya upacara seba (persembahan hasil bumi), sistem
perkawinan dan sistem pengendalian diri dan lingkungan.
Dinilai masih ada
kelemahan pada SK Gubernur Jawa Barat tahun 1968 dan Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 13 Tahun 1990, maka kemudian pada tahun 2001 diterbitkan Peraturan Daerah
Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Baduy
(Perda Ulayat Baduy). Perda ini dimaksudkan untuk melindungi pelanggaran hukum
adat yang dilakukan oleh orang luar. Contohnya, orang luar berkebun di tanah
ulayat Masyarakat Baduy dengan menanam komoditas yang justru dilarang oleh
hukum adat Masyarakat Baduy, dan praktek penebangan kayu di hutan lindung
Baduy. Selain itu dalam upaya mengamankan fungsi wilayah ulayat Masyarakat
Baduy sebagai sumber mata air, mencegah banjir dan melindungi hewan-hewan dari
tindakan perburuan orang luar.
Kemudian berkenaan dengan
pemerintahan desa, diterbitkan Peraturan Daerah Kabupten Lebak Nomor 5/2003
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupataen lebak Nomor 29 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Desa,
berlaku umum. Bab VI dari Perda mengatur tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan
Pengembangan Adat-Istiadat serta Lembaga Adat. Dengan tegas diatur mengenai
larangan bagi anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) dan kepala desa untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
norma-norma adat istiadat atau norma-norma yang hidup dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat.
Pemerintah Daerah
mengalokasikan dana untuk mendorong Masyarakat Baduy terus terbuka dengan dunia
luar. Ini juga dilakukan dengan maksud agar Masyarakat Baduy sejajar dengan
masyarakat lain terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Cara yang
dilakukan adalah dengan mewarnai desa-desa yang ada di sekitar Desa Kanekes.
Misalnya, membangun mesjid dan sekolah atau memberikan TV.
Dinas Informasi,
Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata adalah dinas yang memiliki tugas pokok
dan fungsi yang bersinggungan dengan adat istiadat. Tupoksi itu tepatnya di
bawah tanggung jawab Sub Dinas Seni dan Budaya yang salah satu fungsinya adalah
melestarikan dan mengembangkan nilai budaya serta meningkatkan pelestrian adat
istiadat yang positif. Antara lain
mendukung upacara-upacara adat semacam seba atau sereen taon.
2.
Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Aspek kewilayah yang didiami oleh Masyarakat Baduy telah
diatur secara tertulis melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lebak. Melalui Perda
tersebut diakui eksistensi tanah ulayat dan hak-hak Masyarakat Baduy untuk
memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Selain ditetapkan secara yuridis melalui
Perda, secara kultural Masyarakat Baduy telah memiliki wilayah ulayat untuk
menjalani kehidupannya yang diperoleh secara turun temurun. Perasaan sebagai
pemilik atas anah ulayat ini yang kemudian menjadi dasar Pemerintah Daerah
untuk memberikan pengakuan secara yuridis atas wilayah Masyarakat Baduy.
c. Kebudayaan
Desa Kanekes terdiri atas
52 kampung atau dusun. Tiga diantaranya adalah Kampung Baduy Dalam dan sebanyak
49 kampung adalah Kampung Baduy Luar. Istilah Baduy Dalam dan Baduy Luar
menggambarkan pembagian kelompok sosial. Masing-masing memiliki peranan yang
berbeda, namun memiliki satu sistem pemerintahan (adat dan negara). Pusat
pemerintahan adat terletak di Baduy Dalam, dengan Puun sebagai pimpinan adatnya. Ada tiga Puun yang memimpin pemerintahan adat di Desa Kanekes atau
Masyarakat Baduy. Ketiga Puun ini
tinggal di kampung yang berbeda. Puun dibantu oleh Girang Seurat yang membidangi masalah keamanan, dan Jaro Tangtu yang mewakili Puun setiap kampun dan juga berperanan
sebagai juru bicara untuk
hubungan-hubungan luar.
Sedangkan pemerintahan
negara/desa dijalankan oleh struktur yang lain. Kepala Desa dinamakan dengan Jaro Pamarintah yang tinggal di kalangan
Baduy Luar. Jaro Pamarintah dibantu
oleh sekretaris desa atau carik.
Orang yang menjabat sebagai carik
berasal dari luar Masyarakat Baduy,
karena terampil membaca dan menulis. Tatanan sosial Orang Baduy masih
mengandalkan adat, adat istiadat dan hukum adat sebagai sumber nilai dan norma.
Adat istiadat dan hukum adat masih hidup bersamaan dengan terawatnya alam dan
bertahannya kelembagaan adat.
Untuk membantu pekerjaan
sehari-hari, Masyarakat Baduy menggunakan teknologi yang sederhana, yang
dikembangkan oleh mereka sendiri secara turun-temurun. Mereka masih belum bisa
menerima teknologi modern, karena dinilai tidak sesuai dengan adat istiadatnya.
Pengetahuan yang berkenaan
dengan tata kehidupan ekonomi, sosial, budaya, agama dan lingkungan pada
umumnya diperoleh secara turun temurun. Masyarakat masih belum terbuka terhadap
pendidikan modern (sekolah formal).
Sistem ekonomi yang dikembangkan bersifat subsisten dan lebih
berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam, seperti bertani, atau
berladang. Mereka mengolah tanah ulayat, yaitu tanah adat yang dikuasai secara
kolektif.
Masyarakat Baduy dalam
berkomunikasi antar mereka menggunakan adalah bahasa sunda. Namun demikian
sebagian dari mereka sudah mampu berbahasa Indonesia, terutama ketika
berkomuniaksi dengan orang luar. Mereka masih konsisten melestarikan seni dan
budaya lokal seperti : musik tradisional, upacara adat (seba dan seren taon)
dalam siklus kehidupan masih dijalankan, dan dilestarikan secara turun temurun.
3.
Implementasi
dan Kendala Pengakuan Hukum
a.
Implementasi
Pemerintah Provinsi Banten dan
Kabupaten Lebak, sampai saat ini tetap konsisten menganggap Masyarakat Baduy
sebagai masyarakat hukum adat. Anggapan inilah yang melahirkan sejarah panjang
pengakuan hukum terhadap Masyarakat
Baduy. Pengakuan Pemerintah Daerah bahwa Masyarakat Baduy adalah masyarakat
hukum adat dengan wilayah dan hak-hak atas wilayahnya, diawali oleh Keputusan
Gubernur Jawa Barat Nomor 203/B.V/Pem/SK/68 tentang Penetapan Status ”Hutan
Larangan” Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai ”Hutan Larangan” dalam Kawasan Hak
Ulayat Adat Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya pada tahun 1986 keluar lagi
Keptusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 140/Kep.526-Pemdes/1986,
tentang Penetapan Kanekes sebagai desa definitif yang memberikan pengakuan
secara tegas mengenai luas dan batas-batas kawasan tanah ulayat Masyarakat
Baduy, sehingga mencegah berbagai tindakan penyerobotan dari luar.
b.
Kendala
Ada sejumlah kendala dalam implementasi
hukum dalam kerangka pemberdayaan masyarakat hukum adat, yaitu :
1). Pemerinta Daerah Kabupaten Lebak tidak
memiliki rancangan program, terbatasnya anggaran dan sarana/prasarana untuk
memfungsikan lembaga adat.
2). Masih sering terjadi pelanggaran hukum
dari orang luar, misalnya penebangan kayu, penggembalaan kerbau di lahan
pertanin dan pengambilan daun aren.
3). Pelanggaran tersebut belum diberi
sanksi yang tegas, ada kesan polisi pun malas untuk meneruskan dengan malakukan
penyidikan.
4.
Harapan
Dalam kerangka penguatan dan
pemberdayaan Masyarakat hukum adat, maka diharapkan :
1).
Diterbitakannya Peraturan Presiden yang mengatur
Perlindungan Masyarakat Baduy, mengingat Perda yang ada dalam implementasinya
masih menghadapi kelemahan.
2).
Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak memiliki rancangan
program yang jelas, dan anggaran serta sarana/prasarana untuk memfungsikan
lembaga adat.
3).
I. PROVINSI SULAWESI SELATAN
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Hukum tertulis menyangkut aspek kewilayahan masyarakat
hukum adat tertampung di dalam Peraturan Daerah
Nomor 9 Tahun 21 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat
dan Lembaga Adat. Pengakuan secara tertulis tehadap eksistensi adat istiadat
dan lembaga adat tersebut tidak secara jelas mengatur wilayah masyarakat hukum
adat.
b. Kebudayaan
Komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang,
Provinsi Sulawesi Selatan terkait dengan pemberdayaan masyarakat hukum adat,
yaitu dengan dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2001 tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Bab
I Ketentuan Umum, pasal 1 menjelaskan bahwa :
a). Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang
sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam
sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam satu masyarakat hukum adat di
dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengakui,
mengatasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan,
dengan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.
b). Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah atau
kegiatan sosial yang berubah dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat Desa atau satuan masyarakat lainnya, serta nilai atau
norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat sebagaimana terwujud
dalam berbagai pola kelakuan yang merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan
masyarakat setempat.
