Minggu, 28 Januari 2018

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Islam merupakan salah satu agama besar di dunia saat ini. Agama ini lahir dan berkembang di Tanah Arab. Pendirinya ialah Muhammad. Agama ini lahir salah satunya sebagai reaksi atas rendahnya moral manusia pada saat itu. Manusia pada saat itu hidup dalam keadaan moral yang rendah dan kebodohan (jahiliah). Mereka sudah tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran nabi-nabi sebelumnya. Hal itu menyebabkan manusia berada pada titik terendah. Penyembahan berhala, pembunuhan, perzinahan, dan tindakan rendah lainnya merajalela.
Islam mulai disiarkan sekitar tahun 612 di Mekkah. Karena penyebaran agama baru ini mendapat tantangan dari lingkungannya, Muhammad kemudian pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622. Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh dunia.
Muhammad mendirikan wilayah kekuasaannya di Madinah. Pemerintahannya didasarkan pada pemerintahan Islam. Muhammad kemudian berusaha menyebarluaskan Islam dengan memperluas wilayahnya.
Setelah Muhammad wafat pada tahun 632, proses menyebarluaskan Islam dilanjutkan oleh para kalifah yang ditunjuk Muhammad. Sampai tahun 750, wilayah Islam telah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Afrika Utara, Irak, Suriah, Persia, Mesir, Sisilia, Spanyol, Asia Kecil, Rusia, Afganistan, dan daerah-daerah di Asia Tengah. Pada masa ini yang memerintah ialah Bani Umayyah dengan ibu kota Damaskus.
Pada tahun 750, Bani Umayyah dikalahkan oleh Bani Abbasiyah yang kemudian memerintah sampai tahun 1258 dengan ibu kota di Baghdad. Pada masa ini, tidak banyak dilakukan perluasan wilayah kekuasaan. Konsentrasi lebih pada pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Islam. Baghdad menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Setelah pemerintahan Bani Abbasiyah, kekuasaan Islam terpecah. Perpecahan ini mengakibatkan banyak wilayah yang memisahkan diri. Akibatnya, penyebaran Islam dilakukan secara perorangan. Agama ini dapat berkembang dengan cepat karena Islam mengatur hubungan manusia dan TUHAN. Islam disebarluaskan tanpa paksaan kepada setiap orang untuk memeluknya.Islam berkembang ke Indonesia diberbagai daerah seperti pulau jawa

2.      Rumusan Masalah

a)      Kapan islam masuk ke pulau jawa ?
b)      Kerajaan islam apa saja yang ada di jawa ?
c)      Siapa pembawanya dan penyebarnya ?
d)     Dari mana asalnya ?
e)      Jalur apa yang di gunakan ?
f)       Faktor apa yang mendorong islam datang ?
g)      Apa saja bukti peninggalannya ?










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Awal Masuknya Islam Di Jawa
Kapan tepatnya Islam masuk ke Pulau Jawa tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun, penemuan nisan makam Siti Fatimah binti Maimun di desa Leran Kecamatan manyar, dengan jarak sekitar 5 Km kearah jalur Pantura dari kota Gresik yang wafat tahun 1101 M dapatlah dijadikan petunjuk awal masuknya Islam di Pulau Jawa.
Hingga abad ke-13, bukti kepurbakalaan dan berita asing tentang masuknya Islam di Pulau Jawa masihlah sangat sedikit. Baru pada ahkir abad ke-13 M hingga abad-abad selanjutnya terutama semenjak Majapahit mencapai puncak kejayaannya barulah banyak ditemukan petunjuk-petunjuk tentang masuknya Islam di Pulau Jawa, misalnya dengan ditemukannya makam Islam di Troloyo, Trowulan dan Gresik serta berita Ma Huan (1416) yang menceritakannya adanya kehidupan orang-orang Islam di Gresik.
Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa Islam masuk kepulau Jawa melalui pesisir dan pelabuhan-pelabuhan kemudian perlahan dan pasti merambah ke kota-kota dan pedalaman hingga ke dalam lingkungan kerajaan. Ini dibuktikan dengan ditemukannya makam muslim di Trowulan komplek makam para bangsawan Majapahit.
Islam masuk pertama kali dipulau Jawa adalah dikota Gresik Surabaya. Pembawa dan penyebarnya adalah seorang Waliullah yang bernama Maulana Malik Ibrahim yang terkenal dengan sebutan Sunan Gresik
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
B.     Jalur-Jalur Yang Digunakan
Di abad 13 M berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di berbagai penjuru nusantara. Di abad yg sama ada fenomena yg disebut dgn Wali Songo yaitu ulama-ulama yg menyebarkan Islam di Indonesia. Wali Songo berdakwah atau melakukan proses Islamisasi melalui saluran-saluran :
  • Perdagangan
  • Pernikahan
  • Pendidikan (pesantren)Pesantren merupakan lembaga pendidikan yg asli dari akar budaya Indonesia, & juga adopsi & adaptasi khasanah kebudayaan pra Islam yg tdk keluar dari nilai-nilai Islam yg dpt dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat menghargai budaya setempat selama tdk bertentangan dgn nilai- nilai Islam.
  • Seni & budayaSaat itu media tontonan yg sangat terkenal pd masyarakat Jawa pd khususnya yaitu wayang. Wali Songo menggunakan wayang sbg media dakwah dgn sebelumnya mewarnai wayang tersebut dgn nilai-nilai Islam. Yang menjadi ciri pengaruh Islam dalam pewayangan diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala dgn dimasukkannya.
       Tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, & Bagong. Para Wali juga mengubah lagu-lagu tradisional (daerah) dalam langgam Islami, ini berarti nasyid sudah ada di Indonesia ini sejak jaman para wali. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai- nilai Islam.
  • TasawufKenyataan sejarah bahwa ada tarikat-tarikat di Indonesia yg menjadi jaringan penyebaran agama Islam.