Kemudian pada Bab IV Pasal
5 ayat (1) disebutkan, bahwa Lembaga Adat berkedudukan sebagai wadah atau
organisasi permusyawaratan/ permufakatan kepala adat/ketua adat atau pemuka
adat lainnya yang berada di luar organisasi pemerintah. Pada ayat (2)
disebutkan, bahwa Lembaga Adat mempunyai tugas, yaitu :
1). Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada
pemerintah serta menyelesaikan perselisihan menyangkut hukum adat-istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
2). Memberdayakan, melestariakan dan mengembangkan adat
istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah
serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.
3). Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta
obyektif antara kepala adat/pemangku adat dan pemuka adat dengan aparat
pemerintah di daerah.
Pada ayat (3) dijelaskan,
jika ada perbedaan pendapat antara lembaga adat dan aparat pemerintah di
daerah, perbedaan itu diselesaikan dengan musyawarah/mufakat. Apabila tidak
berhasil diselesaikan maka penyelesaian dilakukan oleh Kepala Pemerintahan dan
Lembaga Ada yang lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat hukum adat setempat.
Selanjutnya pada Bab V
Pasal 6 ayat (1) ditegaskan, bahwa Lembaga Adat mempunyai hak dan kewajiban,
yaitu :
a). Mewakili masyarakat
hukum adat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat hukum adat.
b). Mengelola hak-hak adat
dan atau harta kekayaan adat dan meningkatkan kemajuan dan taraf hidup
masyarakat menjadi lebih baik.
c). Menyelesaikan
perselisihan yang mencakup perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasan
masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pada ayat (2) ditegaskan,
bahwa Lembaga Adat berkewajiban :
a). Membantu
kelancaran penyelenggaraan pemerintah pelaksanaan pembangunan dan
pembinaan kemasyarakatan, terutama dalam pemanfaatan hak-hak adat dan harta
kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat hukum
adat setempat.
b). Memelihara stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yang luas kepada
aparat pemerintah terutama, pemerintah desa atau kelurahan dalam melaksanakan
tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, pelaksanaan
pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis.
c). Menciptakan suasana
yang dapat menjamin
terpeliharanya kebhinekaan adat dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan
bangsa.
Pada bab VI Pasal 7
disebutkan, bahwa susunan organisasi Lembaga Adat ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah mendapat persetujuan BPD. Pada Bab III Pasal 4 ayat (5) dalam Peraturan Daerah nomor 19
Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan
Lembaga Adat; disebutkan bahwa tujuan pembinaan adalah untuk meningkatkan sikap
positif terhadap adat istiadat dan lembaga adat dapat mencapai taraf hidup yang lebih baik.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Kewilayah ditetapkan secara turun temurun dengan luas
wilayah tetap, dan bahkan cenderung berkurang. Sebagian wilayah penguasaannya
secara kolektif atau ulayat, dan
sebagian lain penguasaannya oleh perorangan.
b. Kebudayaan
Masyarakat hukum adat dipimpin oleh Pemangku Adat/Penghulu
yang memiliki kewenangan mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat dalam berbagai
kepentingan. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka masih mengembangkan nilai
gotong royong dan senantiasa berupaya mengatasi permasalahan yang terjadi
secara bersama-sama.
Transformasi pengetahuan dan teknologi secara turun terumun
dari generasi ke generasi, terutama pengetahuan
dan teknologi yang berkaitan dengan musim, flora fauna, hari baik hari
buruk, ramuan obat atau gejala-gejala alam yang berdampak terhadap kehidupan
masyarakat.
Sistem mata pencaharian hidup yaitu mengolah alam seperti
berkebun, bersawah dan berladang serta nelayan. Meskipun sumber ekonomi mereka
tergantung dari alam, namun mereka tidak pernah merusak alam. Mereka memegang
teguh kearifan lokal dalam berinteraksi dengan alam yang memberikan kehidupan turun
temurun bagi anak cuku mereka.
Dalam berkomunikasi antar mereka, digunakan bahasa setempat
yang khas yang kadang tidak dapat dimengerti oleh komunitas yang lain.
Penggunaan bahasa mengikuti struktur berdasarkan status sosial dalam
masyarakat.
Kemudian untuk mempertahankan adat istiadat, mereka
menyelenggarkaan berbagai upacara adat dalam siklus kehidupan manusia, seperti
pada saat kehamilan, kelahiran, turun tanah, dikhitan, menikah dan meninggal
dunia. Selain upacara adat, masyarakat hukum adat juga masih memelihara seni
budaya lokal yang merupakan warisan leluhur mereka. Seni budaya dalam bentuk
tarian, musik dan tarian tradisional biasanya ditampilkan bertepatan dengan
hari-hari tertentu untuk melengkapi upacara adat. Di kalangan Suku Bugis ada
seni sastra yang tertulis dalam lontar yang menggunakan aksara Bugis/Makasar.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Implementasi pengakuan hukum oleh Pemerintah Daerah
dirasakan masih belum optimal. Hal ini dapat dicermati dari belum adanya
Peraturan Daerah yang memberikan perhatian secara khusus terhadap kehidupan masyarakat
hukum adat.
b. Kendala
Implementasi pengakuan
hukum masih dihadapkan pada beberapa kendala, yaitu :
1). Belum adanya kemauan politik dari Pemerintah
Daerah untuk memberikan pengakuan hokum terhadap eksistensi Masyarakat hukum
adat.
2). Belum ada Peraturan Daerah yang mengatur secara
khusus, termasuk aspek hukum kepemilikan tanah ulayat.
4. Harapan
Agar Masyarakat hukum adat memperoleh pengakuan hukum
secara memadai, maka diharapkan :
a. Adanya Peraturan Daerah yang secara
khusus memberikan pengakuan secara hukum terhadap eksistensi dan hak-hak
Masyarakat hukum adat.
b. Pemerintah mengembangkan program
”pembangunan budaya” berdampingan dengan pembangunan ekonomi dan politik.
J. PROVINSI BALI
1.
Hukum
Tertulis
1.
Kewilayahan
Masyarakat hukum adat di Bali tinggal dalam suatu desa adat yang
dikenal dengan Desa Pakraman. Eksistensi desa adat ini telah memperoleh
pengakuan dari pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.
2.
Kebudayaan
Kehidupan beragama/kepercayaan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.di dalam Bab V Pasal 1.
Pemerintah Daerah menjamin setiap orang bebas menjalankan ibadah sesuai dengan
ajaran Hindu, dan menghormati masyarakat untuk melakukan ritual pada hari-hari
tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam ajaran Hindu.
Semua aspek aktivitas perilaku berpola yang telah membudaya dalam
interaksi manusia dalam suatu masyarakat yang diperankan melalui nilai, norma,
serta wadah struktur keorganisasian yang dibentuk, merupakan sistem organisasi
sosial. Berkenaan
dengan sistem organisasi sosial diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman Bab VII Pasal 1.
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur menggunaan/pengembangan
teknologi belum ada. Meskipun demikian
pemerintah daerah terus mendorong seluruh masyarakat untuk mengembangkan teknologi
tepat guna yang akan memberikan manfaat bagi kehidupan yang lebih baik.
Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman yang mengatur
pengetahuan/pendidikan terdapat pada Bab
IV Pasal 4. Selain itu melalui kebijakan
dan program dinas pendidikan, pemerintah daerah memberikan kesempatan kepada
putra-putra daerah termasuk dari masyarakat hukum adat untuk berpartisipasi
dalam pendidikan. Program-program bantuan pendidikan pun, diluncurkan oleh
Pemerintah Daerah, yang menjangkau seluruh anak-anak yang sedang menempuh
pendidikan.
Berkenaan dengan aspek ekonomi,
Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman di dalamnya antara lain mengatur
fungsi desa adat untuk membantu pemerintah dalam menjaga, memelihara dan
memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Selain itu di dalam Peraturan Daerah (Perda)
tentang Desa Pakraman mengatur bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.
Selanjutnya, Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman di dalamnya
mengatur dengan jelas, bahwa salah satu fungsi
desa adat adalah membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam
rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada
umumnya dan kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salungkung sabayantaka/ musyawrah untuk mufakat.
2. Hukum Tidak
Tertulis
a.
Kewilayahan
Desa adat dibatasi oleh wilayah tertentu, dimana menurut hukum adat
disebut ”Prabumian Desa” atau Wewengkon Bale Agung” . Wilayah desa
adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan desa adat
berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat
desa adat.
b. Kebudayaan
Agama Hindu menempati posisi ”superstruktur” bersama dengan
nilai-nilai, cita-cita dan simbol ekspresif lainnya. Kemudian desa adat
(Pakraman) sebagai lembaga berkedudukan sebagai ”dasar” bersama norma dan
organisasi lainnya. Agama Hindu merupakan payung bagi norma hukum adat (awig-awig) dan organisasi sosial desa
adat. Dengan demikian ajaran Hindu akan terwujud dalam norma-norma adat
kehidupan Krama Desa Adat.