C.    Proses Penyebaran Islam Di Jawa
sejarah penyebaran islam di indonesia khususnya pulau jawa yaitu dilakukan oleh para walisongo. Islam masuk pertama kali dipulau Jawa adalah dikota Gresik Surabaya. Pembawa dan penyebarnya adalah seorang Waliullah yang bernama Maulana Malik Ibrahim yang terkenal dengan sebutan Sunan Gresik.
Proses persebaran Islam di Indonesia berlangsung lancar relatif damai. Kelancaran ini dikarenakan syarat-syarat untuk memeluk Islam tidaklah sukar. Seseorang dianggap telah menjadi muslim bila ia mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu pengakuan bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Upacara-upacara dalam Islam juga cenderung lebih sederhana daripada upacara dalam agama Hindu atau Buddha. Salah satu bukti Islam mudah diterima adalah ketika raja Ternate yang nonmuslim tidak keberatan ketika sejumlah rakyatnya memeluk Islam. Bukti lainnya dalah adanya makam bangsawan Majapahit yang beragama Islam. Menurut catatan Tome Pires, kaum bangsawan Hindu-Buddha di Jawa masuk Islam dengan sukarela tanpa paksaan. Penyebaran Islam disampaikan sesuai dengan adat dan tradisi pribumi Indonesia. Islam juga tidak mengenal pengkastaan dan menganggap derajat manusia itu sama.
Faktor lain yang mengakibatkan Islam berkembang adalah keruntuhan Majapahit. Akan tetapi, tidak selamanya proses persebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, berlangsung damai. Menurut Tome Pires, para pedagang asing yang muslim menetap dan membuka pemukiman tersendiri di sejumlah pelabuhan; selanjutnya pemukiman tersebut dijadikan kubu pertahanan mereka dalam menjalankan roda perdagangannya. Setelah kekuatan mereka dirasakan kuat, mereka kemudian menyerang bandar-bandar bersangkutan untuk dikuasai.
Cara-cara kekerasan seperti ini terjadi, misalnya, di bandar-bandar Demak dan Jepara. Sedangkan, proses pengislaman secara damai dilakukan di pantai utara Jawa Timur, seperti di Tuban dan Gresik. Kedudukan kaum pedagang ini menarik sejumlah penguasa Indonesia untuk menikahkan anak gadisnya dengan mereka. Sebelum menikah, si gadis menjadi muslim dahulu. Perkawinan ini lalu membentuk keluarga muslim yang berkembang menjadi masyarakat muslim. Beberapa tokoh penting (raja dan para ulama atau wali Islam) melakukan perkawinan jenis ini. Raden Rahmat (Sunan Ampel) menikah dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Puteri Kawunganten, Raja Majapahit Brawijaya V menikahi seorang puteri Campa yang muslim yang kelak menurunkan Raden Patah, raja Demak pertama.
 Bahkan di antara para wali ada yang pernah berdagang pada masa mudanya. Menurut Babad Gresik, Sunan Giri pada masa mudanya adalah anak angkat Nyai Gede Pinatih, seorang pedagang wanita Cina yang kaya di Gresik. Giri muda pernah pergi ke Kalimantan Selatan untuk urusan bisnis. Sunan Bayat atau Ki Gede Pandang Arang pernah pula bekerja pada wanita penjual beras. Sunan Kalijaga pernah pula berjualan alang-alang.
Selain melalui perkawinan, jalur kesenian digunakan oleh para wali dalam proses islamisasi. Pertunjukan wayang merupakan salah satu sarana kesenian yang digunakan. Tokoh Wali Sanga yang mahir mementaskan wayang adalah Sunan Kalijaga. Kisah yang dipentaskan dikutip dari kakawin Mahabharata atau Ramayana peninggalan masa Hindu-Buddha yang kemudian disisipi nilai-nilai Islam. Selesai pertunjukan, sang dalang tidak meminta upah melainkan mengajak penonton untuk mengucapkan kalimat syahadat.
Tidak ketinggalan, jalur pendidikan pun ditempuh dalam islamisasi ini. Para ulama mendirikan pondok-pondok pesantren (pesantrian) yang terbuka bagi siapa pun untuk belajar menjadi santri. Setelah selesai belajar di pesantren, mereka kembali ke daerah asal dan berdakwah mengajarkan Islam atau disuruh guru mereka menyiarkan Islam di daerah lain.
Tak jarang, orang-orang jebolan pesantren ini tinggal di rumah-rumah para pedagang. Bahkan, seringkali dari mereka yang menjadi pengurus harta (bendahara) kaum pedagang sekaligus memimpin usaha dagang tuan rumah mereka. Kaum ulama yang mendirikan pesantren antara lain: Raden Rahmat di Ampel, dekat Surabaya dan Raden Paku di Giri. Beberapa lulusan Sunan Giri diundang ke Maluku untuk mengajarkan Islam di sana.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan.
Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
D.    Peranan Para Wali dalam Islamisasi
Penyebar Islam yang terkenal di Indonesia, khususnya Jawa, disebut Wali Sanga. Wali ini merupakan adalah dewan mubalig di Jawa yang berbasis di Demak sebagai pusat kegiatan politik dan agama Islam. Tiap wali tersebut pernah menjadi imam pada waktu shalat berjamaah di Masjid Agung Demak. Apabila salah satu anggota dewan wali ini wafat, ia akan digantikan oleh wali lainnya berdasarkan musyawarah.
 Tiap-tiap wali danpanggantinya mempunyai tugas penyiaran agama Islam di Pulau Jawa. Mereka dipanggil dengan sebutan “sunan”, yang berasal dari kata “susuhunan”, kata bagi orang yang terpandang di masyarakat.
1)      Tujuan dan Pengaruh Dakwah Wali Songo Terhadap Masyarakat Jawa
Pertama, adalah menanamkan akidah yang mantap di setiap hati seseorang, sehingga keyakinannya tentang ajaran Islam tidak dicapai dengan rasa keraguan.
          Kedua adalah tujuan hukum. Maka dakwah harus di arahkan kepada kepatuhan setiap orang terhadap hukum yang telah di syariatkan oleh Allah SWT. salah satu upaya para wali dengan menyebarluaskan nilai-nilai Islam kepada masyarakat jawa agar mau memasuki hukum syaria'ah Islam adalah dengan membentuk nilai tandingan bagi ajaran Yoga-Tantra yang berasaskan Malima. Konsep Ma-lima Versi Ulama adalah sebagai berikut : Madat (memakan candu), main (berjudi), maling (mencuri), mimum (minum-minuman keras) dan madon (berzinah).
          Tujuan dakwah yang ketiga adalah menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat jawa. Sehingga terbentuk pribadi muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat-sifat terpuji dan bersih dari sifat tercela. Para wali dalam menanamkan dakwah Islam di Tanah Jawa di tempuh dengan cara-cara yang sangat bijak dan adiluhung.

2)      Wali –Wali Songo:
a. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia (Iran), kemudian berkedudukan di Gresik, Jawa Timur, dan dikenal sebagai Susuhunan atau Sunan Gresik, meninggal pada 1419 M. Ia yang diduga menyebarkan Islam di Jawa ketika Majapahit masih memerintah. Ia dikenal dengan nama Maulana Magribi/Syekh Magribi karena diduga berasal dari Magribi, Afrika Utara. Diperkirakan Sunan Gresik lahir sekitar pertengahan tahun 1350. Setelah dewasa ia menikah dengan seorang putri bangsawan ternama Dewi Candrawulan, putri pertama Ratu Campa yang telah menganut Islam (isteri Raja Brawijaya V Majapahit). Dakwahnya yang simpatik dan arif menyebabkan penduduk lebih cepat menerima Islam.
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)Maulana Malik Ibrahim, keturunan ke-11 dari Husain bin Ali, juga disebut sebagai Sunan Gresik, atau terkadang Syekh Maghribi dan Makdum Ibrahim As-Samarqandy. Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy, berubah menjadi Asmarakandi.  Sebagian cerita rakyat, ada pula yang menyebutnya dengan panggilan Kakek Bantal.Maulana Malik Ibrahim adalah wali pertama yang membawakan Islam di tanah Jawa. Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan yang tersisihkan dalam masyarakat Jawa di akhir kekuasaan Majapahit. Misinya ialah mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Pada tahun 1419, setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
b. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Sunan Ampel (Ngampel), berkedudukan di Ampel Denta di Giri, dekat Surabaya; dan dikabarkan berasal dari Campa, Vietnam (sama dengan ibunya Raden Patah). Nama aslinya adalah Raden Rahmat, putra Maulana Malik Ibrahim dari Dewi Candrawulan. Raden Rahmat dikenal sebagai perencana pertama kerajaan Islam di Jawa dan penerus cita-cita serta perjuangan ayahnya dan mendirikan pesantren di Ampel Denta di Jawa Timur. Ia berhasil mendidik para pemuda Islam untuk menjadi tenaga dai atau ahli kotbah (mubalig) yang akan disebar ke seluruh Jawa. Di antara pemuda yang dididik adalah Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan Demak), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), serta Maulana Ishak yang pernah diutus mengislamkan rakyat di daerah Blambangan.
 Sunan Ampel cukup berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan isterinya pun berasal dari kalangan istana. Ia tercatat sebagai peletak dasar penyebaran politik Islam ke Nusantara. Ia juga ikut andil dalam mendirikan Masjid Agung Demak tahun 1479 bersama wali-wali yang lain. Pada awal islamisasi di Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju kebiasaan masyarakat Jawa, seperti kenduri, selamatan, sesajen, dan sebagainya tetap hidup dalam Islam.
Namun, wali-wali yang lain berpendapat, untuk sementara kebiasaan tersebut dibiarkan saja karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Akhirnya Sunan Ampel setuju. Ia juga menyetujui ketika Sunan Kalijaga dalam usaha menarik penganut Hindu dan Buddha, mengusulkan agar adat-istiadat Jawa diberi warna Islam. Namun Sunan Ampel tetap khawatir adat-istiadat dan berbagai upacara ritual Islam kelak menjadi bid’ah. Sunan Ampel wafat tahun 1481 dan dimakamkan di Surabaya.
c. Sunan Bonang
Nama aslinya Raden Maulana Makhdum Ibrahim. Arti makhdum adalah ulama besar yang harus dihormati. Ia putra Sunan Ampel dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati. Sunan ini berkedudukan di Bonang, dekat Tuban. Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta gending untuk mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar Islam di Pasai (Aceh) ia kembali ke Tuban, Jawa Timur untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang belajar kepadanya datang dari berbagai pelosok Nusantara. Dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan Jawa. Ia menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat). Kemudian dikenal dengan istilah sekatenan.
Gunungan nasi Lanang (pria) dan Gunungan Wadon (wanita) yang biasa diarak pada saat acara sekatenan Maulud, merupakan warisan Sunan Bonang dalam persebaran Islam melalui budaya
Dalam kegiatan dakwahnya Sunan Bonang menjadikan pesantrennya sebagai basis pendidikan agama Islam secara khusus dan mendalam. Catatan pendidikannya kemudian dibukukan dalam buku Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang. Buku ini sekarang masih tersimpan di Universitas Leiden Belanda. Sunan Bonang wafat tahun 1525 dimakamkan di Tuban.
d. Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Raden Rahmat, berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu. Nama kecilnya Raden Kosim atau Syarifudin. Disebut juga dengan Sunan Sedayu karena dimakamkan di daerah Sedayu. Menurut silsilah Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel dari istri kedua bernama Dewi Candrawati. Dalam musyawarah para Wali diputuskan, siapa yang mengganti Sunan Ampel untuk memimpin pesantren Ampel Denta. Dan pilihan jatuh pada Sunan Drajat. Ia terkenal dengan kepandaiannya membuat tembang Pangkur. Hal yang paling menonjol dalam dakwah adalah perhatiannya terhadap masalah sosial. Ia mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan berorientasi pada kegotong-royongan. Sunan Drajat wafat pertengahan abad ke-16 dimakamkan di Sedayu, Gresik.
e. Sunan Giri
Sunan Giri, murid Sunan Ampel, berkedudukan di Giri, dekat Gresik. Nama kecilnya Raden Paku disebut juga Prabu Satmata dan sering dijuluki Sultan Abdul Fakih. Ia putra Maulana Ishak yang ditugasi Sunan Ampel menyebarkan agama Islam di daerah Blambangan. Salah seorang saudaranya adalh Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Jati). Pendidikannya adalah tamatan pesantren di Pasai (Aceh). Ketika beranjak dewasa, Raden Paku belajar di Pesantren Ampel Denta. Berkenalan dengan Raden Maulana Makhdum Ibrahim. Keduanya bersahabatan hingga menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Selama di pesantren Pasai, Raden Paku menimba ilmu ketuhanan, keimanan, dan tasawuf. Tingkat terakhir adalah ilmu laduni sehingga gurunya menganugerahi gelar Ain al-Yaqin dan masyarakat menyebutnya dengan Raden Ainul Yakin. Sunan Giri sangat berpengaruh terhadap jalannya roda-roda Kesultanan Demak Bintoro. Setiap keputusannya selalu disetujui oleh wali-wali lainnya. Sunan Giri wafat tahun 1600, dimakamkan di Bukti Giri, Gresik.