Desa
Adat (Pakraman) sebagai lembaga sosial keagamaan yang bertindak sebagai wadah
dan sekaligus pengawas pelaksanaan kegiatan agama di tingkat desa. Desa
Pakraman sejak awal telah ditata untuk menjadi desa religius, dibentuk berdasarkan
konsep-konsep dan nilai-nilai filosofis Agama Hindu. Oleh karena itu, pengurus
Desa Pakraman bukan Kepala Desa, melainkan Ketua (Kubayan, Bayan, Kelihan, Kiha, Kumpi, Sanat, Tuha-tuha), yang
bermakna guru spiritual lokal di desa.
Desa
Pakraman terus mengadakan penyesuaian sesuai dengan asas Desa Mawa Cara. Desa adat mempunyai hak untuk mengurus rumah
tangganya sendiri atau mempunyai otonomi. Hak dari desa adat mengurus rumah
tangganya bersumber dari hukum adat, tidak berasal dari kekuasaan pemerintahan.
Desa Pakraman memiliki banjar sebagai pembagian wilayah
kerja yang sudah sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Bali. Desa ini
punya tugas dan kewajiban mengurus pura (kahyangan)
desa. Berbeda dengan desa-desa pada umumnya, sesungguhnya Desa Pakraman ini
”pasraman” tempat melakukan penempaan diri di bidang pengamalan dharma, untuk
mendapatkan Catur Purusa Artha.
Kemudian konsep dan nilai dasar dalam
hubungan sosial dan kekerabatan adalah ’tat
twam asli’ dimana konsep ini melahirkan nilai-nilai ; kerukunan (saling asah, saling asih, saling asuh,
salunglung sabayantaka), keselaran (sagilik
saguluk, briuk sapanggul), dan kepatutan (paras-paros, ngawe sukaning wong len).
Awig-awig adalah aturan hukum yang mengatur hubungan sosial antar
warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Apabila ada warga masyarakat yang
dinilai melanggara awig-awig tersebut, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan
aturan adat yang berlaku.
Sebagai masyarakat terbuka, masyarakat
hukum adat di Bali leluasa untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi dalam
berbagai bidang kehidupan. Meskipun demikian, pemanfaatan dan pengembangan
teknologi tersebut tetap harus memperhatikan aturan adat dan ajaran Hindu.
Masyarakat hukum adat leluasa dalam
berpartisipasi dalam pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai
daerah tujuan wisata internasional, setiap warga diberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk mempelajari berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan
bahasa asing, pemandu wisata, souvenir dan
seluk beluk kepariwisataan.
Fungsi desa adat untuk membantu
pemerintah menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk
kesejahteraan masyarakat desa adat. Tentu saja pemanfaatan kekayaan desa adat
tidak keluar dari rambu-rambu yang telah diatur di dalam aturan adat, dan
dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahtyeraan bersama.
Ciri Bali yang istimewa adalah agama, adat dan budaya yang menyatu dan
ini telah menjadi jati diri masyarakat Bali. Oleh karena itu, kesenian sebagai
salah satu bentuk kongkrit dari kebudayaan sudah menyatu dalam kehidupan
masyarakat Bali. Berbagai bentuk kesenian tradisional, baik tari, musik (tabuh), pahat, anyaman dan nyanyian
tradisional (kidung) dikembangkan
oleh masyarakat melalui padepokan (sanggar seni) secara turun temurun.
3. Implementasi
dan Kendala Pengakuan Hukum
a.
Implementasi
Masyarakat hukum adat yang tinggal di Desa Pakraman sangat diakui oleh
pemerintah daerah dan masyarakat. Secara yuridis sudah ada pengakuan Pemerintah
Daerah terhadap lembaga adat (Kedamanangan), tanah adat, hak adat, hukum adat,
adat istiadat dan Kepala Desa Adat.
b.
Kendala
Sejauh ini tidak
ada kendala yang dirasakan dalam implementasi hukum adat, karena agama, adat
dan budaya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat secara turun temurun, dan
terus dilembagakan dengan baik oleh pemerintah maupun lembaga adat.
4.
Harapan
a.
Pembinaan desa adat dan adat istiadat Bali ke arah
keberdayaan, kelestarian dan perkembangan dalam upaya meningkatkan peranan dan
fungsi desa adat dan adat istiadatnya. Melalui pembinaan ini bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang Trepti
(tertib, tertata/teratur, sesuai tatanan masyarakat), Kerta (damai, tenteram, aman, harmonis), dan Jagadhita (sejahteralahir batin, adil, dan makmur).
b.
Pembinaan dan mengefektifkan berfungsinya lembaga
peradilan desa yang kongkrit de facto
dilaksanakan oleh Prajuru Desa Adat. Masalah yang berhubungan dengan adat dan
agama akan efektif apabila ditangani oleh Prajuru sebagai hakim desa.
K. NUSA TENGGARA BARAT
1. Hukum Tertulis
a.
Kewilayahan
Hukum tertulis yang berupa Peraturan Daerah Provinsi maupun
Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang secara khusus mengatur
kewilayahan Masyarakat hukum adat hingga saat ini belum ada. Meskipun demikian
Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten memberikan pengakuan terhadap lembaga adat
pada Suku Sasak dengan penguasaan wilayah yang berupa tanah ulayat. Tanah
ulayat tersebut kepemilikannya secara kolektif berdasarkan hukum adat, dan
dalam penggunaannya sesuai hukum adat
dan persetujuan dari kepala suku.
b.
Kebudayaan
Pemerintah daerah tetap mempertahankan kondisi hukum adat
yang selama ini ada. Salah satu bentuk perhatian Pemerintah Daerah terhadap
eksistensi lembaga dan hukum adat tersebut adalah diresmikannya lembaga adat di
Desa Sukrarane di Kecamatan Sikra Barat Kabupaten Lombok Timur, meskipun belum
dikukuhkan secara yuridis. Lembaga adat di desa Sukrarane ini diharapkan
sebagai contoh penerapan hukum adat yang dikembangkan menjadi lembaga
pendidikan adat lebih mengedepankan penanaman nilai moral berbasis kelembagaan
adat.
Khusus pada Suku Sasak,
kelembagaan adat dilandaskan pada agama Islam, sedangkan pengembangan budaya
berkembang melalui budaya susunjaga
sebagai warisan dari Sunan Giri dan Sunan Kalijaga.
Musyawarah dan mufakat
selalu ditekankan dalam Suku Sasak. Ada tiga tokoh masyarakat/adat yang
berperanan dalam pembangunan masyarakat, yaitu ;
a). Pengusung, adalah kepala desa selaku kepala pemerintahan yang
mengelola administrasi pemerintahan.
b). Penghulu, adalah tokoh agama atau tuan guru yang senantiasa
berperanan memberikan nasehat kepada seluruh masyarakat dengan merujuk pada
Al-Quran dan Hadist.
c). Pemangku adalah ketua adat tempat masyarakat meminta nasehat dan
petunjuk dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Berbagai artefak
kebudayaan masyarakat memperoleh perhatian dari Pemerintah Daerah NTB dengan
dibangunnya Taman Budaya NTB. Di dalam taman budaya tersebut, hasil karya yang
bernilai seni budaya dari berbagai suku di NTB. Namun demikian dokumen tertulis
yang menjelaskan kebudayaan masyarakat tersebut banyak yang sudah aidak
terdokumentasikan.
2. Hukum Tidak Tertulis
a.
Kewilayahan
Masyarakat hukum adat Suku Sasak di Kabupaten Lombok, dan
Suku Mbojo di Kabupaten Bima mendiami suatu wilayah secara berkelompok. Mereka
telah mendiami wilayah tersebut secara turun temurun, sehingga terbentuk sistem
kekerabatan yang kuat. Penguasaan wilayah tersebut secara kolektif, dan
karenanya tidak dapat dimiliki secara pribadi. Hal-hal yang berkenaan dengan
pemanfaatan wilayah ulayat tersebut diatur secara adat dan dikendalikan oleh
Kepala Suku. Sedangkan Suku Samawa di
Kabupaten Sumbawa hidup berkelompok dan berpindah-pindah dari satu daerah ke
daerah lain.
b.
Kebudayaan
Di Provinsi Nusa Tenggara
Barat terdapat tiga suku besar, yaitu Suku Sasak, suku Mbojo dan Suku Samawa.
Suku Sasak mendiami Pulau Lombok, dan mereka masih mempertahankan eksistensi
kelembagaan adat melalui Balai Adat. Kemudian Suku Mbojo atau kenal pula dengan
dana Mbojo (Tanah Bima) mendiami Kabupaten Bima, Dompu dan sekitarnya.
Selanjutnya Suku Samawa mendiami Sumbawa dan sekitarnya. Suku ini hidupnya
berpindah-pindah dari satu wilayah ke wialayah lain.