f. Sunan Muria
Nama kecilnya Raden Pratowo sedangkan nama aslinya Raden Umar Said. Ia lebih dikenal dengan nama Sunan Muria karena kegiatan dakwahnya dilakukan di Gunung Muria (18 km sebelah Utara Kota Kudus). Sunan Muria dalam berdakwah memilih daerah pelosok terutama desa terpencil. Sistem dakwah yang disampaikan dengan memberi pendidikan singkat pada kaum pedagang, para nelayan, dan rakyat pedesaan. Cara berdakwah selalu dengan menyisipkan tembang Sinom dan Kinanti yang bernafaskan Islam. Sunan Muria wafat abad ke-16 dimakamkan di Bukit Muria, Jepara.
g. Sunan Kalijaga
Nama aslinya Joko Said, anak Bupati Tuban Raden Tumenggung Wilwatikta. Ibunya bernama Dewi Nawang Rum, berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak; ia menyebarkan ajaran Islam melalui pendekatan budaya dan sangat anti kekerasan; ia adalah menantu Sunan Gunung Jati. Nama kecilnya Raden Mas Syahid (said) dan sering dijuluki Syekh Malaya. Nama Kalijaga berasal dari Qadizaka (Arab), artinya pelaksana yang suci. Berbeda dengan wali yang lainnya, Sunan Kalijaga dalam berdakwah selalu berkeliling dari daerah satu ke daerah lainnya. Isi yang disampaikan sangat intelektual dan nyata. Sehingga banyak masyarakat yang simpati terhadap Sunan Kalijaga. Karena jasanya dalam berdakwah, Suna Kalijaga diberi hadiah oleh Raden Fatah sebagai penguasa Kesultanan Demak Bintoro, berupa sebidang tanah di sebelah tenggara Demak. Tanah tersebut merupakan desa perdikan (desa yang dibebaskan pajak oleh sultan).
Jabatan yang diberikan kepadanya adalah juru dakwah kerajaan. Sunan Kalijaga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau wayang kulit yang bercorak Islami seperti sekarang ini. Dia mengarang aneka cerita wayang secara Islami, terutama berkaitan dengan etika atau adab. Berdakwah melalui pertunjukkan wayang kulit inilah, masyarakat banyak yang tertarik dan masuk Islam. Sunan Kalijaga wafat pada pertengahan abad ke-15, dimakamkan di Kadilangu, Demak.
h. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jafar Sadiq dengan panggilan Raden Undung atau Raden Amir Haji karena jasanya memimpin rombongan haji ke Mekah. Ayahnya bernama Raden Usman Haji yang menyiarkan Islam ke daerah Jipang, Panolan, dan Blora. Menurut silsilah, Sunan Kudus masih keturunan Nabi Muhammad Saw. Ilmunya cukup tinggi dan ahli dalam ilmu fiqih, tauhid, hadis, tafsir, serta mantiq (logika atau filsafat). Karena itulah ia mendapat julukan sebagai Wali al-‘ilmi (orang yang ilmunya luas).
Sunan Kudus sangat berambisi menggulingkan Majapahit secara militer, ialah yang sangat menentang ajaran Syekh Siti Jenar yang cendering mistik; memiliki murid kesayangan yang bernama Arya Penangsang dari Jipang; namun ia sangat membenci Sunan Prawoto dari Demak. Sunan Kudus dikenal juga sebagai panglima perang Kesultanan Demak, Bintoro yang tangguh dan dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia menjadi pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut.


i. Sunan Gunung Jati
Nama lainnya adalah Syekh Nuruddin Ibrahim atau Syarif Hidayatullah, berasal dari Pasai, Aceh, lalu berkedudukan di Gunung Jati, Banten dan kemudian Cirebon untuk membentuk dinasti Islam di kedua tempat tersebut; ia menikahi saudara perempuan Sultan Tranggana. Menurut sumber lokal, nama kecilnya adalah Syarif Hidayatullah yang merupakan cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahir dua putra dan satu putri yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Senggara. Setelah ibunya wafat Raden Walangsungsang meninggalkan keraton untuk belajar Agama Islam pada Syekh Datu Kahfi atau Syekh Nurul Jati di Gunung Ngamparan Jati. Dan adik perempuannya Nyai Lara Santang menyusul belajar agama di tempat yang sama. Setelah tiga tahun menimba ilmu, keduanya menunaikan ibadah haji. Di Mekah, Nyai Lara Santang mendapat jodoh yaitu Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah), bangsawan Arab dari Bani Hasyim.
Walangsungsang setelah ibadah haji kembali ke Jawa dan menjadi guru di Labuhan, Pasambangan, Cirebon. Sementara itu Nyai Lara Santang melahirkan anak, diberi nama Syarif Hidayatullah. Setelah dewasa Hidayatullah memilih berdakwah di Pulau Jawa. Ia kemudian bersilaturahim kepada Walangsungsang yang bergelar Cakrabuana. Setelah pamannya wafat, Hidayatullah melanjutkan perjuangan pamannya menyebarkan Islam di Cirebon dan Cirebon menjadi Kesultanan Islam yang bebas dari Pajajaran. Dari Cirebon ia kemudian menyiarkan agama Islam ke daerah-daerah Jawa Barat yang belum memeluk agama Islam, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Di Banten ia mendirikan kerajaan tahun 1525. Ketika kembali ke Cirebon, Kesultanan Banten diserahkan kepada putranya, Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja Banten.
Di tangan raja-raja Banten inilah kerajaan Hindu Pajajaran dapat dikalahkan dan rakyatnya memeluk Islam. Bahkan, Syarif Hidayatullah menggerakkan penyerangan ke Sunda Kelapa. Penyerangan itu dipimpin Faletehan (Fatahillah), panglima angkatan perang Demak. Fatahillah kemudian menjadi menantu Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah wafat tahun 1570 dimakamkan di daerah Gunung Jati, desa Astana, Cirebon. Maka ia dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.

j. Para Wali Lainnya
Para wali memegang peranan yang besar dalam penyebaran Islam di Jawa. Dengan kesabaran dan kearifan, agama Islam disampaikan kepada masyarakat hingga diterima dan cepat berkembang di Jawa. Di samping Wali Sanga, banyak wali lainnya ikut andil dalam pengembangan Islam di Jawa, meski sebagian dibunuh dan tidak diakui oleh Wali Sanga, seperti:
(1)   Syekh Subakir;
(2)    Sunan Bayat atau Tembayat;
(3)    Sunan Geseng;
(4)    Syekh Mojoagung;
(5)    Syekh Siti Jenar;
(6)    Maulana Ishak dari Pasai, Aceh, mengislamkan rakyat Blambangan (Pasuruan dan sekitarnya) di Jawa Timur bagian timur;
(7)   Syekh Jangkung; pernah berniat mendirikan masjid tanpa izin dan oleh Sunan Kudus akan dihukum mati namun diselamatkan oleh Sunan Kalijaga;
(8)   Syekh Maulana; berasal dari Krasak-Malang, dekat Kalinyamat, murid Sunan Gunung Jati; karena pernah mempermalukan dalam perdebatan tentang ilmu mistik ia dibunuh atas perintah Sunan Kudus.
Dari Pulau Jawa, Islam lalu berkembang ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Islamisasi ke Kalimantan dilakukan oleh para ulama utusan Demak. Sedangkan Islam di Maluku, Ternate, dan Tidore disebarkan oleh Sultan Ternate, Zainal Abidin, setelah belajar ke Giri, Jawa Timur. Makassar diislamkan oleh para mubalig dari Sumatera dan Malaka (Malaysia). Kemudian, orang Makassar mengislamkan orang Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat antara tahun 1540-1550. Sementara itu, penduduk Flores di Nusa Tenggara Timur diislamkan oleh orang Bugis.
Agama Islam masuk ke Nusantara dengan jalur berlainan. Seperti di luar Jawa yakni Sulawesi, penyebar agama Islam di Sulawesi bernama Dato’ri Bandang. Di Kutai, Kalimantan Timur penyebar agama Islam adalah Dato Bandang dan Tuang Tunggang. Peran seorang penghulu di Demak tidak kalah pentingnya dalam penyebaran agama Islam, melalui pengajaran kepada Sultan Suryanullah. Dan masih banyak lagi tokoh yang berperan syiar Islam ke seluruh Nusantara.
Golongan penerima Islam juga melakukan tindakan yang sama, yakni menyebar ajarannya pada masyarakat sekitarnya. Bahkan jika ia seorang bangsawan atau pejabat keraton akan lebih memperlancar jalannya penyebaran tersebut. Berdirinya tempat peribadatan seperti langgar, masjid, majelis taklim, dan sebagainya digunakan juga sebagai syiar agama Islam.
Masjid di Lombok yang terbuat dari dedaunan kering dan kayu; mungkin beginilah bentuk masjid di Indonesia pada awal islamisasi
Seni juga menjadi salah satu saluran proses islamisasi di Nusantara. Cabang-cabang seni yang lebih mudah penyentuh hati masyarakat sekitar adalah seni bangun, seni pahat, seni ukir, seni qasidah, dan sebagainya. Bukti-bukti perkembangannya adalah bangunan Masjid Agung, Demak, Cirebon, Bantem, Banda Aceh yang kemudian menjadi pusat kegiatan syiar Islam ke daerahnya. Di Keraton Cirebon juga kita temukan seni ukir yang bercorak Islami yaitu ukiran lafal ayat-ayat Al Qur’an.
Selain melalui perkawinan, jalur kesenian digunakan oleh para wali dalam proses islamisasi. Pertunjukan wayang merupakan salah satu sarana kesenian yang digunakan. Tokoh Wali Sanga yang mahir mementaskan wayang adalah Sunan Kalijaga. Kisah yang dipentaskan dikutip dari kakawin Mahabharata atau Ramayana peninggalan masa Hindu-Buddha yang kemudian disisipi nilai-nilai Islam. Selesai pertunjukan, sang dalang tidak meminta upah melainkan mengajak penonton untuk mengucapkan kalimat syahadat.
Tidak ketinggalan, jalur pendidikan pun ditempuh dalam islamisasi ini. Para ulama mendirikan pondok-pondok pesantren (pesantrian) yang terbuka bagi siapa pun untuk belajar menjadi santri. Setelah selesai belajar di pesantren, mereka kembali ke daerah asal dan berdakwah mengajarkan Islam atau disuruh guru mereka menyiarkan Islam di daerah lain.
 Tak jarang, orang-orang jebolan pesantren ini tinggal di rumah-rumah para pedagang. Bahkan, seringkali dari mereka yang menjadi pengurus harta (bendahara) kaum pedagang sekaligus memimpin usaha dagang tuan rumah mereka. Kaum ulama yang mendirikan pesantren antara lain: Raden Rahmat di Ampel, dekat Surabaya dan Raden Paku di Giri. Beberapa lulusan Sunan Giri diundang ke Maluku untuk mengajarkan Islam di sana.

E.     Kerajaan-Kerajaan Islam Dijawa

1.      Kerajaan Demak

Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam terbesar di pantai utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kerajaan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo. Lokasi ibukota Kerajaan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Periode ketika beribukota di sana kadang-kadang dikenal sebagai "Demak Bintara". Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke "Prawata" (dibaca "Prawoto").

v  Cikal-bakal
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.
Demak didirikan di perapat terakhir abad ke-15, kemungkinan besar oleh seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Kemungkinan besar puteranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, raja Yunus dari Jepara.
Tradisi Jawa menceritakan bahwa pada masa itu, arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.

v   Di bawah Pati Unus
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.

v  Di bawah Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546).
Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.

v  Kemunduran
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya "dihabisi" oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.
Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.