Keberadaan lembaga adat di
Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya kasus Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur telah banyak membantu
pemerintah dalam menyelesaikan persoalan hukum yang terjadi pada masyarakat.
Ketika hukum formal tidak mampu menyelesaikan persoalan masyarakat, maka hukum
adatlah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut selama
tidak bertentangan dengan hukum pemerintah. Prinsip hukum adat yang
dikembangkan bersifat universal, sehingga sampai saat ini Pemerintah Provinsi
NTB tetap menerapkan hukum adat dalam membangun nilai-nilai kesetikawanan
sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai contoh
penyelesaian masalah hukum melalui hukum adat, yaitu pada kasus Desa Sukrarare.
Di desa ini, administrasi pemerintah desa dilaksankaan oleh pemeritnah desa,
akan tetapi penyelesaian masalah hukum diselesaikan melalui hukum adat oleh
kelembagaan adat. Penyelesaian permasalahan melalui hukum adat tersebut dilakukan
di Balai Adat. Semua keputusan hukum dilahirkan melalui Balai Adat, sehingga
seluruh masyarakat dapat hadir untuk melihat dan memberikan saran yang pada
akhirnya pengusung, penghulu dan pemangku memutuskan melalui upacara adat
apabila aspek hukum dipandang benar dan perlu mendapat perhatian secara
seksama. Hukum adat di NTB tidak menghendaki keputusan salah atau benar. Akan
tetapi harus mengarah pada perdamaian yang diselesaikan dengan musyawarah
mufakat. Dalam penyelesaian permasalahan itu terjaga perasaan masing-masing
pihak yang bermasalah.
Balai Adat dibangun atas
swadaya masyakaat, dan dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Selain sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan warga, Balai Adat juga
digunakan untuk pelestarian dan penanam nilai budaya. Melalui Balai Adat ini
diharapkan adat istiadat Suku Sasak mampu mengikuti perkembangan jaman tanpa
harus mengalami pelunturan nilai budaya. Melalui Balai Adat ini terbangun
komitmen, bahwa budaya bukan sesuatu yang tertutup, akan tetapi diharapkan
mampu diterapkan sebagai bagian dari kehidupan.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Pemerintah Daaerah
Provinsi maupun Kabupaten mengakui eksistensi Masyarakat hukum adat,
kelembagaan adat, adat istiadat dan struktur yang mengendalikan aktivitas pada
kelembagaan adat. Namun demikian pengakuan tersebut belum didukung dengan
perangkat perundang-undangan (misal dalam bentuk Perda), sehingga belum
memiliki kekuatan secara yuridis.
b.
Kendala
Kendala
yang masih dirasakan implementasi pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum
adat adalah masih rendahnya komitmen Pemerintah Daerah untuk memberikan
perlindungan terhadap dokumen yang bersifat tradisional, sehingga dokumen yang
sangat berharga tersebut mudah ke tangan orang asing.
4. Harapan
a.
Pemerintah Daerah wajib untuk melindungi seluruh dokumen
hukum adat yang tertulis diberbagi buku perundang-undangan yang bersifat
tradisional, sehingga membatasi keluarnya dokumen tersebut pada kolektor.
b.
Pemerintah Daerah mengupayakan pengembalian seluruh
benda bersejarah yang dimiliki kolektor di luar negara Indonesia.
L. PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
1.
Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1974 menerbitkan Peraturan
Daeah Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 8
Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penegasan Hak Atas Tanah. Bab I pasal 1 (3)
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”tanah” ialah tanah bekas pengusaan
masyarakat hukum adat/tanah suku. Kemudian pada pasal 2 (1) dinyatakan ”tanah
bekas penguasaan masyarakat hukum adat, dinyatakan sebagai tanah-tanah di bawah
penguasaan Pemerintah Daerah cq Gubernur Kepala Daerah. Secara tersirat,
terbitnya peraturan tersebut sebagai gambaran semakin berkurangnya hak atas
tanah ulayat di bawah penguasan masyarakat hukum adat dengan alasan tertentu,
dan berpindah menjadi di bawah penguasan Pemerintah Daerah.
b. Kebudayaan
Pemerintah Daerah
Kabupaten Rote Ndao menerbitkan Peraturan Daerah No. 21 tahun 2006 tentang
Pemberdayaan dan Perlindungan Usaha Tenun Ikat. Di dalam Bab II pasal 2 (1)
dinyatakan, bahwa maksud dari pemberdayaan dan perlindungan usaha tenun ikat
adalah (a) mendorong masyarakat agar secara serius menekuni usaha tenun ikat.
Kemudian pada pasal 2 (2) dinyatakan, bahwa pemberdayaan dan perlindungan usaha
tenun ikat adalah (a) melestariakn karya seni yang terkandung di dalam hasil
karya tenun ikat, (b) meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat dan
(c) mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan
kerja.
Sebagaimana diketahui,
bahwa masyarakat hukum adat banyak yang menekuni usaha tenun ikat. Oleh karena
itu, keluarnya Perda ini akan memberikan pemberdayaan dan perlindungan pula
terhadap masyarakat hukum adat, khususnya di bidang ekonomi. Melalui Perda ini
diharapkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat hukum adat akan semakin
lebih baik, dan seni budaya mereka (dalam bentuk tenun ikat dengan corak yang
khas) dapat dilestarikan.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Hak atau kliam atas suatu wilayah sudah diatur secara
ulayat (tanah suku, hutan suku) yang batas-batasnya diakui oleh komunitas lain
di desa. Wilayah dikuasai oleh suku dan pemanfaatannya diatur oleh kepala suku
(raja) untuk seluruh warga secara turun temurun. Penentuan batas-batas wilayah
menggunakan simbol/tanda seperti pohon, menyusun batu karang menyerupai tugu,
dan mengunakan batas sungai. Berkenaan dengan kewilayahan ini, masyaralat hukum
adat mengenal tempat-tempat keramat seperti hutan keramat, hutan larangan,
kawasan perburuan binatang dan kawasan bercocok tanam.
b. Kebudayaan
1). Agama/Kepercayaan
Agama sudah dianut oleh
sebagai besar masyarakat, namun kepercayaan kepada leluhur masih sangat kuat.
Misalnya, di Sumba masih ada masyarakat yang belum memeluk agama samawi. Mereka
masih menganut agama nenek moyang mereka yang disebut ”merapu”. Kemudian di
Kepulauan Raijua, masyarakat menganut kepercayaan ”jinitui”. Masyarakat masih
melakukan upacara tradisional seperti upacara di kebun, sawah, upacara bangun
rumah adat, memohon turunnya hujan, upacara perkawinan adat, kematian dan
lain-lain yang dilaksnakan secara turun temurun yang sangat boros.
2). Sistem organisasi sosial
Terdapat pranata sosial
(lembaga adat) yang mengatur urusan adat istiadat perkawinan, kematian dan
lain-lain. Tiap-tiap suku di dalam suatu kelompok dibebani biaya sesuai
kebutuhan yang harus dipenuhi walaupun dengan cara berhutang. Masyarakat hukum
adat sudah mengenal pimpinan formal, namun pengaruh pimpinan informal (kepala
suku dan tetua-tetua adat) masih sangat kuat.
3). Teknologi
Teknologi yang dimiliki
merupakan warisan leluhur, seperti dalam bercocok tanam, mengolah makanan dan
beternak. Mereka sudah mengenal peralatan dari besi (parang, linggis dll) yang
dibuat oleh pandai besi warga desa. Peralatan rumah tangga memanfaatkan
bahan-bahan lokal, seperti piring makan dan sendok nasi terbuat dari tempurung
kelapa. Pengaruh teknologi sudah mulai memasuki desa dan sebagian masyarakat
sudah mulai mengikuti perkembangan teknologi informasi (TV, HP dsb).
4). Pengetahuan/pendidikan
Sistem pengetahuan diperoleh
secara turun termurun dari leluhur mereka. Pengetahuan tentang kebiasaan baik
dan buruk sudah tertanam/diajarkan sejak kecil (bertutur kata, hormat kepada
orang tua, berdoa, dan tidak melawan orang tua dll). Dalam sistem pengobatan,
masyarakat hukum adat menggunakan ramuan tradisional, dimana pengetahuan
pengobatan ini diperoleh secara turun temurun. Misalnya, memakan daging tokek
untuk penyembuhan sakit asma, dan memakan daun pucuk jambu batu untuk
pengobatan sakit diare.
5). Ekonomi
Sebagian masyarakat dalam
perdagangan masih menggunakan sistem barter. Misal, jagung ditukar dengan ikan
dll. Selain berladang dengan sistem tebas bakar secara berpindah-pindah,
masyarakat mengembangkan kerajinan rakyat seperti tenun dan anyaman. Sebagian
masyarkat posisinya dalam berdagang sebagai penerima harga, bukan sebagai
penentu harga. Informasi tentang harga hasil pertanian, tenun, anyaman atau
nelayan tidak diketahui oleh warga masyarakat. Harga barang dalam transaksi
jual beli sepenuhnya diatur oleh pembeli.