2.      Kerajaan Banten
    Kerajaan Banten berawal ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1526, pasukan Demak, dibantu Sunan Gunung Jati dan puteranya, Hasanuddin, menduduki pelabuhan Sunda, yang saat itu merupakan salah satu pelabuhan dari kerajaan Pajajaran, dan kota Banten Girang. Pasukan Demak mendirikan kerajaan Banten yang tunduk pada Demak, dengan Hasanuddin sebagai raja pertama. Menurut sumber Portugis, saat itu Banten merupakan salah satu pelabuhan kerajaan Pajajaran di samping Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa (kini Jakarta) dan Cimanuk.
v  Sejarah
Tahun 932, kerajaan Sunda didirikan di bawah naungan Sriwijaya, di kawasan Banten, dengan ibukota di Banten Girang. Kerajaan ini berakhir tahun 1030, dengan mungkin Maharaja Jayabupati sebagai raja terakhirnya, yang memindahkan pusat kerajaan ke pedalaman, di Cicatih dekat Cibadak.
Setelah itu Sunda diperkirakan jatuh di bawah kekuasaan langsung Sriwijaya. Di abad ke-12, lada menjadi bahan ekspor yang berarti bagi Sunda.Dalam bukunya, Zhufan Zhi (1225), Zhao Rugua menyebut "Sin-t'o" sebagai bawahan Sriwijaya tapi menulis bahwa "tidak ada lagi pemerintahan yang teratur di negara itu. Penduduk menjadi perampok. Mengetahui ini, saudagar asing jarang ke sana." Pernyataan ini menunjukkan pelemahan kekuasaan Sriwijaya, yang sendirinya juga menjadi sarang perompak. Menurut Nagarakertagama, setelah raja Kertanegara menyerang kerajaan Malayu tahun 1275, Sunda jatuh di bawah pengaruh Jawa. Namun berkat lada, ekonomi Sunda berkembang pesat di abad ke-13 dan ke-14.
Menurut Carita Parahyangan, Banten Girang ("Wahanten Girang") diserang Pajajaran, negara pedalaman yang juga beragama Hindu-Buddha. Peristiwa ini diperkirakan terjadi di sekitar tahun 1400. Sunda tunduk pada Pajajaran, yang lebih mementingkan pelabuhannya yang lain, Kalapa (kini Jakarta) dan mungkin satu lagi di muara Citarum. Mungkin itu sebabnya Tomé Pires menulis bahwa pelabuhan yang paling besar di Jawa Barat adalah Kalapa. Namun di sekitar tahun 1500, perdagangan internasional bertambah pesat untuk lada dan membuat Sunda lebih kaya lagi.
Jatuhnya Melaka di tangan Portugis tahun 1511 berakibatkan perdagangan terpecah belah di sejumlah pelabuhan di bagian barat Nusantara dan membawa keuntungan tambahan ke Sunda. Ada kemungkinan rajanya masih beragama Hindu-Buddha dan masih tunduk pada Pajajaran. Namun berkurangnya kekuasaan Pajajaran memberi Sunda kesempatan dan peluang yang lebih luas. Raja Sunda, yang diancam kerajaan Demak yang Muslim, menolak untuk masuk Islam.
 Dia ingin bersekutu dengan Portugis untuk melawan Demak. Tahun 1522 Banten dan Portugis menandatangani suatu perjanjian untuk membuka suatu pos di sebelah timur Sunda untuk menjaga perbatasan terhadap kekuatan Muslim.
Tahun 1523-1524, Sunan Gunung Jati meninggalkan Demak dengan memimpin suatu bala tentara. Tujuannya adalah mendirikan suatu pangkalan militer dan perdagangan di bagian barat pulau Jawa. Sunda ditaklukkannya dan rajanya diusir. Saat Portugis balik ke Sunda tahun 1527 untuk menerapkan perjanjian dengan Sunda, Gunungjati menolaknya. Sementara Kalapa juga direbut pasukan Muslim dan diberi nama baru, "Jayakarta" atau "Surakarta" ("perbuatan yang gemilang" dalam bahasa Sangskerta).
Banten kemudian diperintah oleh Gunung Jati sebagai bawahan Demak. Namun keturunannya akan membebaskan diri dari Demak. Tahun 1552, Gunung Jati pindah ke Cirebon, di mana dia mendirikan kerajaan baru.Jatidiri dan kegiatan Gunung Jati lebih banyak diceritakan dalam naskah yang sifat kesejarahannya kurang pasti sehingga terdapat banyak ketidakpastian. Boleh jadi kegiatan militer yang dikatakan dilakukan oleh dia, sebetulnya adalah perbuatan orang lain yang oleh Portugis dipanggil "Tagaril" dan "Falatehan" (yang mungkin maksudnya "Fadhillah Khan" atau "Fatahillah") dan yang dalam sejumlah cerita disamakan dengan Sunan Gunung Jati. Purwaka Caruban Nagari, suatu babad yang dikatakan ditulis tahun 1720, membedakan Gunung Jati dari Fadhillah.
Raja Banten kedua, Hasanuddin (bertahta 1552-1570), memperluas kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung, yang hubungannya dengan Jawa Barat sebetulnya sudah lama. Menurut tradisi, Hasanuddin adalah anak Gunung Jati. Dia menikah dengan seorang putri dari raja Demak Trenggana dan melahirkan dua orang anak.Raja ketiga, Maulana Yusuf (bertahta 1552-1570), menaklukkan Pajajaran di tahun 1579). Menurut tradisi, Maulana Yusuf adalah anak yang pertama Hasanuddin. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kesultanan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kesultanan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Banten karena dibantu oleh para ulama.Tahun 1638 Pangeran Ratu (bertahta 1596-1651) menjadi raja pertama di pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" dengan nama Arab "Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir".
v  Puncak Kejayaan
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara.Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Tiongkok dan Jepang.
Sultan Ageng juga memikirkan pengembangan pertanian. Antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makassar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina di tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, penduduk kota Banten meningkat dari 150 000 menjadi 200 000.