6). Bahasa /Komunikasi
Bahasa daerah digunakan
sejak lahir sampai usia sekolah. Bahasa daerah menjadi alat komunikasi utama
dalam berinteraksi antar mereka. Saat sekolah anak-anak diajarkan bahasa
Indonesia. Dan sebagian dari masyarakat hukum adat sudah bisa berbahasa Indonesia
ketika berkomunikasi dengan orang luar. Kemudian dalam menyampaikan berita
duka, masyarakat hukum adat menggunakan giring-giring yang diikatkan pada leher
kuda; dan memukul kentongan sebagai isyarat panggilan guna mengikuti pertemuan.
7). Kesenian
Banyak kesenian
tradisional yang diatur oleh masyarakat desa secara turun temurun. Jenis-jenis
seni budaya tradisional seperti gong, ikusai, tebe, seruling bambu, tarian dan
lagu tradisonal, permaian rakyat seperti gasing dan lain-lain. Seni budaya
tradisioonal tersebut dipentaskan pada hari besar menurut hitungan adat atau
kepercayaan yang mereka anut. Namun demikian, generasi muda sudah banyak yang
tidak menguasai seni budaya tradisonal tersebut, sehingga merupakan ancaman
serius dalam pelestariannya.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
Terhadap KAT
a.
Implementasi
Meskipun secara yuridis
belum ada pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, tetapi secara informal
Pemerintah Daerah masih mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. Pengakuan
ini antara lain dengan dilakukannya pengukuan kepala suku oleh pemerintah
dengan menggunakan istilah ”mane leo”. Namun demikian hak mereka atas tanah
ulayat semakin berkurang karena beralih menjadi dibawah penguasan pemerintah.
b. Kendala
Untuk memperoleh pengakuan hukum dalam rangka peningkatan
keberdayan, masyarakat hukum adat masih
dihadapkan oleh berbagai kendala, yaitu :
1). Belum ada aturan yang
jelas yang mengatur secara yuridis tentang masyarakat hukum adat.
2). Masih adanya sikap dari
masyarakat hukum adat yang tidak mau menerima perubahan yang berasal dari luar.
3). Perbedaan status sosial,
kedudukan di dalam masyarakat hukum adat itu sendiri, dimana masih adanya
kelas-kelas sosial dalam masyarakat atau kasta.
4). Terbatasnya sarana
informasi yang dapat diakses oleh masyarakat hukum adat.
5). Ada pihak-pihak luar yang
dengan sengaja memprovokasi msyarakat hukum adat untuk menentang kebijakan
pemerintah, demi kepentingan pihak luar tersebut.
6). Pada umumnya masyarakat
hukum adat tinggal di kawasan yang secara geografis sulit dijangkau.
7). Pemerintah Daerah masih
melihat masyarakat hukum adat sebagai obyek.
4. Harapan
Untuk memperoleh pengakuan
hukum dan peningkatan keberdayaan masyarakat hukum adat, maka diharapkan :
a.
Adanya aturan hukum yang jelas, yang mengatur eksistensi
masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya, seperti hak ekonomi, sosial,
politik, hukum dan sipil serta
kelestarian sumber daya alam.
b.
Adanya pola pembinaan/pemberdayaan masyarakat hukum adat
yang sistematis dan terukur.
M. PROVINSI
PAPUA
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua (selanjutnya disebut otonomi khusus Papua) sarat dengan pengaturan
mengenai hak-hak masyarakat hukum adat. Pada bagian Penjelasan Umum ditegaskan,
bahwa : ”... pengakuan terhadap eksistensi hak
ulayat, adat, masyarakat hukum adat dan hukum adat.”
b. Kebudayaan
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menegaskan keberadaan masyarakat
hukum adat, dan hak-haknya atas sumber daya alam tidak terlepas dari
dasar-dasar hukum yang mendasari. Undang-undang ini mengatur keberadaan
masyarakat hukum adat dan hak-hak atas sumber daya alam, sebagai berikut :
1).
Pengakuan keterwakilan masyarakat hukum adat dalam proses
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Pengakuan ini dinyatakan
dengan menjadikan wakil-wakil masyarakat hukum adat sebagai salah satu unsur
dalam Majelis Rakyat Papua (MRP). Selain itu
juga wakil dari kelompok agama dan perempuan. Jumlah wakil adat di MRP
seluruhnya 1/3 dari jumlah MRP atau 14 orang. Urgensi keterwakilan masyarakat
hukum adat di dalam MPR adalah :
a). Melalui MRP masyarakat hukum adat dapat
melindungi hak-haknya dari tindakan pelanggaran dan pengabaian oleh pemerintah
dan pemerintah daerah.
b). MRP dapat menyalurkan aspirasi masyarakat
hukum adat dan memfasilitasi penyelesaian masalah yang terjadi pada masyarakat
hukum adat.
2). Perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat, yaitu hak atas tanah dan hak atas kekayaan intelektual,
sebagaimana diatur pada pasal 43 dan
pasal 44.
Hak atas tanah meliputi hak bersama
atau hak ulayat dan hak perorangan (penjelasan pasal 43 ayat (2)). Namun
pengakuan terhadap hak ulayat disertai dengan catatan-catatan, yaitu :
a). Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum
adat bukan penguasa adat
b). Penguasa adat hanya bertindak sebagai
pelaksana dalam mengelola hak ulayat.
3).
Pengakuan terhadap peradilan adat (pasal 51) Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua meletakkan peradilan adat sebagai peradilan perdamaian
yang tidak boleh menjatuhkan hukuman pidana, penjara atau kurungan. Pengakuan peradilan
adat diharapkan dapat mengurangi korban peradilan negara dalam menyelesaikan
sengketa perdata atau perkara pidana yang melibatkan warga masyarakat hukum
adat
4).
Dalam pasal 64 ayat (1) menegaskan. bahwa Undang-Undang
juga mewajibkan pemerintah Provinsi Papua untuk menghormati hak-hak masyarakat
hukum adat dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup. Program inventarisasi,
pengukuran dan pemetaan tanah-tanah ulayat di Provinsi Papua akan dilakukan
oleh pemerintah Kabupaten/ Kota dengan menggunakan dana dari APBD Provinsi dan
Kabupaten/ Kota.
Dalam pasal 6 Undang-Undang Otonomi
Khusus, mengatur mengenai bidang sosial :
1). Pemerintah provinsi memberikan
perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi,
terpencil dan terabaikan di Provinsi Papua.
2). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
Berkaitan dengan ekonomi, Pemerintah Kabupaten Jayapura mengeluarkan
Peraturan daerah Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian
kawasan Hutan Sagu. Peraturan Daerah ini dikeluarkan sebagai upaya untuk
melindungi kawasan hutan sagu sebagai cadangan bahanmakanan lokal, yang
cendeung semakin berkurang dari tahun ke tahun. Bab IV tentang Pemanfaatan dan
Pengelolaan pada pasal 8 (2) menegaskan bahwa ”kegiatan pengembangan kawasan
hutan dilakukan bersama masyarakat setempat”. Kemudian pada bab VII tentang
Larangan pada pasal 14 (2) menegaskan bahwa larangan penjualan dan atau
pelepasan tanah pada kawasan hutan sagu, baik hak miliki perrorangan maupun
milik bersama atau hak ulayat. Apabila Peraturandaerah (Perda) ini dapat
berjalan efektif, maka Masyarakat hukum adat di Papua tidak akan pernah
menghadapi kekurangan cadangan bahan makanan sepanjang tahun.
Selanjutnya berkaitan dengan pengaturan wilayah masyarakat hukum adat,
saat ini dibuat Rancangan Perda Khusus Hak-hak Masyarakat hukum adat. Rancangan
ini disiapkan sebagai respon terhadap peraturan yang telah ada karena dinilai :
1).
Belum terdapat ketentuan-ketentuan yang dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan kongkrit untuk membedakan antara hak ulayat dengan hak
perorangan, apakah hak ulayat meliputi tanah, hutan dan perairan
2).
Rancangan Perdasus tanah layat dilihat masih harus mengacu
pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi namun wilayah
pelestariannya dibayangkan tidak hanya di luar kawasan hutan, tetapi juga di
dalam kawasan hutan.
3).
Pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan SDA
setiap sektor sebaiknya dilandasi oleh Perdasus yang mengakui hak-hak
masyarakat hukum adat
4).
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) sudah membuat
pokok-pokok pikiran sebagai bahan untuk menyusun Perdasus mengenai suku-suku
terasing, Perdasus ini akan menjadi Peraturan Pelaksanaan dari pasal 66
Undang-undang Otonomi Khusus.
Kemudian Pemerintah Daerah Provinsi juga telah menyiapkan Rancangan
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang Penanganan Khusus terhadap Suku-Suku Terasing, Terpencil dan Terabaikan
di Provinsi Papua. Rancangan yang telah disiapkan sejak tahun 2002 ini
sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah betapa pentingnya pembangunan sosial
yang khas di Provinsi Papau. Terutamam bagi suku-suku terisolir, terpencil dan
terabaikan.