v  Sultan Masa Kekuasaan Haji
Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

v  Penghapusan Kesultanan
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi titik puncak dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Daftar raja Banten

3.      Kerajaan Mataram
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.



v    Masa awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.

v  Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).

v  Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah).
 Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.

v    Peristiwa Penting
  • 1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
  • 1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
  • 1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
  • 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
  • 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
·         1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
  • 1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
  • 1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
  • 1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga
  • 1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
  • 1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.
  • 1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
  • 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
  • 1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
  • 1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723).
  • 1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
  • 1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
  • 1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
  • 1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
  • 1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
  • 1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
  • 1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
  • 1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
  • 1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
  • 1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
  • 1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
  • 1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
  • 1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
  • 1799 - Voc dibubarkan.
  • 1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
  • 1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
4.      Kerajaan Pajang
Setelah memindahkan ke Pajang, mulailah kerajaan Pajang berdiri dengan Jaka Tingkir sebagaif sultannya. Ia bergelar Adiwijaya. Kesultanan ini berada di Kertasura sekarang dan penaklukan ke daerah-daerah sekitar. Ia meluruskan  pengaryhnya ke Banyumas dan Madiun.
Sultan Pajang wafat pada 1587 dan fdigantikan oleh putranya Pangeran Benawa. Usia kesultanan ini tidak panjang karena kemudian kekuasaannya diambil alih oleh kerajaan Mataram.
Pada tahun 1618 Kerajaan Pajang memberontak terhadap Mataram yang ketika itu berada di bawah pimpinan Sultan Agung. Pajang dihancurkan, rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya. Riwayat keajaan pajang berakhir tahun 1618.
5.      Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah Kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Gunung Jati. Pada mulanya Cirebon merupakan daerah kekuasaan pakuan Pajajaran. Akan tetapi, Syarif Hidayat yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati, berhasil meningkatkan status Cirebon sebagai daerah kerajaan.
Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M, dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majlengk, Kuningan, Kawalih,Sunda Kelapa, dan Banten. Dasar pengembangan Islam dan perdagangan kaum muslimin di Banten diletakkan oleh Sunan Gunung Jati tahun1524 atau 1525. ketika ia kembali ke Cirebon Banten diserahkan kepada anaknya Hasanuddin. Keturunan sultan inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Banten.

F.     Bukti Peninggalan Islam diJawa
a)      Masjid
Adalah tempat umat islam melakukan sujud atau shalat. Masjid berbentuk bujur sangkar dan serambi didepanya. Masjid juga terdapat mihrab atau tempat imam memimpin shalat . Di sebelah kanan mihrab terdapat mimbar Tempat khatib memberikan khotbah. Masjid di Indonesia menghadap kearah timur karena arah kiblatnya adalah barat.
Contoh Masjid Peninggalan didaerah jawa :
- Masjid Demak
- Masjid Sendang Duwur di Surabaya
- Masjid agung kesepuhan di Cirebon
- Masjid Kudus d
- Masjid sunan Ngampel
- Masjid Sumenep dll.
b)      Keraton
Adalah tempat tinggal raja bersama dengan keluarganya.
Contoh Kraton peninggalan didaerah jawa :
- Keraton Kesepuhan
- Keraton Kanaman di Cirebon
- Kraton Yogyakarta
- Kraton Surakarta
- Kraton Mangkunegara
c)      Nisan
Adalah bangunan yang terbuat dari batu yang berdiri diatas makam. Berfungsi sebagai tanda adanya suatu makam seseorang yang telah meninggal, dan tertera taggal,bulan, serta tahun lahir dan wafat.
Contoh Nisan di daerah jawa :
- Batu nisan makam sunan Gunung Jati
- Batu nisan makam sunan ampel di Surabaya
- Batu nisan makam sunan Drajad di Lamongan
- Batu nisan makam sunan Bonang di Tuban
- Batu nisan makam sunan Tembayat di klaten
- Batu nisan makam Sendangduwor di tuban
- Batu nisan makam Imogiri di Jogjakarta
d)      Kaligrafi
Adalah seni menulis indah dari komposisi huruf arab. Biasanya terdapat pada dindig masjid Terutama pada Mihrab. Ukiran tersebut disusun dalam ukuran tertentu ada yang berbentuk binatang maupun bentuk yang lainya.
Contoh kaligrafi di jawa :
- Kaligrafi Dewa Genecha di Cirebon                                                                 
e)       Kesusatraan
a.              Seni sastra
pada umumnya berkembag dipulau jawa yang berisikan ajaran khusus tasawuf, Filsafat, Kemasyarakatan dan tuntunan budi pekerti.
Contoh peninggalan tasawuf :
1. Suluk berisi ajaran tasawur : Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, Suluk Malang samurai
2. Syair misalnya : Syair Perahu
3. Hikayat : Hikayat Panji Inu Kerapati, DAN Hikayat Bayan Budiman.
4. Babah : Badah Gianti dan Badah Tanah Jawi
5. Kitab ajaran Budi Pekerti : Nitisurti, Nisastra, dan Astabrata
6. Kitab Politik tetap pemerintahan : Sastra Genting dan Adat makuta alam
7. Tradisi dan Upacara : Sekaten atau Grebek Maulud.
f)       Seni Pertunjukan
Contohnya adalah :
- Perayaan Garebek Besar dan Garebek Maulud
- Seni Wayang :Sunan kalijaga yang berdakwah menggunakan wayang
- Seni Tari : Debus dari Banten
- Seni Musik :kebanyakan menggunakan gamelan seperti Sunan Bonang, Sunan Drajad,dan Sunan Kalijaga.