Pada Bab II diatur hak-hak masyarakat suku terabaikan, yaitu hak
menikmati semua bentuk pelayanan pembangunan yang meliputi pendidikan, kesehatan,
perbaikan gizi, sanitasi, perbaikan perkampungan, sandang, pangan dan informasi
pembangunan; dan hak atas pembinaan secara berkesinambungan dalam segala aspek
kehidupan.
Kemudian pada bab III diatur penanganan dan pembinaan suku terbaikan,
dimana pasal 3 dan psal 4 mengatur kewajiban Pemerintah Daerah untuk melakukan
studi sosial guna memperoleh data populasi dan pesebaran suku-suku terabaikan,
menyusun prorgam dan model penanganan, pemberian bantuan, tidak memberikan tekanan yang memaksa yang
menyebabkan suku-suku terabaikan kehilangan harga diri, dan pelibatan kelompok
masyarakat dalam pembangunan.
Selanjutnya pada bab IV diatur pemberdayaan kelompok suku terabaikan,
dimana pada pasal 5 dan pasal 6 mengatur tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam
penyiapan program pemberdayaan, kebijakan khusus, menyediakan forum peran serta
masyarakat, pola pendampingan, dan kemitraan dalam pemberdayaan.
Selanjutnya sebagai bentuk komitmen Pemerintah Provinsi Papua terhadap
Komunitas Adat Terpencil, sebagai bagian dari
suku-suku terisolir, terpencil dan terabaikan sebagaimana diatur di
dalam Rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang Penanganan Khusus terhadap Suku-Suku
Terasing, Terpencil dan Terabaikan di Provinsi Papua tahun 2002, telah
sejak tahun 2003 telah disiapkan rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi
Papua tentang Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil.
Pada bab III pasal 5 pada rancangan peraturan tersebut mengatur peranan
pemerintah, dalam hal kebijakan teknis, pemberian kewenangan kepada Dinas
Kesejahteraan Sosial sebagai unit teknis yang melakukan kegiatan pemberdayaan,
koordinasi fungsional antara pemerintah provinsi dan kabupaten, studi sosial
bersama perguruan tinggi dan standar pelayanan sesuai dengan kebijakan Menteri
Sosial.
Khusus berkaitan dengan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT),
Badan Perncana dan Pengendali Pembangunan Daerah (BP3D) memfasilitasi pertemuan
4 instansi yang menangani pemukiman KAT, yaitu
:
1).
Dinas Kesejahteraan Sosial, Badan Pembangunan Masyarakat
Desa (BPMD), Dinas Kependudukan dan Transmigrasi, serta Dinas Pekerjaan Umum.
Kesepakatan itu adalah pembagian kerja antara Dinas Kesejahteraan Sosial dengan
BPMD dalam hal penanganan masyarakat terisolir atau KAT.
2).
Pembagian kerja :
a). Dinas Kesejahteraan Sosial bertugas
mengumpulkan masyarakat menjadi komunitas yang relatif menetap termasuk di
dalamnya menyediakan perumahan
b). Setelah itu, BPMD tersebut masuk untuk
memfasilitasi pembentukkan pemerintah kampung
c). Pemerintah Provinsi Papua sudah mulai
menganggarkan dana untuk masyarakat terasing yang dikelola oleh BPMD.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Wilayah kekuasaan adat untuk masyarakat Biak berjejeran
dari petak laut atau dalam bahasa setempat ”swan
fior” sampai ke hutan belantara atau ”kannggu”.
Dalam suatu wilayah (bar) terdapat sejumlah kampung.
b. Kebudayaan
Dalam mengatur tatanan kehidupan, masyarakat hukum adat di
Kabupaten Biak mempunyai pranata-pranata adat yang berfungsi mengendalikan pola
relasi adat di antara masyarakat dan dengan alam. Masyarakat hukum adat
mempunyai institusi adat yang merupakan institusi tertinggi, dengan kekuasaan
dan pengaruh yang sangat besar. Ia mengatur aktifitas dan pergaulan hidup antar
warga Masyarakat hukum adat, maupun antara warga masyarakat hukum adat dengan
pihak luar. Masyarakat hukum adat ini memiliki kepala institusi adat (kepala
suku) dengan struktur yang sudah jelas.
Sistem kepemimpinan adat Biak diperoleh karena diwariskan
dan juga pengakuan terhadap jasa dan keberanian seseorang atau menurut Mansoban
(kepemimpinan campuran). Seorang ayah memiliki gelar korano dapat mewariskan gelar itu kepada anak yang ditakini bisa
meneruskan kepemimpinannya. Warga Masyarakat hukum adat yang mengabdi dengan
sungguh-sungguh dan berjasa bagi ksejahteraan masyarakat hukum adat, dipilih
secara demokratis menjadi pimpinan dalam wilayah adatnya. Kekuasaan dalam adat
Biak bisa dijalankan oleh Mambri,
Mananwir, Manpakpok, Benana, Manswabye dan Mansasonanem.
Mambri, adalah pengakuan atas
kepahlawanan seorang tokoh karena keberanian, kejujuran, kemampuannya dalam
melakukan perkara-perkara berr. Misal, menjelajah daerah yang paling jauh, atau
kehebatannya dalam perang. Mananwir,
adalah pemimpin marga atau keret yang
diwariskan atau bergantian kepada keluarga yang lebih dahulu menempati atau
memiliki wilayah adat tertentu. Manpakpok,
adalah seseorang yang jago berkelahi, tukang pukul. Benana, adalah orang yang memiliki banyak harta benda (kaya). Manswabye, adalah seseorang yang pandapi
berbicara atau berdiplomasi. Mansasonanem, adalah seorang pemanah yang handal.
Dari sistem kepemimpinan tersebut, saat ini yang menonjol adalah sistem
kepemimpinan Mananwir sebagai
pemerintahan adat.
Institusi adat di Kabupaten Biak saat ini dikenal dengan
nama ”Dewan Adat Byak (DAB)”, yang lahir atas aspirasi dan dorongan masyarakat
hukum adat Byak. Proses lahirnya DAB dimuali dari kesadaran beberapa tokoh adat
(mananwir) bahwa Masyarakat hukum
adat Biak pada kondisi terpuruk dalam
berbagai aspek kehidupan, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya
dan politik. Dengan demikian lahirnya DAB sebagai media untuk memperjuangkan
atau mengkonsultasikan Masyarakat hukum adat untuk bangkit dari keterpurukan.
3. Implementasi
dan Kendala Pengakuan
b.
Implementasi
Meskipun telah ada perundang-undangan
yang melindungi eksistensi masyarakat hukum adat, lembaga adat dan adat
istiadat di Biak (Papua), pada implementasi belum optimal. Hal ini yang
mendorong, salah satunya kelahiran Dewan Adat Byak (DAB) untuk memperjuangkan
hak-hak mereka dan bangkit dari keterpurukan dalam semua apsek kehidupan.
c.
Kendala
Implementasi pengakuan hukum terhadap
Masyarakat hukum adat belum efektif. Masih ada kendala yang berasal dari
masyarakat sendiri, masyarakat luar maupun pemritnah, yaitu :
1).
Peran dan eksistensi lembaga belum banyak dipahami oleh
orang luar dan bahkan bagi masyarakat hukum adat.
2).
Domain kebijakan sampai saat ini masih dikendalikan oleh
pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
5.
Harapan
Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan Masyarakat hukum adat, maka
peranan dan aktivitas Lembaga Adat perlu ditingkatkan, yaitu :
a. Lembaga Adat tidak hanya mengatur
masalah adat – budaya saja, tetapi juga mengatur masalah sosial, ekonomi dan
hak-hak dasar masyarakat hukum adat dalam pembangunan.
b. Lembaga Adat memiliki peranan untuk
mengontrol lebijakan pemerintah daerah, terutama berkenaan dengan pengelolalan
sumber daya alam, lam diperkuat, diberdayakan dan difasilitasi untuk
meningkatkan apresiasi bersama terhadap nilai-nilai adat, komitmen dan berpihak
kepada masyarakat secara profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya.
BAB IV
DIMENSI YURIDIS
DAN EMPIRIS MASYARAKAT HUKUM ADAT
A.
DIMENSI YURIDIS MASYARAKAT HUKUM ADAT
Negara Republik Indonesia dengan jelas dan tegas mengakui
eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia . Di dalam UUD 1945
Perubahan Kedua, Pasal 18 B ayat (2) menyatakan : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adapt beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undag-undang”. Kemudian di dalam Pasal 28 I ayat (3) Perubahan
Kedua menyatakan :”identitas budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban “.
Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan :” dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras
dengan perkembangan zaman”. Kemudian ayat (2) menyatakan :” identitas budaya masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dngan perkembangan zaman”.