G.    Pengaruh Islam Mudah Berkembang Berkembang Di Masyarakat

Pada masa awal masuknya Islam banyak daerah pesisir dipimpin oleh Raja, Tumenggung, Panglima kerajaan dan para bangsawan. Dari kebanyakan para pimpinan tersebut memeluk agama Islam oleh karena pemimpinnya masuk Islam maka rakyatnyapun kemudian memeluk agama Islam, apalagi dalam Islam tidak mengenal budaya kasta ditambah lagi dengan sikap toleran yang tinggi dari para mubaligh. Melalui cara – cara sesuai dengan budaya masyarakat, para mubaligh memperkenalkan Islam .
Islam mudah diterima dan berkembang dalam masyarakat Indonesia antara lain dikarenakan :
a.        Islam adalah agama yang demokratis (tidak mengenal kasta).
b.      Islam mudah dipelajari
c.       Islam disebarkan dengan cara damai
d.       Islam disebarkan dengan cara damai.
e.        Nabi Muhammad sebagai panutan Islam adalah merupakan manusia sempurna.
f.        Ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia.
g.       Islam adalah agama untuk semua orang.
h.       Islam adalah sebagai agama pembawa rahmat.
i.         Konsep keutuhan dalam Islam yang benar – benar sempurna.
j.        Islam mengatur seluruh kehidupan manusia menuju kebahagiaan dunia dan ahkirat.

H.    Faktor Yang Menyebabkan Islam Masuk Ke Pulau Jawa
Pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat populasi penduduknya dibandingkan dengan pulau lainnya yang ada di kepulauan Indonesia. Di samping itu, pulau Jawa sangat strategis letaknya sebagai jalur lintas antar-pulau dan perdagangan di Nusantara. Maka tidak mengherankan jika pada abad  ke-14, telah berdiri kerajaan-kerajaan  yang dibawa orang-orang India yang menandai perkembangan awal sejarah kerajaan islam di Jawa. Disamping itu, pulau Jawa memiliki kesuburan tanah yang sangat baik bagi pengembangan pertanian. Tanahnya yang subur juga mempengaruhi suburnya gerakan-gerakan pemikiran.
Meskipun agama Hindu telah memberi kontribusi yang banyak terhadap perkembangan masyarakat Indonesia, ditambah dengan inkulturasi budaya Islam dan Indo-Eropa, telah menghasilkan suatu "affinities and extreme" bagi perkembangan Indonesia modern kelak, namun Islamlah yang paling dinamis memberikan bentuk bulat-lonjongnya sejarah Indonesia hingga kini. Bulat-lonjongnya Indonesia terutama sangat dipengaruhi gerak dinamika kehidupan orang-orang di Jawa.
 Dengan gemah-ripah-nya pulau Jawa membangkitkan semangat para pra pedagang untuk menjadikan Indonesia khususnya pulau Jawa sebagai garden tedepan untuk menyokong perekonomiannya dan juga perkembangan islam. Para pedagang Persia dan gujarat datang ke Jawa dengan maksud hendak menguasai perdagangan yang menguntungkan dari daerah ini dan juga untuk memperluas wilayah penyebaran agama islam yang mana menjadi tujuan mereka.
Kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani

I.        Bentuk-Bentuk Pengaruh Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
Adapun bentuk-bentuk pengaruh agama dan kebudayaan Islam diantaranya sebagai berikut:
1.      Berdirinya masjid-masjid peninggalan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Banten.
2.      Tumbuh dan berkembangnya seni Kaligrafi, seperti pada penemuan makam-makam raja-raja dengan nisan yang bertuliskan kaligrafi, bangunan masjid yang dihiasi kaligrafi, sebagai hiasan dinding rumah, dan lain sebagainya.
3.      Berdirinya keraton-keraton Islam di pulau Jawa, seperti Keraton Yogyakarta, dan lain sebagainya.
4.      Tumbuh dan berkembangnya aliran Sufisme di Indonesia, seperi aliran Syaikh Abdul Qhadir Jaelani di cirebon, dan lainnya.
5.      Munculnya kaum Ulama yang mendapat tempet tinggi di masyarakat,  seperti munculnya para wali yang sembilan (wali songo).
6.       Terjadinya perkembangan perekonomian dan pemerintahan akibat persamaan derajat yang dikembangkan oleh tradisi Islam. Serta berbagai macam pengaruh  kebudayaan Islam lainnya.
7.      Berdiri dan berkembangnya pesantren-pesantren yang terdiri dari para kyai dan santri.

.















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kapan tepatnya Islam masuk ke Pulau Jawa tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun, penemuan nisan makam Siti Fatimah binti Maimun di desa Leran Kecamatan manyar, dengan jarak sekitar 5 Km kearah jalur Pantura dari kota Gresik yang wafat tahun 1101 M dapatlah dijadikan petunjuk awal masuknya Islam di Pulau Jawa.
Islam masuk pertama kali dipulau Jawa adalah dikota Gresik Surabaya. Pembawa dan penyebarnya adalah seorang Waliullah yang bernama Maulana Malik Ibrahim yang terkenal dengan sebutan Sunan Gresik
  • Perdagangan
  • Pernikahan
  • Pendidikan (pesantren)Pesantren merupakan lembaga pendidikan yg asli dari akar budaya Indonesia, & juga adopsi & adaptasi khasanah kebudayaan pra Islam yg tdk keluar dari nilai-nilai Islam yg dpt dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat menghargai budaya setempat selama tdk bertentangan dgn nilai- nilai Islam.
  • Seni & budaya
  • Tasawuf.
Penyiar agama islam di Jawa adalah para  Wali Songo para Wali lainnya:
a.Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, b.Sunan Ampel atau Raden Rahmat, c.Sunan Bonang, d.Sunan Drajat, e.Sunan Giri, f.Sunan Muria, g.Sunan Kalijaga, h.Sunan Kudus, i.Sunan Gunung Jati
Kerajaan –kerajaan Islam di Jawa: demak, banten, cirebo, mataram, pajajaran, dan kerajaan –kerajaan kecil lainnya.
Bukti peninggalan kerajaan Islam di Jawa: masjid contohnya masjid demak, alun-alun, keratin, nisan kaligrafi, kesenian, kesusastraan, seni pertunjukan wayang.
DAFTAR PUSTAKA
Maftuh Ahman, Wali Songo Hidup dan Perjuagnannya (Surabaya: Anugrah, 1414 H). h. 69.
Ririn Sofyan, Islamisasi di Jawa (Semarang : Pustaka Pelajar, 1999), h. 11

Nugroho Notosusanto dan Yusmar Basri, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta :Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), h. 24.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PANDUAN BAGAIMANA MENJADI AGEN TIKET PESAWAT TERLENGKAP

Buruan stok terbatas https://account.ratakan.com/aff/go/umar1991?i=308