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih
dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada padal 3 menyatakan : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan pada
pasl 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan lain yang lebih tinggi”. Kemudian pada Peratruan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, pada Bab I pasal 1
dijelaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hokum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Dan tanah ulayat adalah bidang
tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat
tertentu.
Selanjutnya di
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pasal 43 tentang Provinsi Papua
menegaskan pemberian perlindungan hak-hak masyarkaat hukum adat, termasuk hak
atas tanah yang dimiliki masyarakat hukum adat secara bersama-sama maupun hak
perorangan pada warga masyarakat hukum adat bersangkutan.
Berdasarkan
Undang-Undang tersebut di atas, bahwa masyarakat hukum adat menjadi bagian dari
warga bangsa Indonesia yang kebutuhan, hak-hak atas tanah dan hak-hak lainnya,
identitas budaya dan hak-hak
tradisionalnya harus diperhatikan dan dilindungi oleh Negara dan Pemerintah.
Hal ini menunjukkan, bahwa Negara dan Pemerintah memiliki komitmen yang besar,
bahwa masyarakat hukum adat tidak boleh tertinggal dan tidak dapat
berpartisipasi dalam proses pembangunan. Sebagaiaman dikemukakan oleh Mulyana
(2006), pemerintah Pusat mewakili Negara harus :
1.
Mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat.
2.
Menghormati
identitas budaya dan hak masyarakat hukum adat.
3.
Memberikan
kesempatan kepada masyarakat hukum adat untuk mengaktualisasikan hak ulayat
sepanjang masih ada dan sesuai dengan kepentingan nasional.
4.
Melakukan
pembinaan dan pemberdayaan kepada masyarakat hukum adat dalam pengelolaan
kehutanan, agar hutan ulayat dapat lestari dan menghasilkan kesejahteraan bagi
masyarakat hukum adat.
5.
Menetapkan
kriteria masyarakat hukum adat.
6.
Menetapkan
pedoman kompensasi untuk masyarakat hukum adat yang kehilangan akses terhadap
hutan akibat penerapan kawasan hutan tertentu, termasuk hilangnya akses untuk
membuka hutan ulayat.
Perundang-undangan
yang secara khusus menjelaskan pembinaan kesejahteraan sosial terhadap
Komunitas Adat Terpencil, adalah Keputusan Presiden RI Nomor 111 Tahun 1999
tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Keputusan Presiden RI tersebut intinya
memberikan kewenangan kepada Departemen Sosial
RI untuk menyelenggarakan program
pembinaan kesejahteraan sosial bagi Komunitas Adat Terpencil. Berdasarkan
Keputusan Presien RI tersebut Departemen
Sosial RI mengembangkan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)
yang secara teknis dilaksanakan oleh instansi sosial di daerah melalui dana
dekonsentrasi (sebagai catatan :
sebenarnya program pemberdayaan KAT
sduah dimulai sejak awal tahun 70-an yang pada waktu itu menggunakan istilah
Masyarakat Suku-Suku Terasing).
Meskipun program
pemberdayaan KAT tersebut sudah lebih tiga dasa warga diselenggarakan oleh
pemerintah Pusat melalui dukungan dana APBN, sebagian besar Pemerintah Provinsi
maupun Kabupaten menunjukkan dukungan yang optimal. Bahkan sebagian Daerah (instansi sosial di Daerah) belum
memiliki struktur organisasi, program dan anggaran yang secara khusus
berhubungan dengan pemberdayaan KAT.
Kurangnya
kosistensi antara komitmen Pusat dengan Daerah (Provinsi dan Kabupaten) dapat
dicermati dari belum tersedianya Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten
yang mengatur pemberdayaan dan perlindungan masyarakat hukum adat (termasuk
KAT). Baru sebagian kecil Pemerintah Provinsi dan Kabupten yang sudah
menerbitkan Peraturan Daerah atau Keputusun Gubernur dan Bupati. Dari Peraturan
Daerah yang ada, pada umumnya memusatkan perhatian atau pengatur persoalan yang
berkaitan dengan kewilayahan (hak tanah ulayat) dan sistem organisasi sosial
(lembaga adat dan struktur organisasi pengelola lembaga adat). Sedangkan
persoalan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak untuk akses terhadap
pelayanan sosial dasar belum diatur di dalam Peraturan Daerah tersebut.
Oleh karena
belum ada payung hukum di tingkat Daerah, maka penghormatan, penghargaan, atas
perlindungan eksistensi dan hak-hak masyarakat hukum adat serta program-program
pemberdayaan bagi mereka belum dapat dilaksanakan. Hal ini menggambarkan, bahwa
para admainistrator pembangunan di Daerah cenderung mengalami bias pemikiran,
bahwa pembangunan sosial (khususnya pemberdayaan masyarakat hukum adat), tidak
memberikan umpan balik dan keuntungan secara ekonomis; dan oleh karena itu
belum perlu ditempatkan sebagai program prioritas.
Padahal,
masyarakat hukum adat adalah warga bangsa sebagaimana warga bangsa pada
umumnya. Oleh karena itu mereka harus diposisikan sebagai potensi dan sumber
daya pembangunan. Maka dari itu, sudah selayaknya Pemerintah Daerah Provinsi
dan Kabupaten melaksanakan fungsi dalam
kerangka menghormati, menghargai dan melindungi masyarakat hukum adat.
Menurut Mulyana (2006), ada sejumlah
fungsi dan tugas yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan
Kabupaten, yaitu :
1.
Melindungi
masyarakat termasuk masyarakat hukum adat.
2.
Meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat.
3.
Melestarikan
nilai sosial budaya.
4.
Menetapkan
kriteria kesatuan masyarakat hukum adat dan kriteria teknis hak ulayat.
5.
Menerbitkan
Perda yang mengatur perlindungan terhadap masyarakat hukum adat, hak ulayat,
mekanisme dan prosedur penetapan hak ulayat, serta pembinan masyarakat hukum
adat.
6.
Menyelenggarakan
pembinaan terhadap masyarakat hukum adat, khususnya menyangkut pembinaan fungsi
sosial hak ulayat dan pelestarian adat budaya daerah, serta pengembangan
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam budaya lokal.
Pemikiran
Mulyana (2006) tersebut apabila dapat diimplemetntasikan oleh Pemerintah Daerah
tentu akan mengangkat harkat dan martabat masyarakat hukum adat sejajar dengan
warga masyarakat pada umumnya. Namun kenyataan yang terjadi, bahwa sampai saat
ini Pemerintah Daerah masih cukup sulit untuk merealisasikan butir-butir
tersebut. Padahal pihak pemeritnah pusat melalui Departemen Dalam Negeri telah
mendorong Pemerintah Derah untuk memberikan kritik dan saran perbaikan apabila
Peraturan dan Perundang-undangan (Undang-undang Peraturan Pemerintah maupun
Keputusan Presiden) tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan.
B.
DIMENSI EMPIRIS MASYARAKAT HUKUM ADAT
Secara empiris hamper
setiap daerah (provinsi dan kabupaten) di Indonesia , dapat ditemukan
masyarakat hukum adat. Mereka dicirikan dengan sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Secara empiris mereka mendiami
daerah yang secara geografis terpencil dan sulit dijangkau, tidak terjangkau
oleh pelayanan sosial dasar, dan sumber penghidupannya sangat bergantung pada
alam.
Mereka hidup dalam
berbagai keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan sosial dasar, seperti sandang,
pangan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Mereka mengkonsumsi makanan
jauh dari strandar gizi yang diajurkan, memakai pakaian yang tidak pantas,
menempati rumah yang tidak layak huni, kesehatan yang memburuk dan tidak bisa
berpartisipasi dalam pendidikan. Oleh karena keterbatasannya dalam memenuhi
kebutuhan sosial dasar tersebut, maka mereka mengalami hambatan untuk dapat
menjaga kelangsungan hidupnya atau angka kematian pada mereka relative cukup
tinggi (lihat Manurung, 2006).
Dalam kondisi yang
senantiasa diliputi keterbatasan tersebut, masyarakat hukum adat dihadapkan
dengan berbagai permasalahan, seperti semakin berkurangnya ruang gerak mereka
disebabkan menyempitnya tanah ulayat yang pindah ke tangan inverstor. Di Provinsi
Riau maupun di Provinsi Sumatera Utara, masyarakat hukum adat banyak kehilangan
tanah ulayatnya karena diolah oleh PTP untuk perkebunan karet dan kelapa
sawit. Kemudian sebagian hutan tempat
tinggal masyarakat hukum adat berubah fungsi menjadi hutan lindung, dimana
dengan penetapan sebagai hutan lindung berarti siapapun dilarang untuk memasuki
hutan tersebut. Masyarakat hukum adat rentan menjadi korban eksploitasi dan
atau perdagangan manusia untuk kepentingan pengusaha hutan. Pengusaha hutan
memanfaatkan kebodohan mereka untuk kepentingannya seperti dalam penebangan
liar (illegal loging).
Kondisi tersebut
ditambah lagi dengan semakin kuatnya pengaruh dari luar yang merusak
nilai-nilai dan kearifan lokal yang selama ini dipelihara secara turun temurun.
Lemahnya peraturan pemerintah yang mengatur eksistensi dan hak-hak masyarakat
hukum adat, menyebabkan aturan-aturan adat tidak dihormati dan dihargai oleh
orang-orang dari luar.
Meskipun masyarakat hukum adat dihadapkan
dengan berbagai keterbatasan dan permasalahn,
tetapi mereka sangat kurang disentuh oleh program-program pemerintah.
Alasannya karena mereka mendiami lokasi yang secara geografis terpencil dan
sangat sulit dijangkau, seperti di pedalaman, rawa-rawa, pegugungan dan
perbatasan antar Negara, dan di perairan. Selain itu, sebagian masyarakat hokum
adat masih memiliki pola hidup berpinah-pindah dari satu tempat ke tempat lain
yang jaraknya cukup jauh (nomaden).
Oleh karena tidak terjangkau program pemerintah, maka sebagian dari mereka yang
mendiami kawasan perbatasan antar Negara, seperti masyarakat hokum adat di
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, NTT, Papua dan Kepri; menjadi pelintas batas antar Negara yang
tuannya semata-mata untuk kelangsungan hidup. Terjadinya pelintas batas antar
Negara ini tentu akan menimbulkan persoalan hubungan antar Negara.
Dari sisi
kemanusiaan, kondisi yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat yang tersebar di
30 Provinsi di Indonesia ,
benar-benar sangat memprihatinkan. Mereka sangat membutuhkan dukungan,
perlindungan dan pemberdayaan dari pemeritnah untuk dapat meningkatkan harkat
dan martabatnya. Sebagai warga bangsa, mereka merindukan hak-haknya atas hidup,
kesejahteraan dan hak ulayat atas tanah (lihat LAM Jambi, 2005).
Berdasarkan kondisi
faktual masyarakat hukum adat, maka kebijakan dan program kesejahteraan sosial
bagi mereka merupakan suatu keharusan, sebagai wujud tanggung jawab Negara dan
Pemerintah. Mereka adalah warga Negara (sebagaimana warga Negara Indonesia pada
umumnya) yang memiliki hak untuk hidup sejahtera dan berpartisipasi dalam
pembangunan.
BAB V
PENUTUP
Negara dan Pemerintah mengakui
dan menghargai eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia . Pengakuan dan
penghargaan dari Negara dan Pemerintah tersebut dapat dicermati dari produk
yuridis yang menjadi payung hukum program perlindungan dan pemberdayaan
masyarakat hukum adat, baik oleh instansi Pemerintah sektoral maupun oleh
organisasi sosial/LSM dan dunia usaha. Dari pihak masyarakat, perhatian
terhadap masyarakat hukum adat terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan oleh
organisasi sosial/LSM dalam memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat hukum adat,
antara lain hak atas tanah ulayat, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.
Pengakuan dan penghargaan
terhadap masyarakat hukum adat tersebut menunjukkan adanya kesadaran, bahwa masih
ada masyarakat Indonesia yang menjalani kehidupan yang khas, sarat dengan
nilai-nilai, norma dan adat istiadat yang positif, tetapi dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan. Meskipun demikian, pada era transformasi sosial budaya
yang cepat dewasa ini, mereka masih mampu mempertahankan keserasian hubungan
dengan sesama manusia, alam dan penciptanya. Semua itu adalah bentuk kebudayaan
menjadi modal sosial (social capital)
dalam pembangunan nasional apabila dapat diberdayakan secara optimal.
Sehubungan dengan itu, maka diperlukan
kebijakan dan instrumen yang mampu melindungi dan memberdayakan masyarakat hukum
adat tanpa mencabut mereka dari akar sosial budaya aslinya. Sebagaimana
dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa secara yuridis Negara dan Pemerintah
telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara langsung berkaitan
dengan perlindungan dan pemberdayan masyarakat hukum adat. Namun demikian, kehendak
Negara dan Pemerintah tersebut belum diikuti oleh Pemerintah Provisni maupun
Kabupaten. Sebagian besar Pemerintah Provinsi maupun Kabupten hingga saat ini
belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur/Bupati yang berkenaan
dengan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Implikasi dari
belum tersedianya peraturan perundang-undangan daerah tersebut, maka di
lapangan masih seringkali terjadi permasalahan antara Pemerintah dengan
masyarakat hukum adat yang
berlarut-larut.
Semua pihak tentu tidak
menghendaki terjadinya konflik sosial yang bercorak kekerasan, disebabkan adanya
perlakuan tidak adil dari pihak luar atas hak-hak atas tanah ulayat yang sudah
dikuasai masyarakat hukum adat secara turun temurun. Maka dari itu, apabila
terjadi pengalihan hak atas tanah ulayat kepada dunia usaha, seharusnya
tetap memberikan kentungan kepada
masyarakat hukum adat tersebut.
Terkait dengan itu, sebagai
bagian dari upaya perlindungan hak asasi manusia, Pemerintah Provinsi maupun
Kabupaten perlu menerbitkan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan
dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Peraturan perundang-undagan dimaksud
tentu berpihak kepada kepentingan, harkat dan martabat masyarakat hukum adat
sebagai warga Negara. Potensi yang belum
banyak dipahami oleh orang luar, bahwa masyarakat hukum adat memiliki sistem
kebudayaan yang khas, yang merupakan keragaman potensi dan sumber daya
dalam pembangunan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Rizal (dkk), 2005, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat, Pekanbaru : LPNU Press.
Bahar, Syafroedin, 2006, “Upaya Perlindungan terhadap Eksistensi Hak-hak Tradisional
Masyarakat Adat dalam Perspektif Hakj Asasi Manusia”, dalam Suwarto (dkk),
mengangkat Keberadan Hak-hak Tradisonal : Masyarakat Adat Rumpun Melayu Se-
Sumatera. Pekanbaru : Unri Press.
Dahrendorf,
Ral., 1986, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat
Industri: Sebuah analisa kritik. Jakarta: CV.Rajawali
Dharmayua, Made. Suathawa, 2001, Desa Adat : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Bali : Upada Sastra.
Direktorat
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, 2003,Atlas Nasional Persebaran
Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Ditjen Pemberdayaan Sosial Depsos RI.
Hamid, Abu, 2006, Kebudayaan
Bugis, Makassar : Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
LAM Jambi, 2005, “Fakta dan Pengalaman Lembaga Adat
Propinsi Jambi dalam Memperjuangkan Hak Tanah Ulayat Masyarkat Adat Jambi”,
dalam Rizal Akbar (dkk), Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat, Pekanbaru
: LPNU Press.
Little, Daniel, 1991 Varieties Social Explanation: An
Introducion to the Philosophy of Social Science. San Francisco : Westview Press
Manurung, Butet,
2006. Sokola Rimba : Pengalaman Belajar
Bersama Orang Rimba, Yogyakarta : INSIST
Press.
Mulyana, Agung, 2006, “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat
dalam Rangka Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, makalah disampaikan pada
Musyawarah lembaga adapt Rumpun Melayu se-Sumatera tanggal 14-17 April 200, di
Riau.
M. Yunus Melalatoa, 1995 Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia.
Jilid A-Z. Jakarta :
Terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Parsons, Talcott,
1951 The Social System: The Major
Exposition of the Author & Conceptual Schema or the Analysis of Dynamics of
the Social System. Canada :
Collier Macmillan, Ltd.
Parsudi
Suparlan (Penyunting), 1993, Pembangunan yang Terpadu dan
Berkesinambungan: Keterpaduan Pemanfaatan Sumber-Sumber dan Potensi Masyarakat
Untuk Peningkatan Dan Pengembangan Pembangunan Masyarakat Pedesaan Yang
Berkesinambungan. Jakarta :
Terbitan Balitbangsos Depsos RI
Radcliffe-Brown,
1980, Struktur dan Fungsi Dalam Masyarakat Primitif. Malaysia Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
Dan Pustaka Kementerian Pelajaran.
Rostow, W.W. 1962 The
Process of Economic Growth. New
York : W.W. Norton and Company Inc.
Simarmata
,Rikarda, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia . Regional Initiative on
Indigenous Peoples Rights and Development (RIPP) UNDP Redional Center in
Bangkok.
Suwardi (dkk), 2006, Pemetaan
Adat Masyarakat Melayu Riau Kabupten/Kota
se-Provinsi Riau, Pekanbaru : Unri Press.
Suwarto (dkk), 2006, Mengangkat
Keberadaan Hak-hak Tradisional Masyarakat Adat Rumpun Melayu Se-Sumatera,
Pekanbaru : Unri Press.
Widjaja , A.W. (Ed.) 1986 Manusia
Indonesia :
Individu, Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo
C.V
Wallerstein,
Immanuel, 1997 Lintas Batas Ilmu
Sosial. Yogyakarta: Terbitan LKis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar